Oleh Nasihin Masha
Kemarin, Senin, 27 April 2020, ada yang berbeda pada penampilan Doni Monardo. Kepala Gugus Tugas Covid-19 ini tampil dengan seragam militer. Padahal semenjak masuk pada jabatan sipil, Doni selalu berpakaian sipil – kecuali saat menghadiri HUT TNI atau HUT Kopassus. Selebihnya ia mengenakan seragam dinas sesuai penugasannya.
Sebagai kepala Badan Nasional Penanggulan Bencana ia selalu mengenakan rompi BNPB atau rompi Gugus Tugas Covid-19. Namun seharian kemarin ia mengenakan seragam militer, termasuk saat rapat dengan Presiden melalui video conference. Lengkap dengan bintang tiga di pundaknya. Gambar di aplikasi whatsapp nya pun berseragam militer, bahkan dengan topi baret.
Ada apa? Saya mengirim pesan whatsapp ke Letjen TNI Doni. Ini jawabannya: “Diminta Sekkab pakai seragam TNI.” Rupanya Istana yang memberikan perintah itu. Doni memang orang Minang, tapi perangainya halus seperti orang Jawa. Ia juga dikenal disiplin, taat asas, dan rendah hati.
Karena itu, saat ia ditugaskan untuk jabatan sipil, ia selalu berseragam sipil. Sebetulnya banyak yang kaget ketika perwira yang selalu sukses dalam berbagai penugasannya ini dipindahkan ke jabatan sipil. Ia belum masuk pensiun, sehingga sudah sepantasnya ia masuk dalam jabatan di kemiliteran. Namun jabatan perwira tinggi merupakan jabatan politik. Maka unsur politik selalu menyertai. Doni harus menerima kenyataan itu.
Doni dikenal sebagai perwira yang cinta lingkungan. Semenjak masih di pasukan, ia menggalakkan penghijauan di seluruh Indonesia. Jika kita menyaksikan jalan-jalan raya di seluruh Indonesia kini marak lagi dengan pohon trembesi, maka di situ ada tangan Doni Monardo.
Posisinya sebagai komandan pasukan presiden di era SBY, memudahkan langkahnya untuk menggalakkan lagi pohon ini. Pohon ini jenis pohon besar dan bertajuk lebar. Karena itu cocok untuk membuat adem jalan-jalan raya. Semenjak beberapa dekade terakhir, Indonesia terlalu panas. Jalan-jalan raya gersang dari pepohonan.
Padahal di era Belanda ada dua jenis pohon favorit yang berdiri di sisi-sisi jalan: pohon trembesi dan pohon asem. Kita bisa mengenang keindahan jalanan yang ditumbuhan dua jenis pohon itu.
Saat saya kecil hingga remaja, di depan rumah orangtua saya di kampung berdiri pohon trembesi yang besar. Diameternya sudah lebih dari satu meter. Tapi kini sudah tak ada. Pohon trembesi yang berdiameter lebar dan urat kayunya bak berukir membuat kayu trembesi diminati untuk menjadi meja besar atau bangku panjang. Artistik dan solid. Harganya mahal. Ini yang menjadi salah satu faktor hilangnya pohon-pohon trembesi di jalanan.
Para distributor bibit pun ikut berperan: mereka mengganti pohon asem dan tresmbesi dengan pohon mahoni, akasia, angsana, flamboyant, dan beragam tanaman impor lainnya. Bahkan kehadiran akasia disesali karena merusak tanaman lain.
Bagaimana dengan trembesi? “Di awal banyak yang menentang. Katanya akarnya merusak jalan,” kata Doni, suatu ketika.
Secara kasat mata, pohonnya besar tentu akarnya bisa menjalar ke mana-mana dan merusak jalan. Doni tak menyerah. Melalui koneksi militernya, ia menimba informasi ke Singapura. Ya negeri pulau ini justru mempertahankan pohon trembesi. Dari situ ia mendapat jawaban ilmiah bahwa akar trembesi tak merusak jalan.
Maka ia makin mantap melangkah. Bahkan ia mengembangkan berbagai jenis tanaman lain, termasuk pohon baobab. Pohon yang bisa berusia raturan bahkan ribuan tahun. Pohon ini berharga mahal. Ada dua jenis, satu dari Afrika dan satu lagi dari Madagaskar. Indonesia sudah lama mengenal tanaman ini yang dibawa Belanda.
Namun terbatas di sejumlah perkebunan teh, di antaranya di sekitar Ciater. Namun oleh pehobi, tanaman tua itu sudah dipindahkan. Alasannya untuk dilestarikan. Di antaranya dibawa ke kampus UI, Depok.
