Oleh Babo EJB
Pada APBN 2020, defisit diperkirakan dikisaran 2,2% sampai 2,5%. Tapi nyatanya APBN mencatatkan defisit sebesar Rp62,8 triliun hingga akhir Februari 2020. Angka tersebut setara dengan 0,37 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kalau year to year, itu di atas 3%. Apa pasal?
Disebabkan penerimaan pajak yang mengalami tekanan ketika di sisi lain belanja negara bertumbuh. Sudah bisa ditebak, artinya badai krisis dunia sudah melanda Indonesia. Menghantam sektor real dan moneter. Kita bukan hanya defisit neraca perdagangan tetapi juga sudah defisit APBN.
Pada bulan Februari, saya ngobrol dengan teman konsultan keuangan. Dia katakan bahwa makro ekonomi tidak akan kuat menahan defisit APBN yang terus melebar. Cara menutupi defisit lewat berutang di pasar uang pasti tidak mudah. Apalagi investor punya banyak pilihan. Semua negara G20 rame-rame keluarkan bond untuk menutupi defisit akibat krisis ekonomi dan pandemi Corona. Kalaupun pasar bisa menerima, tentu harga akan sangat tinggi, dan ini tentu tidak efisien.
Di samping itu, kalau defisit APBN terus melebar, sehingga berpotensi nabrak pagu rasio batas aman sebesar 3%, seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Maka APBN harus ada perubahan. Akan ada pemangkasan APBN. Ini akan berdampak terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Pasar akan bersikap negatif terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Harga CDS pasti akan melambung dan likuditas surat utang indonesia pasti seret, dan bukan tidak mungkin rating akan jatuh. Memang posisi yang sangat berat dan sulit.
Saya membayangkan betapa berat beban Jokowi. Ini bukan hal yang datang mendadak. Tetapi sudah diprediksi sejak dua tahun lalu. Awal tahun 2020 indikator dunia semakin mengarah kepada badai tornado krisis struktural. Apalagi the Fed akan memangkas suku bunga dan terbukti bulan maret rencana pemangkasan suku bunga terjadi. Bahkan AS berencana akan mengeluarkan seri QE lagi. Rupiah jatuh tak bisa dibendung. Apalagi adanya Pandemi C19 di China semakin membuat situasi pasar memburuk. Bursapun berjatuhan, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di bursa utama seperti NY, London dan Shanghai, Hong Kong, Jepang, Singapura.
Bagaimana agar di tengah defisit , pertumbuhan ekonomi tetap terjaga? Artinya tidak ada pemangkasan anggaran. Itu juga tidak mudah. Karena Jokowi terganjal dengan Undang-Undang (UU) 17/2003 yang melarang APBN defisit di atas 3%. Kalau itu terjadi maka DPR berhak melakukan shutdown pemerintahan. Badai krisis politk tak bisa dihindari.
Sementara oposisi terus mendesak Jokowi mengumumkan ada wabah virus. Akhirnya itu diakui juga oleh Jokowi. Sentimen pasar semakin buruk terhadap rupiah. Oposisi memaksa Jokowi melakukan lockdown. Apa tujuannya agar pemerintah memangkas APBN dan ekonomi terjun bebas. Saat itulah oposisi bergerak menjatuhkan Jokowi seperi yang terjadi Italia.
Tetapi selama sebulan Maret, Jokowi menahan situasi dengan sangat berat. Situasi semakin memanas. Oposisi percaya , Jokowi tersudut. Tidak akan ada jalan keluar lagi. Akhir Maret 2020, Jokowi mengeluarkan PP dan Kepres tentang PSBB.
