Oleh Dodie Ambardi
Perjalanan itu akhirnya sampai pada batas. Dua belas tahun terakhir Arief Budiman terdera Parkinson, yang pelahan menurunkan kemampuan fisiknya. Kemarin ia meninggalkan kita.
Sepuluh tahun lalu, saya ingat, senior Saur Hutabarat meminta saya menghubungi Arief Budiman untuk memintanya menulis sepenggal naskah sebagai bingkisan untuk seorang sahabatnya, Ashadi Siregar, yang akan memasuki masa pensiun.
“Saya ingat Ashadi, teman lama yang bareng melakukan protes pembangunan TMII dan aktif dalam gerakan anti korupsi. Tapi saya lupa banyak detil yang saya perlukan untuk menulis,” jawabnya ketika permintaan itu saya ajukan ke dia.
Mereka berdua bersobat dalam gerakan moral yang muncul awal 1970an yang diinisiasi Arief Budiman bersama kawan-kawannya dan membetot perhatian media.
Namun fisiknya tetap kokoh saat itu, hanya tangan kanannya kadang terlihat bergetar karena deraan Parkinson. Ia masih rutin berjalan kaki di pagi hari melangkahi perbukitan di sekitar rumahnya di Salatiga.
Sesekali saya ikut ketika mengantar sahabat yang ingin mengunjunginya, dan lantas diajaknya sekalian berjalan pagi. Sesekali pula bersama istrinya, Leila Ch Budiman, mereka mengajak dua anaknya, Adrian Budiman dan Susanti Kusumasari, serta cucu dan menantunya untuk menyusuri busur-busur bukit dan deretan pepohonan yang diselingi bangunan dan deret rumah perkampungan.
Di rumah, yang lanskapnya bertakik di sebuah lereng itu, Leila secara rutin mengajak suaminya untuk bergerak menjaga kebugaran.
Takikan halaman timur yang landai dan lebih rendah dari lantai rumah hunian berbahan kayu itu disulap menjadi lapangan badminton dengan garis batas potongan bambu.
Bukan ukuran standar, tetapi lapangan itu cukup bagi Leila untuk mengajak Arief Budiman menampelkan raket. Bahkan, ketika lengan kanan Arief Budiman tak lagi seluwes sebelumnya, Leila mengajak suaminya untuk menampelkan raket dengan lengan kiri.
Sekitar tiga tahun lalu, gerak fisik Arief Budiman makin terbatas. Dia berjalan kaki di halaman rumah saja, dan itu sering diakhiri dengan obrolan ringan dan senda gurau keluarga di sekeliling meja makan.
Saya kerap membawa cerita di meja itu tentang perjumpaan saya dengan teman-teman lamanya. Saya bercerita tentang Goenawan Mohammad yang bersibuk di Salihara, Nono Anwar Makarim yang masih terlihat segar dalam sebuah pertemuan makan siang, atau bercerita tentang Rahman Tolleng yang saat itu masih aktif dengan lingkaran yuniornya: Rocky Gerung, Robertus Robet, dan Bagus Takwin di bilangan Menteng.
Banyak nama lain yang saya ceritakan karena saya bertemu mereka sepintas di berbagai kesempatan: Daniel Dhakidae, Ignas Kleden, Mohtar Mas’oed, Bill Liddle, Salim Said, Ichlasul Amal, Emha Ainun Najib, Gus Mus (yang saya dengar kabarnya dari Yahya Cholil Staquf), Butet Kartarejasa – sampai dengan yang lebih yunior lagi Rizal Mallarengeng, Saiful Mujani, dan Stanley.
Kadang saya mengobrolkan juga anak-anak sahabat lamanya yang kebetulan saya berjumpa dan berkenalan, seperti Sati putri Bur Rasuanto dan Erman Rahman putra Rahman Tolleng.
Cerita-cerita ringan tentang pertemuan dengan mereka saya sampaikan ke Arief Budiman dengan maksud membawanya ke lingkaran sosial yang belakangan susah untuk didatanginya akibat keterbatasan fisik.
Tapi cerita pergaulan itu tak semuanya cerah. Saya mengabarkan juga Fikri Jufri yang sedang sakit, Dawam Raharjo, Johan Effendi, dan Rahman Tolleng yang telah meninggalkannya lebih dulu. Matanya berubah berkaca-kaca setelah mendengar cerita dan kabar itu, dan kadang wajahnya seolah menerawang ke masa silam yang jauh.
Biasanya saya membelokkannya ketika cerita itu terasa mengharu-biru perasaan Arief Budiman, dan menggantinya dengan cerita ringan lain yang saya peroleh dari berbagai kalangan. Antara lain, dari teman-teman UIN Ciputat yang membagi pengalaman mereka di jaman mahasiswa dengan Arief Budiman.
Di tahun 1990an, teman-teman Ciputat itu mengundang Arief Budiman untuk menjadi salah satu pembicara di seminar yang mereka selenggarakan. Untuk menghormatinya, mereka menyediakan jemputan mobil bagi Arief Budiman yang berangkat dari Salatiga dan berhenti di Terminal Pulogadung. Dari terminal, seraya mengobrol ringan, mereka melaju menuju Ciputat.
“Apa mau dikata,” kata salah seorang teman itu, “mobil tua itu mogok di tengah jalan.” Alhasil, teman yang menyopir diminta tetap duduk di belakang stang kemudi, mengatur persneling, dan melepas kopling saat dorongan mobil itu telah dirasa cukup lajunya. Sementara, teman-teman lainnya beramai-ramai mendorong mobil itu.
Saat itulah mereka terkejut: Arief Budiman bersebelahan dengan mereka ikut mendorong mobil mogok itu. “Arief Budiman kok mendorong mobil …”, teriak teman itu sambil terbahak.
