Oleh Made Supriatma
Akhirnya, organisasi kesehatan dunia, WHO, mendeklarasikan bahwa penyebaran virus Covid-19 atau yang dikenal dengan Coronavirus adalah sebuah pandemik (wabah atau pagebluk, dalam bahasa Jawa).
Negara-negara di dunia bersiap menghadapi penularan virus yang sangat cepat ini. Hanya dalam waktu dua bulan setelah kasus pertama diidentifikasikan Corona telah menyebar ke seluruh penjuru bumi.
Akibat dari penyebaran virus ini sudah terasa di semua bidang. Ekonomi sangat terimbas. Pada awalnya ia menimpa China, episentrum dari virus ini. Banyak negara berusaha memutuskan hubungan dengan China. Impor ditutup. China pun mulai mengisolasi diri. Rantai pasokan barang (supply chain) terhenti.
Seperti kita ketahui, China adalah produser banyak sekali barang, baik barang jadi maupun yang akan dipakai sebagai bahan baku untuk produk lanjutan.
Putusnya pasokan tidak berhenti di China. Ia menimpa pula produsen bahan mentah yang selama ini diekspor ke China. Pemasok bahan-bahan mineral, sawit, minyak/ gas, batubara, dan lain sebagainya, ikut terpengaruh.
Imbasnya tidak berhenti pada China. Hal yang sama saat ini juga dialami negara-negara Eropa. Ketika wabah Corona melanda Italia, negeri ini segera menutup tempat-tempat umum. Ekonomi berhenti secara total.
Negara-negara Eropa juga mengalami hal yang sama. Kanselir Jerman, Angela Merkel, berterus terang bahwa virus ini bisa menyerang 70% warga Jerman. Negara-negara lain pun mulai mengisolasi diri. Membatasi gerakan warga negaranya.
Yang paling akhir adalah Amerika Serikat. Trump mengumumkan akan melarang arus keluar masuk manusia dari hampir seluruh negara-negara Eropa. Inggris dikecualikan oleh Trump, sekalipun menteri kesehatan Inggris sudah jelas dinyatakan tertular.
Saya memperhatikan bagaimana AS menanggapi penyebaran virus ini dari sejak awal. Ketika kasus infeksi virus ini mulai pada pertengahan Januari, pemerintah Amerika di bawah Trump mencoba untuk tidak menanggapinya sebagai ancaman serius. Mereka percaya bahwa AS punya kemampuan yang besar untuk menangani soal ini.
Sikap ini dipegang teguh oleh Trump. Bahkan ketika kasus-kasus infeksi mulai diketahui di pantai Barat, Seattle, Trump masih berkukuh bahwa keadaan baik-baik saja. Dia masih menepuk dada bahwa ekonomi tidak akan terpengaruh.
Sikap penyangkalan (denialism) ini ternyata sangat berpengaruh dalam menangani virus ini. Trump berusaha sebisanya memelintir fakta-fakta, meningkari bukti-bukti ilmiah tentang virus ini, dan membangun narasi bahwa virus ini adalah barang kecil yang tidak akan menggoyang ekonomi Amerika yang tumbuh pesat dibawah kepresidenannya.
Kecuali bahwa ia tidak. Ketika kasus-kasus baru ditemukan, orang mulai panik. Supermarket diserbu. Orang menimbun persediaan untuk hidup. Perjalanan ditunda. Industri penerbangan, hotel, dan pariwisata menjadi lumpuh.
Tidak itu saja. Perdagangan di bursa saham di Wall Street terjun bebas. Harga saham terkoreksi dengan sangat tajam, hal yang tidak pernah terlihat sejak 2008. Sekalipun AS memiliki angka pengangguran terendah dalam 50 tahun terakhir, kepanikan ini tidak terhentikan. Bank Sentral AS (the Fed) menurunkan suku bunga. Pemerintah menawarkan berbagai insentif untuk mencegah ekonomi terjun bebas.
