Rabu, Oktober 16, 2024

Lobster dan Natuna

Must read

China Punya Utang Sejarah kepada Indonesia

Kolom Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Lobster mengingatkan kenangan istimewa. Bersama seorang paman yang tengah mengikuti fellowship di Harvard University, kami bermobil ke Maine, AS, pada akhir musim dingin sekian tahun silam, makan lobster, kuliner top di sana, dan seafood lainnya. Saat itu udara dingin memagut Maine, dekat Samudera Atlantik.

Lobster juga mengingatkan masa kecil di kampung, sebuah kota kabupaten di pantai utara Jawa. Dengan anugerah Tuhan, keluarga kami dimudahkan menikmati lobster dan jenis seafood segar lainnya.

Kedua kenangan itu muncul karena lobster jadi isu nasional sekarang, terkait upaya relaksasi larangan ekspor benihnya.

Gambar: Hasnadi (Pixabay)

Lobster hidup di dasar laut, kecenderungannya tinggal di balik karang untuk berlindung dari predator dan gejolak alam. Sebagaimana mahluk hidup lainnya, termasuk bahkan umat manusia dalam ikatan puak dan nation state, lobster juga menguasai teritori untuk menjamin kehidupan – kadang bisa pula timbul konflik dengan sesamanya.

Dalam sistem saraf lobster sudah terbentuk perilaku defensif dan agresif yang kompleks. Saat bersitegang dengan sesamanya, satu sama lain akan bersijingkat mirip dua petinju berhadapan di ring. Masing-masing akan mengangkat cakar/japit (lengan utama yang besar dan ujungnya seperti tang), mundur selangkah, maju lagi, lalu adu cakar. 

Pada saat itu, kedua pihak akan menyemprotkan cairan dari bawah mata ke arah lawan. Cairan tersebut untuk saling mengingatkan tentang ukuran diri masing-masing, jenis kelamin, kesehatan, dan mood. Selain ukuran cakar, semprotan cairan bawah mata tersebut juga memastikan, lobster yang kondisinya kurang fit atau kurang agresif harap tahu diri untuk mundur. Ini resolusi konflik level satu.

Jika di tahap itu ketegangan belum beres, mereka masuk ke relosusi tahap dua. Sungut masing-masing akan bergerak-gerak, cakar dimajukan untuk menyerang. Lobster yang mundur selangkah akan balik menyerang. Setelah beberapa ronde, lobster yang kemudian grogi dan merasakan meneruskan berantam bisa merugikan, ia akan memilih mundur dan mencari peruntungan di teritori lain.

Kadang terjadi kombat, pertempuran. Kedua lobster yang berseteru saling menyerang menggunakan cakar masing-masing. Di resolusi level tiga ini, lobster yang yakin menang akan membiarkan lawannya tahu diri untuk tunduk.

Kalau tidak ada yang mundur, kedua lobster masuk ke resolusi level empat: saling menyerang dengan sengit, cakar mencengkeram sungut atau kaki, sampai salah satu atau keduanya mengalami kerusakan tubuh.

Lobster yang kalah mengalami konsekuensi parah, teruk. Pemenang mungkin juga mengalami kerusakan di tubuhnya, tapi proses kimia di otaknya membuat mental dan badannya cepat tegak kembali.

Perilaku pemenang dan yang kalah serta teruk, dipengaruhi oleh dua zat kimia di sistem saraf mereka, yaitu serotonin dan octopamine. Pemenang memiliki serotonin lebih banyak ketimbang octopamine. Karena serotonin berpengaruh pada postur fisik, lobster pemenang akan tampak lebih tegak dan menakutkan. Dalam penelitian, jika lobster yang sempat kalah disuntik serotonin, ia akan bisa tampil lebih garang, berani berkelahi lagi dengan lebih gigih dan lama.

Dinamika lobster dalam habitat mereka itu diungkapkan oleh Jordan B. Peterson, psikolog klinis yang melakukan riset bertahun-tahun termasuk menyangkut neurochemistry. Ia menghasilkan buku “12 Rules for Life, An Antidote to Chaos” (2018) – buku ini terjual lebih dari tiga juta jilid. Tentang perilaku lobster, Jordan mengutip, antara lain, dari “Serotonin and aggressive motivation in crustacean: Altering decision to retreat”, hasil penelitian Huber, R., Smith, K., Delago, A., Isaksson, K., & Kravitz, E. A. (1997). 

Apa hubungan cerita tersebut dengan Natuna, wilayah kedaulatan Indonesia?

China sesungguhnya sudah mengincar Natuna sejak puluhan tahun silam, seiring dengan agresivitasnya menguasai Kepulauan Spratly (dengan mengabaikan protes Filipina, Vietnam, Malaysia).

Saat mulai memasuki Spratly sekitar 30 tahun silam, China mengaku “nelayan” mereka kesasar – padahal “nelayan” itu sesungguhnya anggota Angkatan Laut China. Sekarang, setelah bertahun-tahun “para nelayan” China ke sana, di Spratly sudah ada pangkalan militer China termasuk landasan pesawat terbang.

