Jumat, November 15, 2024

Bedah Buku ‘Menjerat Gus Dur’

Must read

Persekongkolan Jahat Menggulingkan Pemerintahan

Oleh Nuruddin

Bedah buku yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur pada Selasa, 04 Pebruari 2020, disambut antusias masyarakat yang luar biasa. Niat awal panitia membatasi hadirin sejumlah 400 orang yang terkonfirmasi via formulir online, ternyata membengkak menjadi 2.000 orang yang sudah mengisi kesanggupan hadir. Jumlah ini, belum termasuk undangan khusus 2 orang setiap Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) se-Jawa Timur dan hadirin yang datang langsung saat acara digelar.

Buku “Menjerat Gus Dur”, menjadi magnet hadirnya berbagai kalangan memadati aula lt 3 yang dijadikan tempat live acara, lt 2, dan lt 1 yang juga difasilitasi untuk menikmati bedah buku via layar lebar dan beberapa TV kecil, serta audio yang memadai.

Sejak acara dibuka oleh Prof. Zaki (Sekretaris PWNU Jatim) selaku moderator, semua hadirin tampak terlihat penasaran dalam penantian, ibarat kata, ada harap-harap cemas dalam menunggu suatu harapan. Selain itu, hadirin yang sebagian besar adalah milenial, penasaran untuk bertemu langsung sosok Virdika Rizki Utama sang penulis muda kelahiran 1994.

Tampil sebagai pembuka, Hermawan Sulistyo dari LIPI yang biasa dipanggil Mas Kiki. Dalam penuturannya, Mas Kiki menyampaikan bahwa Gus Dur adalah presiden hebat jika Gus Dur jadinya presiden pada tahun 1982. Karena saat itu, Gus Dur sangat energik, pikirannya cerdas, dan multi displin ilmu dikuasai, jaringan internasional beliau miliki.

Sedemikian juga, Pak Harto adalah presiden yang baik, jika tahun 1982 sudah turun, tutur Mas Kiki yang disambut tepuk tangan riuh para hadirin.

Mas Kiki menjelaskan bagaimana proses dan kondisi Gus Dur sejak 1982 sampai pada tahap Gus Dur naik jadi presiden dan sampai Gus Dur dilengserkan dari posisi kepresidenan. Menurutnya, sampai saat ini, tidak ada fakta yang mampu membuktikan Gus Dur bersalah. Oleh karenanya, hadirnya buku karya Virdi ini, sebuah keberanian dan hal yang perlu diapresiasi dengan ucapan terimakasih dan syukur, akhirnya ada karya yang memperjelas dan mempertegas bagaiman Gus Dur dimakhzulkan atas persekongkolan jahat yang dimotori Amin Rais yang licinnya bak belut di dalam tong berisi oli.

Gus Dur itu, ibarat pertempuran, persis kayak orang baru ngebom, tapi langsung ditinggal. Setelahnya, ngebom lagi, ditinggal lagi, dan begitu seterusnya. Bahkan sampai pada pengetahuan sepak bola, satu-satunya orang yang dulu hafal nama-nama pemain sepak bola Rusia secara utuh, hanya Gus Dur. Padahal, nama-nama Rusia, begitu sulit dilafalkan, dan itu jadi artikel di media nasional saat itu. “Beliau peneliti, kajiannya komprehensiif, ilmiah dan egaliter.”

Menurut Mas Kiki, buku karya Virdi ini, melalui proses yang ilmiah, data yang didapat, adalah data utama dan pertama, dikonfirmasi ulang melalui wawancara kepada sumber utama langsung, dan sebelum terbit, diuji dengan diskusi melalui media online dan diskusi panel dengan berbagai pihak.

Jadi, buku ini unik dan menarik dalam mengembalikan posisi kebenaran Gus Dur sesuai aslinya.

