Mengenang Arief Budiman (1941-2020)
Oleh Goenawan Mohamad
Seorang anak muda 19 tahun, sebaya saya, tapi lebih kurus, lebih tinggi, dengan baju dan celana lusuh tapi bersih, dengan cara bicara yang lempang tapi tak agresif, dan dipanggil “Djin”, mengatakan ia sudah menerjemahkan satu bab dari “l’Etrangère“ : sejak kami berkenalan buat pertama kalinya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, di tahun 1960, Arief Budiman — waktu itu memakai nama “Soe Hok Djin“ — sudah tampak luar biasa.
Ia menyukai sastra dan filsafat sejak SMA, ia melukis, ia bermain gitar klasik dengan ketrampilan awal yang lumayan, ia pintar matematika.
Kami cocok dan dengan cepat jadi akrab.
Mungkin karena kami berdua agak jauh dari pergaulan dengan mahasiswa lain di Fakultas Psikologi UI. Waktu itu jumlahnya mungkin tak lebih dari 150 orang, tapi umumnya mereka tak dekat dengan hal-hal yang kami sukai: omong filsafat, omong seni. Arief juga tak menikmati yang mereka sukai — di sebuah universitas yang waktu itu bersemboyan, “buku, pesta, dan cinta”.
Persahabatan kami diperkuat lingkungan yang terbentuk kemudian. Arief memperkenalkan saya dengan seniman dan cendekiawan yang terkenal: Trisno Sumardjo (penerjemah Shakespeare dan perupa), Nashar (perupa), Zaini (perupa), P.K. Oyong (wartawan dan kelak pendiri Harian “Kompas”), Onghokham (sejarawan), dan, setelah 1967, memperkenalkan saya dengan orang yang ia kagumi dan dekat kepadanya, Mochtar Lubis.
Segera saya jadi bagian lingkungan ini — meskipun saya, yang dibesarkan dalam bahasa Jawa, tak seberani Arief menyebut seniman yang lebih tua “kau”.
Ya, Arief anak Jakarta tulen. Ia dibesarkan di keluarga Tionghoa yang hanya berbahasa Indonesia (ayahnya dahulu seorang sastrawan yang menulis dalam bahasa Melayu-Tionghoa), dan meskipun ibunya berbahasa Sunda, adat bertutur Arief lurus, lugas.
Lagi pula, ia tak melihat dirinya inferior. Dalam umur semuda itu, ia sudah sering menulis esei di majalah “Star Weekly.” Seperti saya sebut di awal, Arief sudah menerjemahkan satu bab dari “l’Étrangère.”
Ia mengagumi Albert Camus; ia bahkan merasa punya persamaan dengan pengarang kelahiran Aljazair itu ketika ia, seperti Camus di umur 17, didiagnosa kena TBC ; Arief pernah harus dirawat di Pacet. Ia membaca, dalam bahasa Inggris, buku-buku Camus. Ia melahap “The Myth of Sisyphus”, dari mana ia kembangkan pandangannya yang anti-utopisme. Buku itu, di mana tertera nama “Djin“ di halaman depan, masih saya simpan, sejak setengah abad yang lalu.
Arief bukan fotokopi Camus, tentu. Ia tak pernah aktif dalam dunia pentas, dan tak seperti Camus, Arief tak punya hubungan dengan perempuan-perempuan yang memikat. Tapi pandangan anti-utopismenya memang dibentuk mithos Sisyphus yang dipakai Camus sebagai alegori bagi sejarah manusia yang tak pernah selesai dan lengkap.
Ini terutama tampak ketika ia, di tahun 1963, dalam umur 22, ikut merumuskan Manifes Kebudayaan. Manifes ini semacam petisi. Kami mengimbau dijaganya kemerdekaan ekpresi seni di masa “Demokrasi Terpimpin” itu, ketika banyak tulisan dibrangus.
Petisi kami bertolak dari pandangan bahwa tak semestinya kemerdekaan seni dikorbankan untuk perjuangan politik (di tahun 1960-an itu disebut “Revolusi” dengan “R”) yang hendak mencapai masyarakat yang sempurna. Sebab, dalam perspektif yang anti-utopisme, masyarakat seperti itu tak akan pernah tercapai.
Justru dengan merawat kemerdekaan, menurut Manifes Kebudayaan, kesenian akan mampu jadi bagian pembebasan. Peran seni itu tak pernah berhenti, sebab tak mengasumsikan akan ada “sorga di bumi” — untuk meminjam judul kumpulan sajak seorang penyair Lekra, Sugiarti Siswadi.
