Oleh Rene L. Pattiradjawane
Sejak lama orang-orang China mengenal pepatah yang menjadi inti kekuasaan dinasti Qing (1644-1911) berbunyi, guo yi min wei ben, min yi shi wei tian (negara mengambil manusia sebagai basis, manusia mengambil makanan sebagai langit/surga). Ini sebenarnya yang menjelaskan latar belakang epidemi yang berkembang di China sekarang ini, menyebabkan ibukota Propinsi Hubei, Wuhan, diisolasi secara menyeluruh. Makanan adalah sumber utama orang-orang China.
Tidak ada yang mengira kalau epidemi Wuhan dengan kemunculan virus baru yang disebut sebagai Novel Coronavirus (2019-nCoV) ini bisa menjadi epidemi ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan wabah sejenis SARS (flu burung) dan MERS (flu onta) ini sebagai ancaman umat manusia. Yang mengejutkan, karena kemajuan teknologi informasi, menuduh secara serampangan flu 2019-nCoV ini berasal dari kelelawar, orang-orang China itu jorok dalam menu makanannya (terutama dari binatang liar), dan sampai timbul perilaku bermusuhan dengan orang- orang China yang belum tentu warganegara RRC.
Di sisi lain, kita pun perlu memahami dalam sistem pemerintahan otoriter di bawah kekuasaan Partai Komunis China (PKC) yang dikendalikan oleh Xi Jinping sebagai penguasa China paling berkuasa setelah Ketua Mao Zedong (1893-1976), informasi tidak bergerak bebas seperti negara lain pada umumnya. Insiden wabah 2019-nCoV ini dituding berasal dari pasar basah makanan laut Huanan, di Distrik Jianghan, Wuhan. Pasar Huanan memiliki 1.000 penjaja hewan laut dan liar terbesar di kawasan China bagian tengah.
Di tengah globalisasi sekarang ini, sulit bagi negara mana pun di dunia mengelak dampak yang ditimbulkan di negara lain. Kemajuan teknologi informasi pun memudahkan siapa saja di mana saja untuk memicu rasisme karena berbagai alasan, baik keperluan populis dalam politik maupun kecemburuan akibat kesenjangan ekonomi. Ini yang terjadi dengan China di Tengah epidemi 2019- nCoV.
Persepsi keliru
Pertanyaannya, dalam kepanikan wabah 2019-nCoV ini kita harus menyalahkan China karena perilaku diet makanan rakyatnya, lingkungan kebersihannya, dan sistem otoritarianisme dalam komunisme berkarakteristik China? Ini dilema yang tidak mudah dijawab, dan para ahli strategi dan komentator pun seringkali melakukan kesalahan-kesalahan dalam memberikan nasehat kepada pemerintah masing-masing serta persepsi keliru tentang berbagai peristiwa atau kebijakan yang dikejawantahkan para penguasa dan rakyat China.
Ada beberapa hal yang perlu disimak. Pertama, statistik perbandingan epidemi pneumonia ini tidak sepadan dengan insiden yang terjadi di China dan seringkali menyebabkan salah pengertian. Perlu diingat, apa pun yang melanda China baik itu epidemi maupun komposisi demografi yang berdampak pada ekonomi, politik, sosial, dan pembangunan, skala yang diakibatkan selalu gigantik karena besarnya jumlah penduduk dan geografi yang luas.
Wabah SARS, misalnya, dilaporkan telah menyebar infeksi pada sekitar 8.000 orang korban di 29 negara dan 744 orang tewas. Contoh lain wabah Ebola di Afrika Barat menyebabkan 3.000 orang terkontaminasi dengan tingkat mortalitas 66 persen. Flu korona baru di Wuhan ini memiliki tingkat mortalitas hanya dua (2) persen. Kita lupa, kalau bilangan pembaginya adalah ratusan juta jiwa (jumlah penduduk China sekarang 1,437 milyar orang), maka dampak dalam angka-angka ini sangat masif.
Kedua, perlu dipahami urbanisasi di mana pun juga di dunia akan menyebabkan terjadinya ketimpangan yang semakin dalam, bukan hanya antara yang punya dan tidak punya, tapi juga kesempatan merata mengakses berbagai fasilitas yang disediakan negara termasuk kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja. Di China persoalan ini ditandai dengan adanya pekerja migran yg bergerak ke berbagai propinsi pertumbuhan pembangunan dalam jumlah puluhan juta.
