Oleh Dian Andyanto
Dia yang berjuang di garis depan, desing peluru adalah lagu tiap hari yang didengarkannya. Teriakan semangat merdeka adalah udara yang dihirupnya. Front pertempuran di Tambun, Gresik, Demak dan sekitar Yogyakarta ia datangi. Dapur umum ia dirikan. Ia turun langsung kirim obat dan makanan ke kantong-kantong gerilya. Rasa takutnya entah sudah hilang ke mana.
Perempuan kelahiran 10 Mei 1917 di Karangasem, Bali, kemudian menyelesaikan sekolah menengah di Gymnasium, Bandung (1935), melanjutkan pelajaran di Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoge Scholl), Batavia yang dulu dikenal dengan STOVIA.
Pada 1942, ia bekerja sebagai dokter pada Centrale Burgelijke Ziekenhuis, sekarang RS Cipto Mangunkusumo.
Ia mengenalkan pembatasan kelahiran untuk perempuan melahirkan. Program yang tak seberapa disenangi Presiden Soekarno dan Hatta, kala itu. Tapi ia terus bersuara, kesehatan reproduksi wanita menjadi fokusnya.
Hambatan dan segala rintangan ia tembus. Hingga pandangannya di masa orde baru dipakai yangbdikenal dengan Keluarga Berencana itu.
Namanya di dunia makin berkibar. Kiprahnya di bidang kesehatan masyarakat makin mumpuni. Ia pun pernah menjadi anggota badan eksekutif dan Ketua Health Assembly (Majelis Kesehtan) yang berhak menetapkan dirjen WHO.
Selama 25 tahun pertama WHO, hanya ada dua perempuan terpilih sebagai Presiden Majelis Kesehatan Dunia, yaitu Rajkumari Amrit Kaur dari India dan Julie Sulianti Saroso dari Indonesia.
Dialah Sulianti Saroso. Kita hanya mengenalnya sekarang sebagai nama Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI). Rumah sakit yang kini menjadi salah satu rujukan utama untuk penderita penyakit menular, termasuk suspect virus corona.
Tak banyak yang tahu siapa Sulianti Saroso. Dia perempuan terhormat di negeri ini. Pengabdiannya tiada tara di masa perjuangan hingga setelahnya.
Perempuan yang itu menutup mata selamanya pada 29 April 1991.
Dia pergi, dengan nama yang tercatat sepanjang masa. Dia telah berbuat banyak untuk kemanusiaan. Dia yang mengabdikan dirinya untuk kesehatan masyarakat, siang dan malamnya, menembus segala zaman.
Sul, begitu orang memanggilnya.