Dalam hal itulah petisi yang diejek sebagai “Manikebu” itu bertentangan dengan “realisme sosialis” yang dianjurkan Lekra. “Realisme” ini doktrin yang digariskan Stalin pada awal 1930-an untuk mendukung Rencana Lima Tahun. Bagi doktrin ini kemerdekaan kesenian sebuah kemewahan. Seperti pernah dikatakan Lenin, kemerdekaan hanya ada setelah masyarakat sosialis lahir.
Kami berkeberatan. Kemerdekaan tak sebaiknya dikarantina. Arief dan penandatangan Manifes Kebudayaan anggap bahwa itu akan mengorbankan banyak hal, seperti yang terjadi di Uni Soviet, di mana sastrawan dipenjarakan, disisihkan, atau dieksekusi.
Dan semuanya sia-sia, karena mereka dikorbankan untuk sebuah masyarakat masa depan yang tak akan lahir. Dan terbukti eksperimen Stalin gagal membangun masyarakat seperti itu.
Doktrin “realisme sosialis” ditinggalkan setelah Stalin mangkat di tahun 1953; karya-karya sastra jenis baru lahir: puisi Yevtushenko, novel Solzhenitsin, puisi dan prosa Pasternak, dan lain-lain. Manifes Kebudayaan, yang ditulis masa pasca-Stalin, dapat inspirasi dari semangat itu.
Sebenarnya waktu itu Arief jauh dari Marxisme. Ia tak tertarik. Ia tak pernah ikut saya melihat-lihat buku terbitan Moscow Foreign Publishing House di Jalan Kramat Raya, Jakarta, di bagian bawah kantor CC PKI, di mana karya Dostoyewski, Gorki, Turgenev, Plekhanov, Lenin, Marx, Engels — dalam jilid yang tebal dan menarik — dijual dengan harga murah.
Saya sering belanja; buku-buku Marxis dengan gambar wajah dua orang berjenggot mengingatkan saya kepada perpustakaan ayah saya — maka mungkin saya, yang bangga bisa hafal lagu “Internationale” sejak kelas tiga SD, menyenanginya karena nostaligia. Arief mendapatkan bacaan utamanya dari tempat lain, mungkin dengan bantuan P.K. Oyong, wartawan senior Star Weekly yang sangat dekat dengan dia.
Oyong, selama majalahnya ditutup Demokrasi Terpimpin (karena dianggap dekat dengan Partai Sosialis Indonesia yang dibubarkan Bung Karno), punya cara mendapatkan buku dari Eropa dan Amerika yang waktu itu tak boleh masuk ke Indonesia. Arief beruntung menikmati kesempatan itu
Saya kagum ia menguasai bagian-bagian yang sulit dari “Being and Nothingness”, versi Inggris karya Sartre. Tapi jika ia menyukai “eksistensialisme” bukan karena ia ikut sebuah mode intelektual; eksistensialisme menyertai pandangan Arief di awal dan pertengahan 1960-an.
Ia bahkan menulis skripsi untuk gelar sarjana psikologi dengan fokus Chairil Anwar sebagai “eksistensialis”. Dan ini luar biasa di Fakultas Pskiologi UI yang tak pernah menyentuh sastra Indonesia.
Saya kira, yang merasuk ke dalam diri Arief dari para penulis Prancis sehabis pendudukan Nazi itu adalah semangat perlawanan dan ide kemerdekaan — dua tema yang jadi corak pemikirannya selamanya.
Dengan itulah Arief memilih jalan yang liat — jalan ide yang solid di atas dunia yang rekalsitran dan lunak. Dengan kata lain, ide/kesadaran adalah aktivitas menghadapi dunia/tubuh.
Ada sikap puritan dalam dirinya. Ia tak pernah mencari santapan lezat dan pakaian mentereng. Kesederhanaan hidupnya berkaitan dengan keyakinan bahwa tubuh tak begitu penting. Dunia pemikiran lebih penting.
Di sana sayup-sayup bergaung pemikiran Sartre — atau alam pikiran yang menyebabkannya mudah menerima pembagian biner ala Sartre: di satu pihak ada kehidupan “en-soi” — yang tak digerakkan kesadaran/pikiran/refleksi. Di lain pihak kehidupan “pour-soi”, yang sadar akan kesadarannya, yang bisa membentuk, mengubah keadaan obyektif.