Selanjutnya, giliran Yahya Cholil Staquf memaparkan kejadian yang berkaitan dengan situasi di dalam istana saat penjatuhan Gus Dur. Gus Yahya tidak banyak mengupas data dan fakta sebagai juru bicara kepresidenan. Ia lebih konsen membahas bagaimana pemikiran Gus Dur dalam menyikapi situasi di istana.

Menurut Gus Yahya, Gus Dur adalah orang yang tahu sebelum diberi tahu. Harapan Gus Dur adalah bagaimana Indonesia mampu mewujudkan tatanan yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Gus Yahya menyebut, apa yang ditulis Virdi, ini sudah ada yang membocorkan dan sampai ke Gus Dur, tapi Gus Dur santai saja, dan bilang “biarkan saja”, mereka yang seneng, kok repot.

Kalau masalah HMI Conection, yang disebut Virdi di dalam buku ini, coba kita pikir, kenapa tidak ada PMII conection? Ya karena anak PMII belum punya jaringan dan belum pada punya kerjaan. Sehingga tidak disebut PMII conection, ujar Gus Yahya mengakhiri kalimat dalam jeda pemaparan materi.

Gus Yahya menyebut, “Kalau kita warga NU tidak mau “kere”, ya mari kita rebut masa depan, perjelas cita-cita kalian, dan temukan strategi menggapainya. Masak sih, masih betah miskin dan kere? Saya yakin, tidak saatnya lagi, kita masih di pinggiran, kita rebut masa depan, demi kejayaan NU, dan NKRI.”

Selanjutnya pemaparan dari Virdika Riski Utama, pemuda berambut gondrong ini membuka dengan salam dan bahas slengekan ala anak muda milenial tanpa beban. “Saya ingin bercerita tentang tujuan saya menulis dan proses saya menulis buku ini, bukan pada isi buku. Memang betul apa yang dibilang Gus Yahya, bahwa isi buku ini sudah ada dalam benak masyarakat Indonesia, tapi menyajikan data dan fakta sejarah, merupakan hal baru yang ada pada buku ini”.

Selanjutnya, Virdi berucap, “Terimakasih kepada Pak Fuad Bawazir yang ngatain buku ini sampah, ya emang sampah bisa didaur ulang pak, lagian Bapak juga bagian sampah dong kalau ngatain buku sampah.”

Pada awalnya, Virdi diskusi dengan Savic Ali dan Alisa Wahid, terkait data yang ia temukan pada waktu liputan renovasi kantor Golkar oleh Majalah Gatra. Ia mulai riset secara mandiri, tujuannya agar tidak terkendala sponsor yang harus mengurangi atau menyamarkan nama pelaku kejadian dalam buku ini. “Jadi, saya kerja untuk membiayai riset saya,” ungkapnya.

Banyak Sumber Utama

Virdi bercerita, pertama kali yang ia wawancarai adalah Amin Rais, “Brengsek banget ini orang, saya indent janjian empat bulan, begitu sampai pada hari yang disepakati, saya nunggu jam 9 pagi, baru boleh ketemu jam 16,00 sore, itupun saya nunggunya di masjid depan rumah beliau.”

Baiknya Pak Amin adalah saat wawancara, masih mau megangi HP yang saya jadikan recorder. Saat saya tanya, peran pak Amin dalam menurunkan Gus Dur seperti apa? Beliau menjawab, “Sekadar menyampaikan aspirasi rakyat dan memang itu kehendak rakyat sebagai respon terhadap ketidak konsistenan Gus Dur”.

Lantas beliau bertanya: darimana kamu dapat data ini? Kalau ndak mau nyebut, jangan harap bisa keluar dari sini.” Saat itu saya menyebut nama seorang polisi. “Oh, polisi itu ya? Sudah ya, ini satu jam.”

Saya bisa wawancara pak Amin, karena ijin saya adalah melengkapi data disertasi untuk beasiswa ke luar negeri. Makanya beliau nyantai saja, walaupun masih baru kenal.

