Bila wabah ini selesai dan masih ada manusia yang hidup yang bisa merasakan trauma dan mengais-ngais harapan, atau sebaliknya bila wabah ini selesai, kematian surut dan kerusakan ekonomi berakhir, dan hidup lebih tenang, akan tertera sebuah nama dengan huruf tebal: Tiongkok.
Epidemi Covid-19 adalah proses rebranding RRT: semula terkesan sebagai negeri yang tertutup, tak maju, dan terancam, kini ia tampak sebagai kekuatan positif yang perkasa. Ia bisa mengalahkan wabah dengan rapi – dan tak hanya itu: ia mengulurkan bantuan dan tauladan ke seantero dunia. Kadang-kadang disertai sepotong puisi.
Langsung atau tak langsung, Cina kini sebuah aura. Pengaruhnya meluas, dengan kemampuan teknologi yang tinggi, dengan komunikasi (kata lain: kampanye) yang halus memikat. Tak akan lagi ia dilihat sebagai “yang-lain-yang-tak-jelas”.
Selama 200 tahun lebih dunia mengikuti pandangan rabun Eropa macam itu. Di akhir abad ke-19, seorang sosiolog Rusia, Novikov, memperkenalkan istilah Le Péril jaune (Bahaya Kuning) – ekspresi rasialis yang waktu itu, karena Asia dan Afrika tak bersuara, dianggap wajar. Di masa itu juga Wilhelm II, Maharaja Jerman, dengan kepala cemas dan angkuh, menganjurkan kerajaan-kerajaan Eropa menyerbu Tiongkok.
“Kuning” tentu saja, bagi kepicikan Eropa waktu itu, tak hanya “Cina”, tapi juga “Jepang”. Dan ketakutan akan “kuning” itu panjang ceritanya: sejak serbuan bangsa Mongol ke Eropa di abad ke-14 sampai dengan fantasi abad ke-20 tentang Kaisar Ming yang jahat (di angkasa luar) dalam komik Flash Gordon.
Paranoia rasial itu kini berkurang, tentu: orang di Eropa mulai gemar nonton Jackie Chan, belajar taichi, dan terpesona kekayaan Jack Ma. Bahkan sudah beberapa dasawarsa ini Cina menakjubkan, bukan saja karena ekonominya tumbuh pesat, tapi juga karena pertumbuhan itu dengan model kapitalisme – berangkat dari sebuah kekuasaan yang hanya beberapa dasawarsa sebelumnya pernah mematikan kapitalisme.
Dalam citra yang popular kini, RRT adalah kisah “kemajuan”: bisa membangun rumah sakit besar dalam beberapa minggu, mendaratkan Chang’e 3 di bulan, dan ilmuwannya, Tu Youyou, perempuan ahli ilmu faal, memperoleh Hadiah Nobel.
Sembilan tahun yang lalu Henry Kissinger menerbitkan buku On China. Ia tentu saja membahas posisi RRT dalam hubungan politik internasional, karena di bidang ini dia memang ahlinya. Yang bagi saya menarik: ia memulai risalahnya dengan membandingkan catur dengan permainan wei qi.
Wei qi punya 180 bidak putih dan 181 bidak hitam yang disusun dan digerakkan dengan strategi mengepung musuh dan meluaskan “wilayah”. Bagi mereka yang belum kenal permainan kuno ini, kata Kissinger (saya tak tahu apakah dia bisa bermain wei qi), tak segera jelas siapa pemenang. Berbeda dengan catur.
Dalam catur, pemain yang rajanya tidak bisa bergerak lagi segera bisa diputuskan kalah, meskipun permainan baru tujuh langkah. Wei qi lain. Untuk menentukan kemenangan, jumlah bidak yang “masih hidup” harus dihitung bersama “wilayah” yang direbut. Permainan tak akan berakhir jika kedua petanding tak sepakat berhenti. “Catur adalah pertempuran yang segera menentukan [kalah atau menang], “ tulis Kissinger, “wei qi peperangan yang diperpanjang.” Kemenangan akhirnya hanya diketahui sebagai beda jumlah.
Dan Kissinger pun mengutip petuah dalam The Art of War yang ditulis Sun Tzu 2.000 tahun yang lalu: “Yang piawai dari segala piawai bukanlah menang di tiap pertempuran, melainkan mengalahkan musuh tanpa sedikit pun berperang.”
Dan itulah yang dicapai RRT kini: setelah melepaskan diri dari wabah Covid-19 dengan cepat – sebuah prestasi yang mendapat tepuk tangan di seluruh dunia – Cina menang. Pesaingnya, Amerika Serikat di bawah Trump, kewalahan, bebal, berisik dengan diri sendiri. Eropa tak lebih baik.
Tapi ini bukan pertandingan catur; ini wei qi, kemenangan hanya relatif.
RRT tak akan menjajah dunia. Ongkosnya terlampau mahal untuk itu. Ia akan mengulangi kearifan (dan pragmatism) zaman Sam Poo Kong: ketika di abad ke-15 Maharaja Yongle mengutus Laksamana Cheng Ho memimpin ekspedisi 307 kapal selama tujuh kali ke pelbagai kerajaan Asia dan Afrika, tak ada niat kolonisasi. Yang diharapkan pengakuan akan kedahsyatan Dinasti Ming dan upeti raja-raja lokal. Kemudian jalur perdagangan.
Menang tanpa perang dan tanpa kolonisasi – sebuah agenda yang efisien – itulah yang diperoleh RRT kini. Saya tak melihatnya sebagai hasil Konfusianisme atau Marxisme pasca-Mao yang aneh; saya lebih suka menafsirkan sejarah bukan dari isi kepala, melainkan dari kaki yang berjalan.
Yang sekarang terlihat adalah Cina yang meneruskan, dengan deras, proyek modernitas – tiga abad setelah Eropa berhasil mencobanya dan kemudian melihat luka-lukanya.
Dalam proyek modernitas, teknologi adalah ukuran pokok kemajuan, alam dan manusia diletakkan dalam kalkulasi, agama dan takhayul disingkirkan. Berbareng dengan itu, ada yang harus dibayar. Modernitas Eropa, seperti terkenal dalam ‘diagnose’ Max Weber, adalah “kerangkeng besi”: di dunia yang maju itu, sistem dibangun, kehidupan dikendalikan, disiplin ditegakkan. Manusia susut sebagai subyek, seperti Charlie Chaplin dalam film Modern Times.
Demikian pula sukses Cina menghentikan Covid-19: ia berkait dengan kemampuan surveillance supermodern. Di mana-mana alat dipasang dengan kecerdasan-buatan untuk mengintai. Negara mampu mendeteksi siapa yang bervirus – dan juga mengintip, misalnya, siapa tidur dengan siapa.
Mengagumkan. Tapi sejauh ini, belum ada negeri yang ingin meniru kuasa seakbar itu – tanpa peduli maukah warganya diintai tiap hari 24 jam. La visibillité est un piége, kata Foucault. Ketika kau dapat dilihat, kau terjerat.
Goenawan Mohamad
Catatan Pinggir Majalah TEMPO, edisi 30 Maret-5 April 2020