Menghadirkan kembali kepemimpinan jokowi masa lalu
Oleh S. Indro Tjahyono
Menghadirkan kembali kepemimpinan Jokowi seperti saat ia menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta adalah tantangan Jokowi setelah 100 hari pemerintahannya. Pada paruh akhir masa pemerintahan Jokowi periode pertama, tanda-tanda surutnya kepemimpinan Jokowi sangat kentara. Hal itu ditandai dengan pengambilan keputusan yang semakin tertutup dan tidak konsisten.
Leadership Jokowi tidak tampil prima, adalah konsekuensi logis dari strategi untuk selalu menciptakan suasana harmonis di kalangan pemerintahannya. Selain itu Jokowi juga tidak ingin terjadi gaduh politik pada saat ia fokus membangun infrastruktur dan agenda kerakyatannya. Tekanan dari partai koalisi selain mengendorkan leadershipnya, juga membuat Jokowi tidak bisa memilih orang terbaik dan benar-benar loyal dengan dirinya.
Manajemen konflik
Alpanya kepemimpinan Jokowi terbukti saat ia tidak bisa bersikap tegas terhadap kondisi BUMN yang amburadul. Rini Sumarno berhasil memposisikan BUMN memfasilitasi gagasan Jokowi membangun infrastruktur, namun di balik itu BUMN bidang jasa atau nonkekaryaan digrogoti kinerja finasialnya. Ini terbukti dengan menyeruaknya kasus Pertamina, Jiwasraya, Asabri, dan Taspen akhir-akhir ini.
Situasi Jokowi yang tercerabut dari basis pendukung yang genuine (sejati) dan nonpatisan, membuat ia perlu menciptakan entitas pendukung dari kalangan parpol sekalipun relasinya bersifat palsu (false relationship). Namun karena pada dasarnya Jokowi tidak sepenuhnya percaya terhadap parpol, maka untuk mempertahankan otoritas kewenangannya, Jokowi terpaksa menjalankan apa yang disebut “kepemimpinan manajemen konflik”.
Hati-hati kesetiaan palsu
Pertanyaannya sampai kapan gaya kepemimpinan ini dipertahankan? Sukarno yang pernah menjalankan gaya kepemimpinan ini, akhirnya jatuh. Demikian pula Suharto; karena justru dikhianati, dimusuhi, dan dijatuhkan oleh kolega-kolega yang memiliki kesetiaan palsu.
Baik Sukarno atau Suharto jatuh karena teralienasi dari basis pendukungnya semula. Sukarno pada akhir kekuasaannya lebih dekat pada partai komunis daripada kaum nasionalis. Sedangkan Suharto semakin jauh dari komunitas tentara patriotik yang mendukung pada awal kekuasaannya, kemudian malah lebih senang membesarkan konglomerat hitam.
Kepemimpinan teknokratis bisa rusak
Mungkin kepemimpinan politis Jokowi bisa dibilang berhasil, terbukti ia akhirnya menjadi presiden dua kali. Tetapi gaya kepemimpinan manajemen konflik tersebut apa cukup efektif? Tipe kepemimpinan seperti ini dapat mendestruksi kepemimpinan teknokratisnya sebagai presiden.
Dalam bidang teknokratik dibutuhkan rasionalitas, kinerja manajemen yang baik, dan ketegasan pengambilan keputusan. Sedangkan dalam pola kepemimpinan manajemen konflik, Jokowi harus terus memberi toleransi atau memelihara konflik terhadap kekuatan yang ingin diatur. Ini tentu sangat bertentangan dengan tuntutan bidang teknokratik.
Kendali kelembagaan jebol
Teknokrasi butuh kepastian dan keterorganisasian (organized entity). Jika dalam pemerintahan Jokowi setiap kali selalu muncul diskresi atas prinsip-prinsip dan kepastian hukum, maka lembaga sesolid apapun akan jebol. Itulah mengapa selama 100 hari pemerintahannya masih muncul isu investasi terus menurun, pertumbuhan stagnan, defisit neraca perdagangan akan merosot, serta bidang moneter dan finansial akan ramai oleh suasana manipulasi kontra manipulasi.
Sebagai relawan pendukung Jokowi, tentu kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu kebijakan presiden. Kebanyakan relawan kini merasa termarjinalisasi. Sekalipun demikian kami memandang Jokowi adalah sosok yang pantas diapresiasi karena keberanian membuat terobosan dan membudayakan etos kerja di Indonesia.
Sumber: Harian Terbit, 28 Januari 2020