Angka kasus infeksi melonjak secara eksponensial. Hingga saat ini jumlah yang terinfeksi sudah melebihi jumlah 1.000 orang dengan jumlah kematian 22 orang.
Dampaknya tidak berhenti dalam ekonomi saja. Juga secara sosial. Orang tidak keluar rumah. Mereka membatasi kontak dengan orang lain. Manusia adalah mahluk sosial. Namun virus ini memaksa orang untuk melakukan “social distance” atau mengambil jarak sosial.
Universitas-universitas ditutup dan memberlakukan kelas online untuk para mahasiswanya hingga akhir semester. Mahasiswa-mahasiswa itu dipaksa belajar dirumah. Demikian juga dengan para pekerja. Sebagian besar orang bekerja dari rumah.
Dari apa yang saya baca, jelas pemerintahan Trump tidak siap menghadapi wabah ini. Sikapnya yang menyangkal dan menggampangkan telah menimbulkan konsekuensi penting, yaitu ketidaksiapan. Amerika tidak memiliki alat-alat tes yang cukup.
Yang lebih daripada itu adalah usaha Presiden Trump untuk membangun narasi bahwa tidak ada yang perlu dikuatirkan dari virus ini. Narasi ini didukung oleh para gedibal-gedibalnya di Fox News dan pendukung-pendukungnya.
Rush Limbaugh, seorang penyiar radio konservatif, bahkan terang-terangan mengatakan bahwa ancaman virus ini terlalu dibesar-besarkan dengan tujuan untuk menjatuhkan Trump.
Yang terakhir ini adalah hal yang terlalu biasa terlihat dalam politik selama lima tahun terakhir ini. Para politisi berusaha mengacaukan “kebenaran” dan hanya membuat kebenaran-kebenaran alternatif yang kemudian digemakan oleh gedibal-gedibal influencer-nya.
Hal yang membuat saya tertegun adalah betapa mirip apa yang saya saksikan di Amerika Serikat dengan di Indonesia. Para politisi dan pemimpin Indonesia berusaha mengentengkan dampak penyebaran virus ini. Langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintah bukan menyiagakan semua infrastruktur kesehatan tetapi dengan menyiapkan para influencer.
Seingat saya, dalam rapat kabinet, Presiden Jokowi menganjurkan para menterinya untuk melindungi industri pariwisata. Pemerintah memberikan stimulus ekonomi untuk sektor-sektor bisnis yang diperkirakan akan terkena dampak virus ini.
Bukan itu tidak penting. Namun yang hilang adalah elemen rakyat. Para elite memberikan pernyataan-pernyataan yang meremehkan dampak virus ini. Bahkan hingga kemarin saya masih dengar seloroh para elite bahwa virus Corona bisa ditangkal dengan susu kuda liar atau dengan nasi kapau.
Jelaslah bahwa para elit kita telah hilang rasa (out of touch). Ketika membaca media, orang lebih bicara tentang keris Diponegoro yang dikembalikan ke Indonesia. Seakan virus ini bisa ditangkal oleh keris itu.
Namun, belajar dari kasus Amerika, saya juga melihat batas dari kemampuan memerintah lewat para influencer atau para buzzer ini. Politisi bisa mengacaukan fakta dan kebenaran. Mereka bisa keluar dengan ‘alternative facts‘ yang mengabdi kepada kepentingan mereka. Namun ada satu titik di mana orang perlu tahu apa yang sungguh-sungguh benar.
Tanpa itu, masyarakat akan kehilangan pegangan. Tanpa itu masyarakat tidak memiliki pemimpin. Bukankah lampu suar dari seorang pemimpin itu diperlukan ketika berlayar membawa rakyat mengarungi badai?
Seorang pemimpin yang memimpin dengan influencer dan buzzer; yang keluar dengan kenyataan-kenyataan yang sudah diplintir, tidak akan mampu menjadi lampu suar di tengah badai. Dia malah akan menjadi bencana untuk rakyatnya sendiri.
Itulah yang saya pelajari dari kondisi di Amerika Serikat saat ini.