Saat menjadi Pangdam III/Siliwangi, Doni menggebrak untuk merehabilitasi Sungai Citarum. Sungai terbesar di Jawa Barat ini memiliki posisi yang vital dalam konteks ketahanan nasional. Sungai ini menjadi sumber air minum bagi warga Jakarta. Sungai ini menjadi sumber irigasi 420 ribu hektare sawah di Jawa Barat. Sungai ini juga menjadi pemasok pembangkit listrik berdaya 1.888 MW untuk Jawa Bali. Belum lagi orang-orang yang ikut terhidupi di sepanjang 269 km sungai tersebut. Ada yang menanam ikan misalnya.
Doni selalu mampu melihat sisi lain dalam penugasannya. Nah, Sungai Citarum yang sangat vital itu kotor dan tercemari. Bahkan beredar video yang dibuat orang asing tentang penuhnya sungai tersebut oleh limbah botol plastik serta beragam sampah lainnya. Belum lagi dengan perilaku pemilik pabrik yang membuang limbahnya di sungai tersebut. Untuk merehabilitasi sungai itu ia menamai programnya Citarum Harum.
Namun sayang ia tak bisa melanjutkan programnya ketika ia dipindah ke Jakarta untuk jabatan yang sesungguhnya tak harus oleh Doni Monardo: Setjen Wantannas. Mantan Danjen Kopassus itu harus banyak diskusi dan duduk di belakang meja. Program Citarum Harum juga harus diserahkan ke orang lain, yang kini tak terdengar kabarnya. Banyak pihak yang terganggu oleh program rehabilitasi Sungai Citarum itu.
Dari Wantannas, Doni menjadi kepala BNPB. Di sini pemerintah harus membuat sulapan regulasi. Sebagai perwira aktif, Doni tak lazim duduk di jabatan sipil. Pemerintah mengubah regulasi agar jabatan kepala BNPB boleh dijabat oleh perwira aktif.
Banyak spekulasi politik tentang penggeseran Doni ini. Mengingatkan kasus pensipilan SBY sebagai perwira aktif dengan ‘dipromosikan’ sebagai Mentamben di era Gus Dur. Tapi hal itu justru menjadi berkah bagi SBY. Jabatan Mentamben justru menjadi salah satu modal bagi SBY untuk menjadi presiden. Dengan adaptasi regulasi maka Doni tetap seorang perwira aktif.
Kini, Istana meminta Doni untuk berseragam militer sebagai kepala Gugus Tugas Covid-19. Kenapa begitu? “Pesan kepada para gubernur dan menteri yang ikut rapat terbatas untuk meningkatkan disiplin dan patriotisme dalam berperang melawan Covid-19,” kata Doni mengutip pesan Presiden.
Ketika Presiden Jokowi menunjuk Doni untuk memimpin Gugus Tugas Covid-19, semua pihak berbahagia. Semua berharap dan percaya pada kemampuan Doni. Perang melawan Covid-19 ini melebihi perang fisik. Ini perang melawan bayangan. Musuhnya tak terlihat. Butuh figur kuat dan terlatih.
Namun seiring waktu, fragmentasi politik di pemerintahan pusat, di pemerintahan daerah, dan keterbelahan akut di tingkat masyarakat, membuat bangsa ini sibuk perang melawan diri sendiri – alih-alih perang melawan jasad renik tak kasat mata. Publik menyaksikan itu.
Tim Gugus Tugas mengalami perombakan, Perpu tentang Covid-19 saling menegasi. Pernyataan-pernyataan saling bertentangan. Menkes diminta tak banyak dibaca dan pemerintah mengangkat jubir untuk Covid-19. Para petualang selalu mencuri peluang. Semua itu terbaca oleh publik. Dalam situasi itu, Doni memilih bekerja dalam senyap. Ia hanya sekali-kali saja muncul. Kini, tiba-tiba ia muncul dengan seragam militer atas perintah Presiden.
Pesannya jelas: disiplin dan patriotisme. Kita tunggu kepemimpinan Doni untuk tugas dalam dua aras tersebut. Hal inilah yang diinginkan publik. Kemajuan yang sudah berhasil dicapai seperti terlihat dengan terus menurunnya pertumbuhan angka positif baru jangan sampai rebound lagi seperti yang terjadi di Singapura maupun di Wuhan.
Namun Doni butuh seorang teknokrat untuk merapikan barisan belakang, itu saja catatannya. Rakyat sangat menunggu kesuksesan bangsa ini dalam perang melawan Covid-19.
Musuh yang bisa muncul nanti adalah rasa stress dan habisnya kesabaran karena terus di dalam rumah. Disiplin dan patriotisme memang sebagian dari jawaban yang tepat, tapi itu butuh kepemimpinan dan kerapian manajemen.