Perspektif biner seperti itu kuat dalam pandangan Arief: yang terkenal misalnya, ia melihat beda yang tegas antara “gerakan moral” dan “gerakan politik”. Dan sebagaimana lazimnya, perspektif biner mengutamakan yang satu di atas yang lain. Bagi Arief, “gerakan politik” —juga yang berniat mengubah struktur yang busuk —selalu terjebak “tangan-tangan kotor”.
Ia memilih “gerakan moral”. (Ia bahkan menjaga “yang-moral” sampai hal yang sepele. Ketika jadi anggota Badan Sensor Film di akhir tahun 1968, mewakili seniman, ia menolak menerima rokok ‘555’ yang dibagikan importir film; baginya itu langkah kecil penyuapan).
Marxisme-nya, yang ia dapat selama belajar dan bergaul di kampus Amerika di akhir 1970-an, adalah Marxisme “ethis”. Ia terpikat karya-karya Marx muda. Marxisme Arief bermula dari kesadaran akan ketidak-adilan, dan kemudian membentuk konstruksi theoritis masyarakat. Dari sana ia menganalisa keadaan. Disertasinya di Harvard tentang Chile dan pemerintahan Allende yang kiri adalah contohnya.
Dalam pemikiran ilmunya, Arief menjalankan apa yang disebut “idealisasi”: menangkap realitas dengan cara membentuknya dalam ide — dan dengan demikian ia menganalisa problem dengan gamblang.
Sebab itulah esei Arief Budiman kita baca sebagai prosa yang tajam dan terang, clair et distinct. Kompleksitas, keruwetan, dan inkonsistensi di dunia tak dibiarkan merecoki tesis yang hendak dikemukakan. Arief dengan ulung mampu mencerna masalah dan menguraikan persoalan jadi sederhana. Saya pernah melihat ia menjelaskan sebuah problem ilmu statistika yang pelik kepada teman-teman sekuliah. Mereka senang, perkara jadi jelas — sebagaimana kalau orang mengikuti paparan Arief Budiman tentang, misalnya “teori dependensi” pembangunan ekonomi di Amerika Latin.
Maka wajar transformasi Arief dari seorang penggemar filsafat jadi seorang “man of action” —dari seorang yang bergairah dalam dunia pemikiran jadi seorang yang turun ke jalan untuk menyatakan statemen. Aktivisme menghendaki arah yang jelas.
Ini sejajar dengan perubahan sumber-sumber intelektual Arief: ia jadi tertarik kepada Marxisme, setelah di masa muda begitu “masuk” ke dalam pemikiran Camus dan Sartre.
Di sini saya duga Sartre sebuah jembatan. Pemikir Prancis ini, setelah mencoba memaparkan filsafatnya sebagai alternatif bagi Marxisme, di akhir tahun 1950-an berubah. Dalam “Critique de la Raison Dialectique” yang terbit di tahun 1960 Sartre menyatakan bahwa eksistensialisme berada di bawah Marxisme. Ia seorang “Marxis”, katanya merumuskan dirinya sendiri.
Arief tak pernah menjelaskan perubahan ini dalam tulisannya, (atau saya tak pernah mengetahuinya jika ia pernah). Tapi seperti Sartre, ia punya keyakinan humanisme yang unik. Ia yang memperkenalkan saya buku Sartre, “L’existentialisme est un humanisme”.
Baginya, manusia merdeka karena dihukum untuk merdeka, dan dengan kemerdekaan itu ia tak bisa dirumuskan dengan esensi tertentu. Ia jadi dirinya karena ia memilih, berbuat, membuat.
Aktivisme Sartre — filosof ini, kita ingat, bukan hanya menulis karya-karya yang tebal, tapi juga penggerak demonstrasi menentang kapitalisme dan imperialisme — bertolak dari pandangan tentang manusia yang tak punya ketentuan takdir. Aktivisme Arief juga demikian.
Tapi harus segera saya tambahkan: pada Arief, ada yang sangat berbeda.
Satu tokoh dalam lakon “Huis Close” Sartre mengatakan, “Neraka, itulah orang lain.” Berlawanan dengan itu, Arief menemui orang lain. Ia mudah bertegur sapa, bertukar pikiran tanpa ngotot. Komunikasi merupakan dorongan yang dominan dalam dirinya.