Selanjutnya, saya mengkonfirmasi data yang ada pada dokumen, kepada Bang Akbar Tanjung, beliau senang banget ketika saya tanya, bagaimana peran Golkar dalam reformasi? Beliau memulai cerita dari berdirinya Golkar, panjang banget ceritanya, saya sampai capek megangi HP untuk merekam.

Sampai pada saat saya tanyakan fotokopi dokumen tersebut, tiba-tiba rona wajah Bang Akbar jadi berubah dan bahasanya menjadi terbata dan mulai normatif. Akhirnya beliau yang bilang cukup.

Narasumber selanjutnya adalah Prio Budi Santoso, begitu saya tunjukkan dokumen tersebut, dia dengan sangat percaya diri, ngomong bahwa dokumen tersebut 70 persen adalah pikirannya. Bahkan, Prio ini, langsung nyerocos, “ini dokumen yang dibawa Bang Akbar ya? Kalau soal arsip begini, Bang Akbar jagonya”.

Padahal saya belum mengenalkan diri. Berbeda dengan bang Akbar, si Prio ini lebih terbuka dan mengamini apa yang tertulis pada dokumen secara vulgar.

Selanjutnya saya mewawancarai Pak Fuad Bawazir, beliau lebih terbuka dan ceplas-ceplos. Semua dikomentari dan dibenarkan, bahkan terkadang dibahasakan dengan umpatan emosional. Misalnya, “Gus Dur ini orang super goblok yang tak layak jadi Presiden.”

Setelah semua nama dalam dokumen terkonfirmasi, baru ada orang yang datang ke rumah dengan sengaja melakukan teror kepada keluarga. Karena mereka datang ke rumah, waktu saya kerja, dan menanyakan dokumen. Akhirnya orang tua saya bertanya, dan di situ, saya cerita semuanya. Orang tua nangis dan bilang, “Sudahlah, ndak usah neko-neko, kita ini orang biasa”, sambil memohon dan memegangi kaki saya.

Ya sudah, saya diam di rumah untuk menuruti orang tua, hampir satu bulan. Waktu itu, saya gunakan untuk mengolah data dan memahami secara mendalam, sambil mikir, kok saya neliti tentang Gus Dur lagi ya?

Dari kesimpulan itulah, saya semakin mantap untuk menerbitkan buku ini, setelah menambah referensi data dari presidium Alfonso (Aliansi Front sosialis) Burhanudin Muhtadi dan beberapa sumber lain.

Sempat pula, buku ini mau diterbitkan oleh beberapa oknum yang berkeinginan menyerang balik kubu 02. Tapi saya tolak, dengan alasan, saya sedang berbicara sejarah Gus Dur untuk semua warga Indonesia, agar Gus Dur berada pada posisi yang sebenarnya dan seharusnya tanpa terbebani beban kelam sejarah.

Saya juga sempat kesal, ketika ada yang mbajak buku saya dengan harga Rp30.000. Bagaimana tidak, prosesnya yang begitu panjang dan rumit, sampai diancam keselamatan saya dan keluarga, bahkan orang tua saya tidak tahu kalau saya main sembunyi-sembunyi melanjutkan penelitian dan sekarang terbit buku ini.

Mengawal Sampai Akhir

Pemateri terakhir yang menutup bedah buku “Menjerat Gus Dur”, yaitu K.H Anwar Iskandar, yang merupakan Kiai dengan kajian kitab yang handal, kajian kebangsaan dan kajian politik yang otentik. K.H Anwar memulai dengan menceritakan bagaimana perjalanan poros tengah yang saat itu meminta restu kepada para Kiai sepuh di Langitan Tuban.

Saat itu, semua Kiai sepuh berkumpul dan sepakat menunjuk Kiai Muchit Muzadi untuk jadi juru bicara pada pertemuan dengan nama-nama yang ada pada dokumen yang ditulis Virdi ini. Mereka menyampaikan panjang lebar alasan mengapa mengusung Gus Dur maju jadi presiden, jawaban Kiai Muchit Muzadi, “kalau kami orang NU, dengan Gus Dur kami percaya seratus persen, tapi justru dengan bapak-bapak inilah kami belum bisa percaya, apakah benar niatan mengusung Gus Dur?

