Oleh Goenawan Mohamad
Dalam seminggu ini saya kehilangan dua orang yang dekat dengan hidup saya, Arief Budiman dan Kartono Mohamad— dan ini sebuah obituari lagi. – GM
Satu setengah jam sebelum Kartono menghembuskan nafas terakhir, saya sempat menengoknya di ruang ICCU tempat ia dirawat sejak beberapa hari sebelumnya. Ia terbaring di ranjang tinggi, seakan-akan dalam tidur yang dalam.
Melekat di tubuhnya slang infus dan kabel-kabel yang tak saya tahu arah dan detailnya. Di atas tempat tidur tampak beberapa layar monitor, berkedip-kedip. Ruang ini canggih, sejuk, steril. Tapi saya dengar tiap hembusan nafas seperti repetisi yang dilakukan dengan berat hati.
Dari rumah sakit saya pulang. Beberapa menit kemudian datang berita kematian itu.
Saya tak terkejut. Kartono, jatuh sakit sejak akhir 2016, seakan-akan telah mempersiapkan kami, keluarga yang ditinggalkan, setahap demi setahap. Hatma Wigati, isterinya, tiga hari sebelum Kartono berpulang berkata pelan: “Saya sudah ikhlas”.
Setahun sebelum ia sakit, Kartono, kakak saya dan saudara saya terakhir yang hidup, pernah menelepon, suaranya datar tapi saya merasa rada bergetar: “Goen, mungkin saya yang akan harus pergi duluan.” Ia bermimpi ditemui Ibu, Bapak dan kakak-kakak yang sudah meninggal — sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia alami.
Ketika berjalan ke luar, melalui dua pasien lain yang tergeletak di ruang ICCU — tempat yang dibangun agar orang bisa berharap menunda ajal — saya ingat Chairil Anwar: “Hidup hanya menunda kekalahan… dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah.”
Saya tak tahu apa yang “tetap tidak terucapkan” dengan meninggalnya Kartono; yang saya tahu, tak pernah jelas penyakit apa yang menyebabkan ia sakit. Ada dugaan syaraf di tulang belakangnya terjepit. Ia sempat jatuh ketika memperbaiki jam dinding peninggalan bapak yang ia rawat bertahun-tahun. Sejak itu ia harus berbaring. Empat tahun.
Tak ada kepastian itukah yang memicu gejala lain yang menyusul. Ia harus dioperasi, kata dokter. Tapi rencana operasi tak dilanjutkan karena kemudian ia diduga mendapat stroke. Tapi tak jelas apakah demikian: para dokter berbeda pendapat. Sementara itu fungsi ginjalnya menurun…
Saya kira diam-diam Kartono tahu, para dokter yang merawatnya tak akan bisa menyimpulkan. Saya kira ia diam-diam tahu — ia seorang dokter yang berpengalaman — ia tak akan pulih. Ia mungkin sudah siap menerima sakit ini sebagai bab akhir hidupnya. Ia tenang. Bahkan ketika saya mendapatkan pertolongan seorang sinshe dari Singkawang untuk menyembuhkannya, ia tak menanyakan manfaat dan risikonya.
Mungkin ia menghargai niat baik di balik itu, atau ia diam-diam geli memperhatikan saya bingung, atau ia juga ingin melihat pilihan aneh ini sebagai ekspersimen: penyembuhan tanpa obat dokter.
Hasil pertolongan sinshe hanya tampak beberapa pekan — setidaknya yang saya lihat. Ada masa-masa Kartono mulai bicara, meskipun tak jelas, ketawa, menonton sinetron (ia tak mau menonton Games of Throne), mungkin untuk menyantaikan otaknya. Tapi tanda-tanda membaik berhenti. Ada yang tak bisa dicegah.
Menyaksikannya dengan murung, saya makin sadar: ilmu dan teknologi kedokteran bertahun-tahun berkembang — banyak yang dicapai, banyak yang tertolong — tapi tubuh, penyakit, kematian, tetap membawa pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Hanya optimisme ilmu kedokteran yang membuat kematian dilihat sebagai “kegagalan”. Hanya dinamisme dunia farmasi yang berangsur-angsur membuat “penyembuhan” identik dengan “pengobatan”.
Saya kira Ivan Illich benar. Praktek kesehatan, tulisnya dalam “Limits to Medicine, Medical Nemesis: The Expropriation of Death (1976),” telah ”mengubah rasa sakit, penyakit dan kematian dari tantangan pribadi menjadi soal teknis”.
Seperti dalam pelbagai tulisannya yang persuasif meskipun kontroversia, pemikir ini memandang dengan negatif semakin berperannya “kemajuan” yang diterjemahkan dalam bentuk lembaga-lembaga besar disertai teknologi yang canggih. Bagi Illich, akibatnya kini tak ada lagi potensi orang untuk menghadapi kondisi kemanusiaan mereka secara otonom. Yang lahir adalah “sumber jenis baru ketidak-sehatan”, “the source of a new kind of un-health.”
Kartono meninggal dengan tenang, tanpa ketahuan apa penyakitnya dan sejauh mana manfaat obat-obat yang dimasukkan ke dalam tubuhnya.
Saya tak akan heran jika Kartono membaca Illich. Ia salah seorang dokter dari generasinya yang rajin membaca perkembangan soal-soal profesinya, apalagi ketika jadi pemimpin redaksi jurnal kesehatan “Medika”. Setidaknya ia mengikuti perdebatan sengit di dunia kedokteran di sekitar buku yang di tahun 1970-an menarik perhatian itu, “Medical Nemesis”.
