Kolom Farid Gaban
Hari ini 46 tahun lalu Jakarta membara. Mahasiswa berdemontrasi turun ke jalan, yang berakhir menjadi kerusuhan. Kejadian sebenarnya masih menjadi kontroversi. Mahasiswa menuduh, aparat Orde Baru lah yang menyulut kerusuhan untuk mendiskreditkan gerakan mahasiswa.
Tapi, apa sebenarnya yang diprotes mahasiswa dalam Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) itu? Mereka menolak investasi asing Jepang.
Kini kita bisa melihat kilas balik sambil merenung, apakah protes mahasiswa itu sahih dan beralasan.
Setelah protes diredam, Orde Baru melanjutkan program menarik investasi (asing maupun domestik) besar-besaran sampai rezim itu runtuh dalam krisis 1998.
Ketika krisis, publik (rakyat) harus berkorban membayari bailout perbankan serta obligasi rekap untuk para konglomerat. Yang miskin mensubidi yang kaya ratusan trilyun rupiah; sementara negara terus mengurangi jatah anggaran untuk pendidikan serta kesehatan demi itu.
Terjebak utang dan kesulitan moneter, pemerintahan pasca-reformasi tak bisa lain kecuali makin tunduk pada kreditor dan investor. Program memikat investasi berlanjut pada masa Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan kemudian diteruskan lebih agresif pada masa Joko Widodo.
Investasi asing (khususnya Jepang) pada masa Orde Baru telah berjasa menumbuhkan ekonomi secara spektakular sehingga Bank Dunia dan IMF sempat menjuluki Indonesia sebagai Macan Asia.
Itu membuat Orde Baru makin percaya diri untuk menindas aspirasi politik, khususnya aspirasi para korban “pembangunanisme”, yakni petani, buruh dan nelayan yang tersisih.
Kita bisa melihat bahwa investasi asing ikut membiayai kebrutalan rezim.
Jepang adalah proxy Amerika. Secara politik, besarnya investasi Jepang ikut membawa Indonesia makin akrab ke Blok Barat (kapitalis). Ini dibarengi dengan penindasan dan perburuan terhadap para aktivis kiri (sosialis). Protes para petani dan buruh yang tergusur biasa dilabel sebagai komunis untuk meredamnya.
Kita bisa melihat bahwa investasi swasta (asing maupun domestik) ikut mempengaruhi kebijakan politik, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Bagaimana dampak investasi asing itu sendiri secara ekonomi? Krisis 1998 membuktikan betapa rapuh ekonomi kita meski ada pertumbuhan ekonomi yang mencorong. Deregulasi investasi menciptakan konglomerat baru, para kroni Soeharto dan kerabatnya, sumber korupsi kolosal di samping menciptakan jurang ketimpangan.
Tiga dasawarsa Orde Baru tidak membuat ekonomi kita jadi mandiri. Sementara pertanian rusak, kita tak beranjak jauh dalam bidang manufaktur. Janji bahwa investasi asing akan menularkan kemampuan teknologi dan manajemen cenderung cuma fatamorgana.
Bahkan sampai sekarang, kita praktis tak pernah punya kilang minyak sendiri. Mesin otomotif juga masih tergantung pada Jepang (kita salah satu pasar terbesar otomotif). Ketergantungan kita pada impor terus berlanjut hingga kini.
Investasi otomotif Jepang ikut mempengaruhi kebijakan kita dalam soal transportasi: kita cenderung mengabaikan transportasi publik massal dan memanjakan pengguna kendaraan pribadi (produk Jepang).
Kita masih mendahulukan membangun jalan tol ketimbang mengembangkan jaringan kereta api. Sementara transportasi laut masih terus keteteran sampai sekarang, itu tak hanya menciptakan kemacetan, tapi juga dahaga akan minyak yang sebagian besar masih kita impor.
Di situ kita juga bisa melihat, bahwa investasi asing ikut mempengaruhi kebijakan publik yang buruk (misalnya dalam tranportasi). Dan pada kemandirian ekonomi nasional, sampai sekarang.
Investasi asing mungkin bukan sama sekali tak ada gunanya. Tapi, sebuah studi, lihat catatan di bawah, mengungkapkan bahwa investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI) lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya, terutama bagi negeri seperti kita yang kurang prasyarat untuk bisa memanfaatkan investasi demi tujuan positif.
Di samping kekayaan sumber daya alam, banyak investor asing mengincar kita hanya sebagai pasar, mengingat jumlah penduduknya yang besar. Sumberdaya manusia kita sangat lemah, bahkan kalah dari Vietnam. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita bahkan masih kalah jauh dari Srilanka atau “negara gagal” Venezuela.
Merenungkan hal itu, kita mungkin bisa menyimpulkan bahwa malapetaka tidak hanya terjadi ketika Jakarta terbakar pada 1974. Malapetaka ekonomi, sosial dan politik masih menghantui kita sampai sekarang.
Catatan Kaki
- The FDI mantra is Based on an Economic Myth
- Dierk Herzer, Stephan Klasen, Felicitas Nowak-Lehmann; In Search of FDI-led Growth in Developing Countries; 2006