Bahkan ia melihat konflik sebagai komunikasi. Tak pernah tercetus kata “goblok” atau “bangsat” dari mulutnya. Ia tak pernah menghina pendapat lain. Kata negatif yang paling kasar dari mulut Arief: “payah!”. Ia punya kapasitas mendengarkan, juga mendengarkan kritik yang paling keras.
Dengan sangat wajar ia bergabung dalam “pergerakan” .
Tapi ada satu faktor lain yang membuatnya “bergerak”: Soe Hok Gie, adik kandungnya. Persisnya sejak Gie meninggal dalam kecelakaan di Gunung Semeru.
Kakak beradik ini jarang bicara satu sama lain. Mereka saling menjauh, setidaknya di depan orang ramai. Dunia pergaulan mereka berbeda. Gie aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis; ia dekat dengan kalangan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dibubarkan Bung Karno dan pemimpinnya, Syahrir, dipenjarakan. Gie lebih akrab dengan aktivis politik —termasuk dengan bekas peserta Pembrontakan Permesta.
Sementara Arief lebih banyak bergaul dengan perupa seperti Nashar, Zaini, Oesman Effendi dan Trisno Sumardjo, dan kemudian dengan saya, Rendra, dan penulis lain.
Tapi ketika ia menulis obituari pendek tentang adiknya, Arief terasa tergetar, dan tergerak, oleh perjuangan Gie yang selama ini mungkin tak ia pedulikan. Ia menjemput jenazah Hok Gie dari Gunung Semeru. Di sana ia diberitahu ada tukang peti mati yang menangis karena kematian “orang yang berani” itu.
Ini memberi Arief “insight” baru. Pada suatu saat Gie pernah menyatakan kebimbangannya kepadanya: dalam perjuangan untuk “menolong rakyat kecil yang tertindas”, ia merasa kian banyak dimusuhi. Kata Gie:, “kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.”
Tapi di kaki Semeru itu Arief tahu, tak demikian halnya. Soe Hok-gie tak kurang pendukung dan pengagum. Di sebelah peti mati adiknya ia berkata, “Gie, kamu tidak sendirian.”
Kemudian Arief membuktikan itu dengan bergerak sebagai aktivis, seakan-akan mengambil bendera keberanian yang terjatuh yang dibawa adiknya yang tewas. Ia percaya seorang “yang jujur dan berani” yang melawan ketidakadilan akan “mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang.”
Kepercayaan Arief kepada “banyak orang” itu bagi saya memperlihatkan sikapnya: dalam dirinya, tak ada arogansi, tak ada kekenesan seorang yang sedang berada di atas panggung perjuangan.
Berbeda dari Gie, Arief tak pernah mengatakan ia sendirian dan dengan itu merasa heroik. Kesendirian dalam diri Arief sangat dekat dengan keikhlasan. Ia suka memakai tokoh film Shane sebagai tauladan. Jagoan film western ini menghadapi kesewenang-wenangan tanpa melibatkan orang lain ke dalam bahaya, dan setelah berhasil memulihkan keadilan, pergi, menghilang. Tanpa menunggu sorak sorai.
Itu sebabnya semua orang yang mengenalnya tahu, perjuangan Arirf murni. Persahabatannya juga murni, sebagaimana cintanya kepada Leila — teman sekuliahnya yang kemudian jadi istrinya.
Saya ingat apa yang dikatakan seorang yang mengagumi dan mencintainya: Ivan Kats, yang bekerja di Congres for Cultural Freedom di Paris di tahun 1960-an.
Sebelum Arief dan keluarga pindah ke Paris di tahun 1972 untuk bekerja bersama Ivan, di tahun 1964 Arief pernah tinggal di rumah keluarga Kats di Marly-le-Roi, sebuah kota kecil tua dengan hutan yang rindang di dekat Versailles.
Kepada saya, yang mampir berlibur ke rumah itu waktu saya kuliah di Brugges, Belgia, mendiang Ivan dan isterinya, Evelina, seorang pelukis, bercerita: mereka beberapa kali mengajak Arief berjalan menyusuri hutan. Mereka tertegun sahabatnya akan berhenti di tepi sebuah parit dengan air yang jernih, dan dalam cuaca musim gugur, langsung minum dari alir itu…
“Ia sungguh akrab dengan apa yang murni,” kata Evelina.
Kini Arief akan murni selama-lamanya.
Jakarta, 23 April 2020