Sistem hukou (registrasi kependudukan individu), seringkali menjadi penghalang serius bagi buruh migran mengakses fasilitas yang disediakan pemerintah di kota-kota. Seseorang yang memiliki hukou di wilayah pedesaan, tidak akan mendapatkan pelayanan sosial (termasuk kesehatan) di wilayah perkotaan. Awalnya, sistem hukou yang sudah ada sejak zaman dinasti-dinasti berkuasa di daratan China, digunakan penguasa modern pada tahun 1958 sebagai mekanisme pembagian kerja ala sistem komunis pertanian dan non-pertanian. Stratafikasi sosial China ini antara lain ikut mendorong melebarnya kesenjangan di dalam masyarakat China.
Dan ketiga, kemajuan teknologi informasi melalui sosial media, tidak memberikan waktu bagi penguasa mana pun di dunia (termasuk China sekali pun) untuk menata penjelasan logis kemunculan bencana, baik itu yang terjadi secara alamiah maupun buatan manusia. Semua fakta dan data dengan mudah dimanipuasi bukan terkait pada institusi tertentu, tapi di tingkat individu dengan perusakan yang berdampak kolosal.
Tanggung jawab kedaulatan
Sebuah survei yang dilakukan Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene yang berpusat di London pada bulan September 2019 tentang pandangan 25 tahun kedepan terkait kesehatan global, menyebutkan krisis iklim global, resistensi obat (termasuk antimikroba dan tuberkolosa), serta bangkitnya epidemi menjadi tantangan terbesar masyarakat global. Responden di Asia (72,9 persen dari 619 responden di 79 negara) mengatakan, pemerintah dan lembaga kesehatan tidak cukup melakukan pemberdayaan masyarakat untuk mengambil tindakan dan melakukan keputusan bagi perawatan kesehatan.
Mengahadapi kenyataan berkembangnya 2019-nCoV ini, memang tidak ada pilihan bagi banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk melindungi warga dan sekaligus menutup batas negara menghindari tercemarnya virus ini. Epidemi adalah bencana yang tidak memiliki asal usul dan sangat gelap bagi ilmu pengetahuan modern sekalipun. Menyalahi satu faktor dalam virus nCoV karena pola hidup dan diet makan di China, tidak menjawab perlindungan bagi penduduk dunia karena penularannya yang masif.
Dalam kaitan nCoV ini, perlu dipahami siapapun akan terjangkit virus ganas (termasuk HIV/ AIDS, Ebola dan sejenisnya) sehingga negara kuat seperti China tidak bisa serta merta mengandalkan penilaian WHO sebagai pegangan dan menyatakan ketidaksenangan atas kebijakan negara lain melalui tuduhan-tuduhan yang tidak perlu. Prinsip non-intervensi tidak bisa diartikan secara sempit sebagai kedaulatan masalah internal kedaulatan negara China.
Upaya multilateral diperlukan untuk kerja sama secara luas dan terfokus untuk mencegah wabah epidemi yang mengancam kemanusiaan bersama. Indonesia sebagai negara kepulauan, bisa menginisiasi model teoritis merumuskan tanggung jawab kedaulatan bersama (sovereign responsibility). Model ini, menurut antropolog Hannah Brown dari Universitas Durham, Inggris, menata persinggungan kedaulatan sebagai hak untuk menentukan wilayah-wilayah intervensi, dan kewarganegaraan sebagai hak untuk menerima berbagai sumber daya dari mana pun.
Kenapa Indonesia? Sampai tulisan ini dibuat adalah satu-satunya negara di lingkungan Asia- Pasifik yang belum terinfeksi nCoV ini, termasuk WNI yang ada di daratan China. Melalui mekanisme multilateral tanggung jawab kedaulatan ini, tidak hanya fokus pada mengatasi epidemi virus-virus mematikan ketika penangkal belum ditemukan, tapi juga mencegah sentimen berlebihan seperti yang terjadi dalam sepekan terakhir ini.
Semua pihak dalam kondisi ancaman wabah nCoV tidak ingin dirusak (seperti sentimen etnik) yang memunculkan konflik berdampak pada stabilitas bersama, menggangu mekanisme kerja sama ekonomi, keuangan, dan politik selama ini. Model teori ini disatukan pada keinginan memberikan sumber daya kesehatan kepada kemanusiaan, ketika hubungan antarnegara dan pemerintahan secara formal dan non-formal bernegosiasi memainkan peran kolaboratif menghadapi ancaman epidemi sejenis nCoV ini.
Sumber: KOMPAS, 11 Februari 2020