Sama-sama isu virus, di China jadi gerbang surga, di Indonesia jadi seperti dalam neraka.
Lihatlah siaran di TV China via parabola atau via YouTube, maka berita tentang Covid-19 justru mempunyai efek yang jauh berbeda dengan di negara +62 tercinta ini.
Aneh memang karena virusnya sama, yang membedakan cuma bahasanya saja. Suku dan agama sama, apa yang di Indonesia ada, itu juga ada di China.
Di sini pemberitaan di media massa dan sosmed cenderung bernuansa negatif, misalnya berapa banyak korban, pasar modal drop berapa poin, rush di pusat perbelanjaan, dan lain-lain.
Media di negara Tirai Bambu juga mengulas Covid-19 tapi dengan kemasan yang sangat berbeda, sehingga hasilnya juga bagai bumi dan langit dengan di negara kita.
Humanisme ditonjolkan di China, politik dan agama sangat kental diperlihatkan di Indonesia.
China juga punya korban jiwa atas virus Covid-19 tapi yang disoroti adalah kerja keras para tenaga medis yang bekerja keras tak kenal waktu di garis depan, jauh dari keluarga bahkan kadang harus rela meregang nyawa, seorang suami yang setia menemani sang istri yang terkena Covid-19, walaupun sang suami mengenakan protection gear lengkap, seorang anak yang menyuapi kedua orang tuanya dengan berbekal masker di wajahnya.
Sementara di Indonesia, media menyoroti ungkapan mengaitkan virus dengan agama tertentu, penderita Covid-19 yang namanya diekspose langsung dibuatkan narasi latar belakang dengan fantasi pembaca masing masing, belum lagi Pemerintah Daerah ada yang melakukan tindakan yang tak selaras dengan pusat, yang malah menimbulkan kegalauan di kalangan rakyat.
Ketika media di sini ramai-ramai memberitakan rush di pusat perbelanjaan, media di Tiongkok menyoroti warga Wuhan yang berbondong-bondong menjadi relawan dengan apa yang mereka miliki.
Salah satu yang bikin trenyuh adalah ketika ada seorang kakek berusia 80-an tahun yang ikut mendaftarkan diri sebagai relawan. Terlihat beberapa anak cucunya berusaha mencegah niat sang kakek, namun ia ucapannya membuat mereka mengurungkan niat jadi sirna.
“Seumur hidup ini saya sudah menikmati begitu banyak dari negara ini. Sekarang saya punya kesempatan untuk berbakti pada negara, mengapa kalian menghalangi saya? Saya lebih baik mati saat melayani orang lain daripada mati di rumah jompo.”
Ketika Indonesia mengulas berita kita menutup diri dari negara lain, China menerima bantuan tenaga medis dari Jepang, AS dan beberapa negara di Eropa, sehingga ketika negara tersebut menderita Covid-19, China yang sudah mulai bisa berdiri setelah warganya banyak yang sembuh mulai mengirimkan tenaga medisnya ke Jepang, Irak dan beberapa negara di Eropa untuk membantu mereka, tanpa mengingat masa lalu apa yang pernah terjadi di antara mereka.
Hal yang membuat haru tentunya China dan Jepang karena masa lalu mereka sangatlah kelam dan tidak baik.
Semoga kita bisa meneladani kisah kisah inspiratif seperti ini ketimbang sibuk mencari keuntungan atau menghakimi sesama.
Media indonesia harus belajar banyak dari China. Lebih baik mereka menjadi Relawan dalam mencari berita humanisme ketimbang mencari berita untuk mencari sensasi.
Penulis anonim, cerita ini beredar di grup-grup WhatsApp.