Ada indikasi China mencoba-coba mengulangi manuver seperti di Spratly dalam upaya untuk merebut Natuna dari Indonesia – antara lain berpegang pada peta antik zaman kekaisaran dulu. Anda bayangkan, kalau semua negara dan bangsa di dunia meggunakan peta ratusan tahun silam (yang mungkin saja hoax, disesuaikan dengan nafsu hegemonis penguasa sekarang), lalu mengklaim wilayah negara lain, apa jadinya dunia ini, apa tidak menimbulkan konflik antar bangsa?

ZEE Natuna, yang diincar China, sesungguhnya bukan wilayah penangkapan ikan untuk “nelayan” mereka, tapi karena ada gas dibawah dasar lautnya. Perilaku China itu ibarat lobster yang coba-coba masuk ke teritori pihak lain.

“Kita punya gas bumi di Natuna yang bila diolah nilainya lebih dari 200 TCF (trilion cubic feet),” kata Kurtubi, seorang ahli bidang energi, di sela-sela diskusi “Pantang Keok Hadapi Tiongkok” di Jakarta Pusat, Ahad, 12 Januari 2020.

Dibanding Blok Masela, kata dia, Natuna menyimpan cadangan empat kali lipat lebih banyak. Data yang dihimpun Tempo dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM, potensi sumber daya gas di East Natuna sekitar 46 TCF.

Kalangan ahli energi AS, berdasarkan hasil penelitian dan pemantauan citra satelit, memprediksi harta karun gas di bawah laut Natuna jika diolah nilai totalnya miliaran dolar AS. Wallahu alam.

Gambar oleh Annca dari Pixabay

Kelihatannya China punya kalkulasi lain untuk menghadapi Indonesia dalam hal Natuna, maka segera hengkang. Beda dengan caranya mencaplok Spratly – dimana Malaysia, Filipina, dan Vietnam tampak kurang berani. 

Ibarat lobster yang bernafsu memasuki teritori pihak lain, China mundur setelah tahu Indonesia punya “serotonin” (sumber daya untuk menang) lebih meyakinkan. 

Minimal ada tiga sumber “serotonin” Indonesia. Pertama, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, yang menegaskan perairan Natuna merupakan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.  

Kedua, ketegasan para pemimpin Indonesia. Antara lain Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. “Terkait dengan kapal ikan China yang dikawal resmi pemerintah mereka di Natuna, prinsipnya begini, Indonesia tidak akan melakukan negosiasi dengan Tiongkok,” kata Mahfud.

Selain pernyataan tersebut, pemerintah juga sudah menyiapkan kapal-kapal “nelayan” untuk menghadapi “nelayan” China yang mau menjarah laut Natuna. Karena intelijen Indonesia sebenarnya sudah bertahun-tahun punya catatan pola tindak dan indikasi China mau masuk ke Natuna. Selanjutnya, sesuai saran para pakar hukum internasional, Indonesia juga tidak perlu bekerja sama dengan China kalau mau mengolah gas di Natuna.

Sebenarnya, kalau sampai terjadi konflik, China yang akan mengalami kerugian besar – mereka lebih butuh kita ketimbang kita memerlukan pihak sana. Peluang investasi di Indonesia sangat memikat bagi Jepang, Amerika, dan negara-negara Eropa kalau akibat konflik para pemimpin terpaksa harus mengusir orang-orang RRT yang seolah-olah investasi dan berdagang di wilayah NKRI.

Ketiga, China sesungguhnya punya utang budi kepada Indonesia. Jika bangsa-bangsa di dunia meyakini bahwa eksistensi sebuah nation state dalam pergaulan antar bangsa sangat ditentukan oleh keanggotaannya di PBB, maka China kalau ngotot masuk ke Natuna tanpa mengindahkan adab pergaulan internasional, mereka bisa dianggap bangsa yang tidak tahu diri.

Indonesia telah memberikan kontribusi signifikan untuk menentukan keanggotaan China (The People’s Republic of China) di PBB, dengan mengeluarkan Taiwan (Republic of China) dari perserikatan. Ini merupakan utang sejarah China kepada Indonesia.

Faktanya ini: Menteri Luar Negeri Adam Malik pada 1971 menjadi Ketua Sidang Umum PBB (President of the United Nation General Assembly). Dalam perjalanan Jakarta – New York, Adam Malik mampir di Hongkong.

Saat itu seorang tokoh di belakang layar yang kemudian dikenal sangat berjasa dalam pemulihan hubungan diplomatik Indonesia – China, menitipkan pesan dari Beijing untuk Adam Malik. Dengan kepiawaiannya mengorkestrasi proses rapat-rapat di PBB, Adam Malik berhasil memastikan PRC (RRT) masuk PBB, dengan menggusur Taiwan – boneka AS (waktu itu sampai beberapa tahun kemudian).

Dengan fakta sejarah tersebut, kalau China menerabas masuk ke wilayah kedaulatan RI dan timbul konflik, maka apakah Anda punya istilah lebih baik selain sebutan bahwa para penguasa di Beijing telah lepas kendali diri atau berpaling dari peradaban?

Kepemimpinan itu soal adab, bro.

Pemimpin yang berintegritas biasanya juga lebih tegas, dapat melihat konteks setiap tantangan, lebih dari sekedar memahami kontennya.

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article