Sebuah refleksi ringan
Oleh AA Yaqin
Pedagang Nasi di Pulo Situ Gintung
Gugatan teologis pada saat merebaknya wabah virus Corona di seluruh belahan dunia, tiba- tiba melintasi kepala saya. Seolah hendak melangkahi jangkar keyakinan yang tertancap begitu lama dalam hati.
Apakah benar Tuhan sedang menguji keimanan manusia, sehingga Dia merasa perlu menurunkan wabah sedemikian dahsyat, melintasi batas-batas geografi, batas keyakinan bahkan batas apa saja yang selama ini dilekatkan dengan manusia.
Ancaman terhadap eksistensi kemanusiaan begitu nyata. Ribuan orang dari berbagai belahan dunia telah dinyatakan meninggal dunia, dan bila melihat sebarannya masih akan bertambah banyak lagi yang akan menjadi korban akibat serangan Covid 19.
Apakah ini benar rencana Tuhan? Jika benar, apa yang hendak dilakukan Tuhan berikutnya?
Sebagai makhluk manusia yang seumur hidupnya meyakini Tuhan sebagai causa utama kehidupan, tentu saja hanya prasangka positif yang ada di kepala. Tuhan memiliki rencana atas semua ini. Apakah sebagai makhluk boleh tahu?
Kita memiliki limpahan karunia Tuhan berupa akal dan kemampuan untuk digunakan agar mengerti tanda-tanda yang diperlihatkan kepada manusia. Ilmu pengetahuan adalah jalan terbaik sebagai pembuka pintu menuju pemahaman akan rencana Tuhan terhadap kehidupan.
Tuhan berjanji untuk menaikan derajat orang-orang yang berilmu dan memberi jaminan sangat besar bagi orang yang berusaha menimba ilmu pengetahun.
Sejauh ini, ilmu pengetahuan yang bertugas mencarikan obat (anti-virus) belum diketemukan atau meski dikabarkan sudah, tapi belum diproduksi secara masal. Tetapi sifat-sifat dan prilaku virus itu sendiri telah diketahui sehingga manusia mulai bisa mengurangi dan mengantisipasi serangan virus ini.
Bisa jadi (dan berharap), virus ini akan segera bisa dikalahkan dan manusia kembali hidup normal.
Kembali kepada pertanyaan awal, bagaimana kita menghubungkan atau terhubung dengan rencana Tuhan atas manusia melalui serangan virus ini.
Lama saya merenung untuk mendapatkan jawaban ini. Apakah Tuhan sedang main-main dengan makhluk ciptaanya? Ah, masa main-main harus sampai mengorbankan ribuan nyawa, bahkan sebagian dari mereka para petugas yang sedang bekerja menolong para korban. Masa Tuhan tega menghabisi orang-orang baik yang menolong sesama? Teganya, teganya, teganya….
Sedang berputar-putar mencari jawaban soal ini, tiba-tiba saya dikagetkan oleh panggilan adzan subuh yang bersahut-sahutan memanggil umatnya untuk menunaikan shalat berjamaah di mesjid.
Lho, bukankah sementara ini shalat berjamaah di mesjid tidak dianjurkan? Bahkan shalat Jumat pun yang harus dilakukan secara berjamaah sudah ditiadakan untuk sementara.
Kenapa orang-orang itu masih tetap mengumandangkan panggilan untuk shalat berjamaan di mesjid. Belum lagi terjawab pertanyaan (gugatan) teologis di atas sudah muncul pertanyaan bersifat teknis atas praktik-praktik berkeyakinan yang ada di masyarakat dengan varian yang begitu heterogen dan njelimet. Walah, nambah puyeng endase iki..
Sebelum melanjutkan berpikir keras menemukan jawaban-jabawan atas persoalan rumit di atas, (cie, cie…) karena ternyata hari sudah pagi, saya memutuskan untuk memasak air.
Ngopi dulu ah, biar lebih jernih. Tak lupa pula ditemani sebatang keretek. Baru tiga kepulan asap keluar dari mulut, terlintas juga pikiran, kenapa pikiran-pikiran seperti yang saya pikirkan ini muncul di benak saya, apakah juga ada di benak orang lain? Ah, biarlah ini derita gue keles.