Seperti Illich —atau mengikuti Illich — Kartono waswas menyaksikan “medicalisation of life”: kian lama persoalan kian dilihat sebagai hal yang bisa diatasi dengan intervensi medis. Dengan deras industri dan bisnis farmasi mengembangkan teknologi penyembuhan yang kian mahal untuk hal yang mungkin bukan penyakit. Pernah tingginya kadar kolesterol dinyatakan berbahaya bagi jantung; akhir-akhir ini dinyatakan tidak — setelah penghasil obat penangkalnya mengeruk keuntungan bertahun-tahun. Dari film dokumenter, via YouTube, “The Bitter Truth of Sugar” kita akan tahu betapa berbahayanya tinggi kadar gula dalam darah kita — dan kita juga akan tahu bagaimana bisnis manisan, makanan, dan gula “mempengaruhi” riset “ilmiah”.
Tono pernah mengungkapkan kepada saya kegundahannya melihat perusahaan farmasi dengan segala cara menyuap para dokter, agar produknya dipakai pasien. Dari sini ia menulis dan membangun mekanisme pelaksanaan ethika kedokteran. Mungkin dalam semangat dan urgensi yang sama bukunya, “Teknologi Kedokteran dan Tantangannya kepada Bio-etika”, ia tulis; terbit di tahun 1992.
Kartono lebih mengunggulkan kebijakan preventif. Saya ingat mendengarkan dia memberikan sebuah paparan ke sebuah tim Wakil Presiden (waktu itu) Boediono — dan Pak Boediono selalu ingat itu: Kartono mengingatkan, tak tepat bila rumah-rumah sakit spesialis yang mahal didirikan pemerintah. Cara pencegahan akan lebih baik. Dengan menyebarkan-luaskan informasi tentang bagaimana merawat kesehatan di masyarakat, lewat puskesmas dan posyandu yang mudah dijangkau, rumah sakit — apalagi rumah sakit spesialis — bisa diperlakukan hanya sebagai “resource” terakhir. Ia mengritik puskesmas ketika berubah jadi pusat pengobatan.
Tapi ia tak berteriak; ia bisa berpolemik tanpa garang. Ia tak pernah kasar, ia bahkan terasa “lunak“. Di masa kecilnya ia, berbeda dari adiknya, tak pernah berkelahi, tak pernah belajar silat. Ia berbahasa Jawa kromo kepada Ibu. Di masa kecil, saya dan dia hampir tak pernah bertengkar; ia bahkan penolong. Ia, yang lebih pintar menggambar ketimbang saya, pernah membuat gambar yang bagus, atas nama saya, untuk menghiasi dinding kelas saya. Tak hanya itu. Ia, yang berbahasa Inggris dengan baik karena diajar Bapak sejak di sekolah dasar, menerjemahkan buku seru, “The Secret Aeroplane,” untuk saya — dalam tulisan tangan — sewaktu ia SMA.
Ia memang sejak kecil dikenal pandai. Saya masih ingat, pak Djim, tukang pelitur meubel rumah kami, membisiki saya bagaimana agar pintar: “Jangan makan ikan, ikuti Mas Tono”. Tono, yang kemudian jadi dokter TNI-AL, memang tak makan ikan — tapi tentu bukan karena itu dia lulus SMA dengan angka-angka bagus.
Saya tak merasa kami bersaing dalam hal kepandaian di sekolah. Kami tak pernah berada di sekolah yang sama. Sejak SD sampai SMP, ia masuk sekolah yang terbaik; saya hanya nomor dua. Kami bertengkar terutama hanya soal siapa yang pertama boleh baca buku pesanan yang datang dari Jakarta, terutama kisah petualangan yang digubah Karl May. Selebihnya, kami — dua dari 8 anak — terbiasa berbagi.
Mungkin dari kebiasaan berbagi itu, ketika ia jadi dokter, Kartono tak suka praktek privat. Saya duga itu membosankannya. Ia, yang suka bertukar lelucon, adalah jenis orang yang suka bersama teman-teman dan senang aktif dalam organisasi. Ia lebih tertarik kepada soal-soal kesehatan masyarakat: ia aktif dalam PKBI yang mengadvokasi kesejahteraan keluarga dengan keluarga berencana; ia menulis ratusan artikel di media massa bagi mereka yang mudah jadi korban manipulasi industri farmasi dan, terutama, tembakau.
Dr. Pandu Riono, pakar epidemologi itu, kemenakan kami, mengatakan ia mendapatkan inspirasinya dari “Oom Ton”. Pandu bangga sempat membaca catatan kuliah Kartono di FKUI yang tersusun rapi, (di sana-sini ada catatan tentang logika dan filsafat). Dari oom-nya juga Pandu, yang lulus SMA dengan nilai cemerlang, memilih bidang public health — bukan praktek yang “basah”.
Kartono sendiri, yang tak ingin jadi spesialis, hanya pernah praktek sebentar. Mula-mula di tempat Prof. Sukirno, yang kemudian jadi mertuanya, seorang dokter yang hidup sederhana dan aktif dalam organisasi (beliau ketua Himpunan Sarjana Indonesia, yang wafat sebagai tahanan politik Orde Baru). Tempat praktek Tono kemudian di satu sudut Tanjung Priok.
Selebihnya ia menulis, di samping jadi dokter perusahaan yang ada hubungannya dengan keluarga. Suatu ketika, waktu memerlukan uang tambahan, dengan nama samaran ia menerjemahkan novel detektif “The Day of the Jackal” Frederick Forsyth yang jadi cerita bersambung di Harian Kompas. Untung, umumnya keluarganya hidup tanpa kekurangan; Hatma Wigati bekerja sebagai notaris, dan mungkin dengan itu Kartono bisa sibuk jadi ”aktivis”.
Pada suatu hari ia diminta jadi dokter sebuah klub diet, tempat orang-orang ingin langsing. Ia menolak: “Saya lebih cocok mengurus yang kurang makan”.
Goenawan Mohamad