Ketika saya konfirmasi, Arief Budiman hanya tersenyum saja mengingat pengalaman itu.
Situasi yang membersitkan humor kadang ditimpali cerita dari istrinya. Salah satunya, tentang sepenggal kisah mereka sebelum pernikahan.
Saat opname di rumah sakit, Leila membawakan Arief Budiman sepaket masakannya dengan lauk ikan goreng di dalamnya. Ketika kembali ke ruang opname, Leila merasa senang karena melihat semua masakan terhabiskan.
Tapi, satu hal, Leila bertanya-tanya, kemana sisa duri ikan yang akan dibuangnya ke tempat sampah di luar? Leila sempat sedikit jengkel saat mendengar jawaban Arief Budiman, “Kasihan ikan itu, tadi saya kubur di belakang …”
Sela-sela humor juga muncul dalam pengalaman paroh akhir 1980an, saat saya dengan teman-teman mahasiswa di Fisipol UGM mengundangnya untuk sebuah diskusi buku yang diterjemahkan dari disertasinya – Jalan Demokratis Menuju Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende, yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan.
Dengan dua pembicara, Arief Budiman sang penulis buku, duduk di samping kiri dan Mohtar Mas’oed sebagai pembahas di sebelah kanan, dan sang moderator Yahya Cholil Staquf berada di tengah – seraya memberikan pengantar singkat untuk membuka diskusi: “Teman-teman sekalian, penempatan posisi duduk ini bukanlah sebuah kesengajaan. Yang di kiri saya adalah Arief Budiman yang bukunya akan kita diskusikan. Kita semua tahu, Pak Arief itu selalu di kiri …”
Ledakan tawa memenuhi Ruangan E Gedung Fisipol yang memuat sekitar 150 peserta diskusi. Rupanya, sebagian besar peserta diskusi itu menangkap humor pendek yang dilontarkan sang moderator.
Arief Budiman memang dikenal publik sebagai ilmuwan sekaligus pemikir dan tokoh gerakan kiri dalam perdebatan dan diskusi isu-isu sosial-politik-budaya jaman itu. Kiri kerap diasosiasikan dengan pembangkangan terhadap segala yang mapan. Dan Arief Budiman, sejak kepulangannya dari Amerika Serikat tahun 1981, tampil di gelanggang publik sebagai salah satu tokoh barisan pembangkang zaman Orde Baru.
Seraya tersenyum, Arief Budiman merespon ledekan kiri itu, “Moderator ini nampaknya keliru membaca. Dari sudut tempat duduk Anda semua yang berada di depan saya, saya masih terlihat sangat kanan …”
Cerita humor itu sama banyaknya dengan cerita teror yang dialaminya bersama anggota keluarganya, karena Arief Budiman kerap mengorganisir dan menaungi demonstrasi, menulis banyak kolom kritik, dan memberikan komentar lugas di media.
Di awal 1990an, ia memberikan komentar di sebuah koran atas karier melesat seorang jendral. Pelesatan karier itu, menurutnya, tidak cocok dengan prestasi sang jendral yang sebenarnya biasa-biasa saja. Besoknya, rumahnya disatroni intel, dan keluarga menemukan bangkai angsa piaraan dan benda-benda asing lainnya di halaman rumah sepanjang seminggu.
Arief Budiman melawan seorang jendral di masa Orde Baru?
Saya teringat tanda-tangannya yang memvisualisasi nama lengkapnya. Istrinya, Leila, suatu saat nyeletuk, “Tanda-tangan Arief itu ujung tiap hurufnya tajam dan runcing. Mungkin itu mewakili satu sisi kepribadiannya.”
Di saat yang sama, saya teringat dengan sikap rileksnya. Ketika mendaftar undangan pernikahan untuk anaknya yang kedua, ia mengatakan, “Gus Dur itu orang sibuk, nanti malah menyusahkannya kalau dia diundang.”
Tak dinyana, di hari pernikahan itu berlangsung, Gus Dur, yang kebetulan melewati Salatiga dalam perjalanan daratnya mendengar kabar pernikahan itu, memutuskan untuk mampir.
Sama rileksnya, keduanya tersenyum dan saling berpelukan di halaman rumah Salatiga, dan Gus Dur segera disalami sahabat-sahabat lainnya yang melingkar di teras rumah itu.
Sorenya, reriungan antarsahabat itu berkembang menjadi kumpulan aktivis senior yang meneriakkan sebuah kritik publik ke pemerintah … (sedikit gerutu keluar dari istrinya, Leila Budiman, “Acara keluarga kok bisa jadi acara politik ya?”).
Sekarang, saya hanya bisa mengenang keseharian Arief Budiman yang memiliki banyak sisi: kerap berhumor, menyenangi kesetaraan, menghidupi intelektualisme dan aktivisme, dan gemar melakukan pembangkangan.
Saya teringat juga kenangannya saat dari Semeru mengangkut jenazah Soe Hok Gie, adiknya, yang termuat dalam buku Catatan Seorang Demonstran.
Seraya mendeskripsikan “kesepian” Hok Gie yang menjadi intelektual publik dan pengritik gigih ketidakadilan, ia menutup pengantarnya: “Saya terbangun dari lamunan saya ketika dipanggil naik pesawat terbang. Kami segera akan berangkat lagi. Saya berdiri kembali di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik ‘Gie, kamu tidak sendirian’. Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yang saya katakan itu. Suara pesawat terbang mengaum terlalu keras.”
Kini Arief Budiman pergi menjumpai adiknya, Soe Hok Gie. Saya tak tahu, apakah kenangan saya ini akan sampai kepadanya. Selamat jalan, Pak Arief Budiman, Al-Fatihah untukmu. Kita semua akan menjumpaimu lagi, kelak.