Oleh Made Supriatma
Hari ini kita mendengar ribuan orang mulai memasuki kota-kota di pedalaman Jawa. Mereka bergerak dari kota-kota besar ke kota-kota kecil. Kabarnya 18.000 lebih orang masuk ke Kabupaten Wonogiri. Ribuan lain masuk Yogyakarta. Kota-kota di pantai utara Jawa juga sama saja. Dari Tegal hingga ke timur, ke Jepara, Rembang.
Saya kira arus yang sama juga terjadi ke Jawa Barat dan Jawa Timur. Di Bali, saya dengar arus ini bahkan sudah terjadi terlebih dahulu, yakni sekitar dua minggu lalu. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Para politisi dan banyak media mengatakan mereka adalah ‘pemudik.’ Mereka mudik awal mendahului bulan Puasa dan Lebaran. Beberapa mengatakan bahwa mereka mencari selamat dari wabah yang melanda kota-kota besar. Mereka mencari perlindungan di daerah-daerah pedesaan.
Sementara, tentu saja ada kekuatiran yang sangat masuk akal, yaitu bahwa para ‘pemudik’ ini akan membawa oleh-oleh dari kota, yakni virus Corona yang mematikan itu. Mereka kembali ke desa-desa di mana kehidupan sangat lain dari perkotaan. Di desa-desa mereka akan ikut jagong manten, ikut kerja bakti, ikut rewang ini dan itu.
Namun benarkah mereka pemudik? Saya rasa tidak sama persis. Mereka bukan pemudik dalam pengertian pemudik dalam masa Lebaran seperti yang kita kenal selama ini. Saya rasa lebih tepat menyebut mereka sebagai pengungsi. Mereka adalah pengungsi ekonomi.
Mengapa mereka mengungsi? Hari ini saya berbicara dengan beberapa kawan dan kerabat dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Mereka membenarkan bahwa memang banyak orang-orang dari Jakarta pulang ke desa-desa. Pada umumnya semua menyebut alasan karena “di Jakarta banyak PHK.”
Dari kalangan bisnis saya mendengar bahwa ekonomi merosot tajam. Rupiah ambruk ke level hampir menyerupai krisis 1997-98. Konsumsi melemah. Produksi pun dikurangi mengimbangi melemahnya konsumsi. Seorang retailer mengatakan pada saya bahwa omsetnya di Jakarta turun drastis dan tinggal antara 30-40% saja.
Mal-mal di Jakarta sekarang sepi pengunjung. Banyak gerai memilih tutup untuk memangkas biaya. Mereka merumahkan karyawannya. Jalan-jalan Jakarta biasanya dipenuhi oleh pasukan hijau kuning Ojol. Sekarang tidak lagi.
Seorang kawan menulis di laman Facebook-nya bahwa sopir taksi yang dia tumpangi mengatakan bahwa dia adalah penumpang pertama setelah menunggu 11 jam! Bahwa perusahan tetap minta setoran full walaupun penumpang tidak ada.
Jelaslah, mereka yang pulang ke desa-desa di Jawa (Barat, Tengah, maupun Timur) itu adalah pengungsi. Mereka adalah pengungsi ekonomi. Mereka memilih pulang ke desanya. Ke mana lagi mereka harus pergi?
Pengusaha memangkas biaya dengan menutup bisnisnya dan merumahkan karyawan. Dan, karyawan juga tidak bisa bertahan tanpa gaji dan penghasilan. Mereka keluar dari kosnya dan minggat ke desa. Setidaknya di desa pengeluaran lebih kecil. Mereka tidak perlu bayar kos dan masih bisa makan secara sederhana. Itu jauh lebih baik ketimbang kelaparan di kota.
Tidak banyak orang menyadari mekanisme ini. Desa seringkali menjadi ‘katup pengaman’ (safety valve) dari ambruknya ekonomi di perkotaan. Mereka yang mencari makan di kota, entah dengan menjadi buruh harian, bekerja di sektor informal (buka gerobak mie ayam/bakso; tambal ban; hingga ke pengamen di perempatan-perempatan), atau menjadi ‘gig workers’ seperti menjadi pengemudi Ojol, masih memiliki alternatif ketika ekonomi di kota runtuh.
Demikian juga sebaliknya. Ketika ekonomi pedesaan, yang didominasi oleh sektor pertanian, menjadi semakin efisien (dengan kata lain, ketika terjadi proletarisasi di sektor pertanian di pedesaan) maka terjadi surplus tenaga kerja di pedesaan. Bayangkan dulu untuk menggarap satu hektar sawah diiperlukan tenaga kerja 50 orang. Ketika terjadi mekanisasi dengan traktor dan lain sebagainya itu, tenaga untuk mengolah satu hektar itu hanya perlu 5 orang! Kemana 45 orang itu?