Akhirnya mereka bersumpah di hadapan para kiai sepuh dan bertanda tangan, akan mengusung dan mengawal Gus Dur sampai pemerintahan Gus Dur berakhir. Tapi faktanya, mereka ingkari semuanya.

Para Kiai sepuh Jawa Timur juga datang ke Jakarta, untuk bertemu dengan Gus Dur dan bertanya, “Apa maksud Gus Dur tentang pencopotan menteri, kerjasama luar negeri, plesiran ke luar negeri dan lain-lain.” Setelah menjelaskan maksudnya Gus Dur bilang, “Yang saya lakukan, bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk kepentingan bangsa Indonesia, yang bermartabat, adil dan makmur.”

Kiai Anwar memuji keberanian Virdi yang dengan gigih melalui semua proses panjang dan berat, sehingga melahirkan buku yang membuka fakta sejarah berbasis data utama, sehingga dengan lahirnya buku ini, beban kelam sejarah tokoh NU yakni Gus Dur, menjadi terbuka terang benderang.

Beliau juga menyeru kepada warga NU untuk membeli, membaca dan meneladani semangat kreatif si Virdi dalam melahirkan karya.

Menurut Kiai Anwar Iskandar, apa yang dilalukan Virdi, dulu juga pernah ada seorang sahabat nabi yang bernama Ubay bin Ka’ab.

Ubay bertutur, ketika sang ayah yang merupakan pendeta Yahudi, memberikan pengajaran tentang Taurat, ada satu lembar yang dirobek dan disimpan di dalam peti, yang tak boleh dibuka oleh siapapun dan kapanpun.

Setelah Ka’ab wafat, Ubay membuka peti dan membaca lembaran yang tersimpan. Ternyata isinya adalah, pekabaran tentang nabi akhir zaman lengkap dengan ciri-cirinya dan benerapa tempat yang menjadi bagian kehidupan sang nabi akhir zaman.

Persamaan antara Ubay dan Virdi adalah, sama-sama membuka tabir gelap, sehingga menjadi terang benderang tentang sejarah dan peradaban.

Dari paparan pemateri di atas, saya menyimpulkan bahwa proses kreatif yang dilakukan Virdika Riski Utama, justru membuka peluang peneliti lain untuk mendalami peran media TV dan media cetak ditahun-tahun penjatuhan Gus Dur. Sehingga, data ini akan melengkapi data yang ada.

Selain itu, bagi para peneliti, juga terbuka lebar, mendalami jejak dokumen pertemuan dan dokumen rapat dari jalur para Kiai dan pondok pesantren yang digunakan pertemuan oleh Gus Dur sebelum menjadi presiden dan sebelum dijatuhkan.

Selain itu, pemaparan para pemateri dalam bedah buku ini, begitu runtut dan tak berpengaruh pada intimidasi personal antara pemateri. Misalnya Gus Yahya yang dari awal menyebut “isi buku ini semua orang sudah tahu, tidak ada yang baru”. Bukan karena saya tahu bahwa Gus Yahya adalah bagian dari HMI, terus saya komentari, tapi Gus Yahya dengan jelas, beberapa kali menyebut nama Syaifullah Yusuf, Jusuf Kalla, dalam pemaparannya, sebagai petunjuk kecondongan beliau kepada sesama HMI.

Apa yang ditulis Virdi, memang layak menjadi sumber pengetahuan sejarah bagi keluarga besar Nahdliyin dan bangsa Indonesia. Tapi jangan sampai, dengan adanya buku ini lantas menjadikan kita saling sakwa sangka sehingga memecah persatuan dan kesatuan bangsa.

Gus Dur memang sudah wafat, tapi cita-cita besar bangsa, harus kita lanjutkan dan wujudkan, menjadi bangsa Indonesia yang bermartabat, berdaulat, adil dan makmur, gemah ripah lohjinawi, toto tentrem kerto raharjo.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article