Wartawan legendaris, suhu yang slengekan nan beradab
Inilah kilasan pengalaman saya menjadi wartawan foto lepas Majalah Berita Mingguan EDITOR (1987-1990), dan bergaul dengan Mas Achmad Luqman.
Oleh Drs. Tagor Mallasak Siagian, M.Si
Mau jadi wartawan yang baik dan benar, peliput tangguh? Meliputlah bareng Achmad Luqman, dan Anda akan melihat seorang yang sangat menjiwai dan mencintai pekerjaannya beraksi. Anda akan dapatkan ilmu jurnalisme tingkat tinggi yang tak diajarkan di bangku kuliah manapun.
Bagamana membangun jaringan narasumber lewat pergaulan dengan segala lapisan masyarakat. Bagamaina menembus sumber berita, sekeras apapun usahanya menghindar. Pentingnya cerdik antisipasi kesulitan di lapangan dan menguasai ketrampilan “bluffing” dengan meyakinkan, bohong putih, bohong dengan maksud baik demi kelancaran tugas.
Saat meliput ke kantor Menko Polkam Sudomo, pintu terkunci, wartawan dilarang masuk dengan alasan sudah penuh. ALQ, demikian dia akrab disapa, memecahkan kaca dan membuka pintunya, dan buru-buru masuk. Saya yang ragu-ragu, karena malas berurusan dengan petugas, dibentak ALQ, “Ayo kerja, Gor!”
Ketika ada peristiwa aksi mogok makan Ondos dan kawan-kawan, mahasiswa ITB. Sekembalinya dari liputan, saya baru mau menyantap nasi goreng. Tiba-tiba ALQ masuk ruangan redaksi dan teriak, “Gor, ayo ke Bandung!” “Kapan, Mas?” tanyaku. “Sekarang!” ujarnya dengan senyum khasnya. Jadilah kita berdua malam-malam naik bis antar kota dan beberapa hari nongkrong di lapangan basket ITB di mana Ondos dkk. berkemah.
1 Januari 1990, saya malas ikut acara tahun baruan keluarga dan nongkrong di Jl. K.H. Ahmad Dahlan, Mayestik, Kebayoran Baru, Jakarta, markas EDITOR. Saya sangat suka melahap berbagai media nasional dan asing di perpustakaan kantor.
Lagi-lagi, tiba-tiba ALQ masuk dengan kharismanya. “Pak Sim (Jenderal TB Simatupang) meninggal, Mas,” ujarku. “Wah, harus belajar dulu nih,” katanya terperangah seraya sigap mencari buku tentang sejarah kemerdekaan, bahan uuntuk wawancara dan menulis. Akhirnya saya ke rumah duka dengan ALQ, bukan dengan orangtuaku, wartawan senior, yang juga sahabat dekat keluarga Jenderal TB Simatupang.
Tak jarang malam-malam, radio panggil saya berbunyi. ALQ mengajak liputan bareng. Saya tidak mengumpat atau kesal. Bagi saya itu kehormatan besar bisa bekerja dengan “suhunya” liputan politik.
EDITOR bagi saya, menjadi perguruan tinggi jurnalisme. Ibarat pesepakbola gabung dengan FC Barcelona. Saya sudah baca TEMPO (di mana sebagian orang-orangnya keluar dan mendirikan EDITOR) sejak kelas 5 SD, tahun 1974. Nama-nama pengelolanya: Marah Sakti Siregar, Saur Hutabarat, Achmad Luqman, James R. Lapian, Ilham Soenharjo, Nanang Baso, menjadi tolok ukur liputan, tulisan dan foto trengginas.
EDITOR menjadi ajang pembuktian bagi saya karena Ayah saya (Sabam Siagian, tokoh jurnalistik nasional, yang pernah menjabat Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, pen) sempat melarang saya menjadi wartawan. Saya ingin membangun karier sebagai wartawan tanpa perlu menjual nama beliau.
Di malam hari setelah deadline, biasanya masih tersisa beberapa orang. Saya manfaatkan komputer kantor untuk menulis skripsi. Karena belum lulus sarjana (FISIP UI Jurusan Ilmu Politik), saya belum bisa menjadi wartawan tetap EDITOR. Di tengah senyap terdengar celetukan, “Skripsi nih ye!” Siapa lagi kalau bukan ALQ. Saya hanya jawab singkat, “Asuuu!” Kami berduapun tertawa lepas.
Satu lagi suhu saya telah pergi. Terima kasih banyak Mas Luqman atas persahabatannya, didikannya tanpa memandang senioritas dan latarbelakang. Meski terkesan bak preman, “slengekan”, urakan dengan rambut gondrong dan celana jins, hidup tak teratur, tapi kalau sudah urusan kerja, ALQ selalu menanamkan disiplin dan profesionalisme tinggi pada yunior-yuniornya.
Tampilan dan sorot matanya yang tajam, membuat orang yang baru kenal sering curiga. Tapi begitu bicara, tutur katanya halus, bikin adem. Pandai mencairkan suasana dengan celetukan-celetukannya, supel. Bukankah itu juga modal kuat menembus narasumber?
Disiplin dan profesionalisme ajaran ALQ itu saya tanamkan pada para mahasiswa yang saya ajar. Karena gawai, teknologi canggih sudah terlalu memanjakan anak-anak milenial. Mereka cenderung meremehkan proses. Proses rumit dan sulit, perjuangan berat wartawan generasi saya dulu meliput, itulah yang bikin kita jadi manusia kuat.
Beristirahatlah dalam damai ALQ, yang meninggal Minggu 9 Februari 2020, di usia 68 tahun. Sahabat, abang dan suhuku. Deadline terakhir sudah berhasil dilampaui dengan baik. Salam untuk Ayahku di sana.
Jakarta, 11 Februari 2019