Jika kita telusuri, asal mula dari wabah ini, meskipun data yang berkembang simpang-siur, tetapi prinsipnya adalah, keteledoran manusia. Baik secara sengaja maupun tidak, virus ini mewabah terdeteksi untuk pertama kali di pasar hewan dan makanan di Wuhan Tiongkok, diduga berasal dari binatang.
Meski data ini masih diperdebatkan, tetapi asal mula virus ini tetap kecerobohan manusia. Ada sikap tidak bijak manusia dalam memperlakukan alam sekitar, termasuk kepada binatang.
Binatang apa saja, secara rakus dan tidak mengenal perikebinatangan, dihajar ke kerongkongan.
Akibatnya, ada virus yang tidak diduga berkembang biak dan mematikan. Dalam bahasa lain, wabah ini menyeruak begitu dahsyat pada dasarnya adalah akibat dari sikap dan tindakan manusia.
Menuduh Tuhan memiliki rencana menguji keimanan manusia melalui virus ini, apalagi sampai menimbulkan korban dalam jumlah ribuan, meruapakan sikap bertolak belakang dengan keyakinan atau keimanan.
Namun demikian dalam konteks prasangka positif terhadap rencana Tuhan, saya menemukan semacam silverline in the clouds.
Bisa jadi situasi ini pada akhirnya memberi dampak positif terhadap kebertuhanan kita yang mungkin selama ini keliru.
Ada keinginan secara lebih substansial dalam mengerti dan menterjemahkan praktik ibadah. Ibadah atau beragama tidak menafikan konteks situasi menjadi terasa dipraktikkan secara nyata. .
Bayangkan, Tuhan menurunkan wabah dan kita pada awalnya berseteru, termasuk soal penundaan shalat berjamaah di mesjid juga shalat jumat.
Sebagian dari kita mengaku lebih takut kepada Allah dan tetap menjalankan shalat berjamaah di mesjid, tetapi sebagian besar ikut anjuran ulama dan pemerintah untuk menunda perkumpulan termasuk shalat berjamaah di mesjid.
Jelas nampak di depan kita, yang dominan adalah sikap untuk lebih menerima konteks persoalan daripada mengedepankan keyakinan taklidnya. Ini adalah point penting atas sikap keberagamaan umat.
Melalui rujukan kepada hadits nabi agar menjauhi wabah bila di suatu daerah sedang terjadi suatu wabah, akhirnya para pemuka agama dan pemerintah mengeluarkan (fatwa) anjuran untuk menunda shalat berjamaah sementara waktu dan sebagian besar anjuran ini diikuti.
Artinya, umat, jika pemimpin baik ulama maupun umaro bisa mengedepankan kepentingan kebaikan umat, sebenarnya soal keyakinan sudah pasti ada legitimasinya baik secara nakli maupun akli.
Tuhan memberikan kemudahan kepada umat untuk mencari dan menemukan jalan, termasuk jalan untuk beribadah kepadanya agar lebih mudah. Ini sangat substansial dalam perkembangan beragama di Indonesia yang selama ini masih begitu banyak orang yang taklid buta dan jauh dari konteks.
Pada bagian lain, pelajaran sangat mahal yang lain adalah kerakusan, bersikap sembrono dan main hajar kepada alam dan sekitarnya sebagai sesama makhluk Tuhan, memiliki risiko yang sangat berat.
Ribuan orang meregang nyawa, tanpa mereka tahu penyebabnya. Dipastikan akan ada perubahan signifikan atas cara manusia memperlakukan alam, binatang atau mengolah makanannya, sehingga, manusia lebih arif dan bijak. Sikap arif dan bijak, ini sebenarnya salah satu sifat dasar keberagamaan yang di pesankan secara kuat dalam seluruh kitab suci.
Artinya, bagi orang beragama (bertuhan), pasca Pandemi ini, selain akan lebih taat bertuhan dan menempatkan Tuhan dalam porsi yang benar menggunakan pengetahuan (akal), juga akan lebih bijak memperlakukan alam seperti dalam perintah agama.
Agama ditempatkan sebagai sumber awal yang membimbing pengetahuan manusia. Dan manusia, selalu mengedepankan ilmu pengetahuannya dalam mengiringi keimanannya. Yaelah, kesimpulannya gitu doang pake muter-muter hehehe…