Setelah itu Jokowi keluarkan PERPPU atas Undang-Undang (UU) 17/2003) sehingga Jokowi bisa tabrak rasio Defisit diatas 3%. Darimana duitnya? Jokowi keluarkan PERPPU untuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Sehingga Jokowi bisa keluarkan Obligasi atau surat utang di mana pembelinya adalah BI sendiri. Dengan skema ini, pemerintah tidak perlu pusing negosiasi dengan investor. Pemerintah tinggal terbitkan surat utang dan BI beri uang. Simpel. Sehingga, APBN walau melebar defisit namun tidak ada pengurangan APBN, sehingga pertumbuhan ekonomi terjaga.
Inilah yang tidak pernah terbayangkan dan masuk kalkulasi para pengamat politik maupun ekonomi. Andaikan tidak ada kepanikan C-19 sehingga wacana lockdown tidak ada, tentu sangat sulit bagi Jokowi secara politik untuk keluarkan PERPPU mengamankan APBN dari resiko defisit semakin melebar.
Tentu sangat sulit bagi Jokowi keluarkan PERPPU untuk mendapatkan sumber pembiayaan atas penerbitan Pandemi Bond. Namun dari kepanikan C19, Jokowi bisa menyelamatkan ekonomi dari jurang resesi dan krisis politik sekaligus.
Majalah Economist Intelligence membuat analisa berdasarkan data komprehensif. Ternyata di antara negara G20, negara yang tidak termasuk krisis hanya tiga, yaitu China, Indonesia dan India. Selebihnya nyungsep.
Anda mungkin berkerut kening. Mengapa Indonesia tidak termasuk resesi. Bukankah mata uang Indonesia terburuk di Asia. Bukankah Indonesia mengalami defisit neraca berjalan. Defisit primer. Penerimaan pajak turun. Mengapa? saya akan jawab secara sederhana.
Pertama, kurs rupiah melemah, membantu mengurangi defisit APBN. Apa pasal? Karena volume impor BBM sudah berkurang sejak tiga tahun lalu, sejak ada kebijakan Biodisel. Apalagi tertolong dengan jatuhnya harga minyak dunia. Porsi SBN atau surat utang negara terhadap mata uang asing sudah dibawah 50% atau tepatnya 42%. Jadi tekanan penurunan rupiah tidak ada dampak significant. Apalagi sebagian besar SUN Valas itu bersifat unsecure yang bisa di recycle secara ARO.
Kedua, akibat postur APBN seperti itu, maka pemerintah punya ruang untuk melakukan stimulus ekonomi sektor real yang sangat penting menyelamatkan ekonomi dari akibat adanya goncangan. Sementara negara G20 lainnya, ruang stimulus sudah sangat sulit. Kecuali hanya untuk sektor moneter, yang tentu tidak berdampak luas terhadap sektor real.
Indonesia segera meluncurkan paket stimulus sebesar Rp405,1 triliun. Andaikan tidak ada Corona, mungkin Jokowi tidak akan punya kekuatan politik keluarkan stimulus sebesar itu, apalagi sampai harus mengeluarkan PERPPU agar tidak melanggar UU pagu defisit maksimum 3%.
Ketiga, inflasi yang rendah dan suku bunga terus dipangkas oleh BI, semakin memberikan sentimen positip terhadap dampak dari adanya Stimulus. Dengan adanya PERPPU, perubahan pagu defisit, dan tingkat inflasi yang masih di bawah 5%, itu memberikan peluang besar bagi pemerintah untuk terus meluncurkan stimulus sampai tiga tahun kedepan. Jadi walau pajak menurun, pendapatan menurun, ekonomi tetap stabil, dan chaos ekonomi seperti Italia, Dpanyol, Venezuela dan lainnya tidak akan terjadi.
Semua kendala dan goncangan ekonomi, justru memberi peluang politik bagi jokowi merestruktur ekonomi agar lebih besar porsinya bagi UKM, dan pemberdayaan kepada ekonomi lemah agar pasar domestik berkembang, yang tentu menjadi daya tarik bagi investasi.
Itu bukan karena Jokowi hebat tetapi karena Tuhan sayang dia dan rakyat Indonesia. Percayalah, itu blessing in disguise.