Di negara-negara Barat, surplus tenaga kerja di pedesaan ini diserap ke sektor industri. Namun seringkali prosesnya tidak linear. Tidak semua surplus tenaga kerja di pedesaan ini bisa ditampung di sektor industri. Mereka masuk ke sektor-sektor informal. Dan sekarang ditambah dengan apa yang dinamakan ‘gig economy.’
Itulah yang menyebabkan tidak pernah terjadi proses proletarisasi yang sempurna di negara seperti Indonesia. Itu juga yang mungkin menjelaskan mengapa tidak akan pernah terjadi revolusi semacam di Perancis atau Rusia di negeri seperti Indonesia ini. Tapi itu soal lain. Kita bisa berdebat panjang lebar untuk soal itu.
Bayangkanlah tidak ada desa yang menjadi katup pengaman dari keruntuhan ekonomi di perkotaan ini. Apa yang akan terjadi? Tidak terlalu sulit membayangkan. Kota seperti Jakarta akan meledak dan rusuh. Banyak orang yang tidak punya pekerjaan, tidak punya harapan dan masa depan, tidak bisa makan. Kemarahan akan terjadi di mana-mana.
Namun ini juga punya arti lain. Desa, yang sesungguhnya sudah tertekan secara ekonomi, menjadi semakin tertekan karena harus menanggung beban tambahan pengungsi ekonomi ini. Tidak itu saja, pengungsi-pengungsi ini tidak diragukan lagi akan memperluas penyebaran virus sehingga sulit untuk dikontrol.
Tentu kita sangat kuatir dengan semakin melebarnya penyebaran wabah ini. Tapi tidak realistis juga membiarkan mereka di perkotaan tanpa pekerjaan dan kelaparan.
Pilihan-pilihan kebijakan yang tersedia sangat terbatas. Kita sama sekali belum pernah memikirkan bagaimana kalau pagebluk ini meledak di desa-desa.
Sampai sekarang, bahkan untuk menangani meluasnya infeksi virus di perkotaan saja kita belum sepenuhnya sanggup. Sudah sangat terlambat untuk mengontrol penyebaran antar-kota dan antar-provinsi. Padahal, seperti yang kita pelajari dari negara seperti Vietnam, China, Korea, atau Jepang, virus ini bisa ditanggulangi dengan mengontrol pergerakan manusia. Kita gagal sama sekali dalam hal itu.
Sekarang kita mengharapkan tindakan setiap desa dan komunitas untuk mengamankan diri mereka sendiri. Desa yang sadar dan mengerti persebaran virus ini akan segera mengambil langkah-langkah preventif — melakukan isolasi 14 hari kepada siapa saja yang datang dari bepergian keluar. Juga mengisolasi mereka yang sakit.
Seperti banyak hal dalam hubungan kita dengan negara, yang bisa kita lakukan hanyalah: Jangan berharap pada negara. Jika Anda seorang warga negara, itulah satu-satunya solusi yang Anda miliki.
Saya kira, masyarakat harus mengambil inisiatif menyelamatkan diri sendiri. Saya berharap bahwa semakin banyak orang memberi perhatian kepada desa, memberikan informasi kepada aparat-aparat desa tentang pentingnya mengisolasi yang sakit; mengkarantina pendatang dari luar; melindungi orang-orang tua dan orang sakit.
Ada satu kekuatiran lain dari saya. Melihat kecenderungan pembuatan kebijakan publik kita, semuanya cenderung bias perkotaan. Maksud saya, kebijakan dibuat untuk memenuhi dan memuaskan mereka yang hidup di perkotaan. Bahkan dalam penanganan virus ini sangat kelihatan. Tempat tidur rumah sakit disediakan di perkotaan. Hingga saat ini saya tidak melihat ada kebijakan yang menyentuh pedesaan.
Jika korban berjatuhan di pedesaan, mereka hanyalah statistik. Mereka hanyalah deretan angka. Politisi boleh tidak terlalu kuatir. Kelas menengah perkotaan boleh tidak terlalu peduli. Media boleh menutup mata (hei, merekalah yang keluar dengan istilah ‘mudik,’ membeo para politisi!). Jutaan kematian di pedesaan tidak akan ada gaungnya dibandingkan dengan ribuan di perkotaan.
Itulah kenyataan pahitnya.