Kamis, Desember 19, 2024

Merumuskan haluan baru Pasca-Corona (2)

Must read

Apa itu neoliberalisme?

Oleh Farid Gaban – Yayasan Zamrud Khatulistiwa

LIBERALISASI EKONOMI TANPA DEMOKRASI

Meski berakar pada Deklarasi Kemerdekaan dua setengah abad lalu, The American Dream mengalami promosi besar pada era Presiden Ronald Reagan (1981 hingga 1989) di bawah bendera baru neoliberalisme.

Cita-cita ideal demokrasi, kemakmuran, kebebasan dan persamaan hak di Amerika, setidaknya secara retoris, dikaitkan secara langsung dengan kebijakan liberal pasar bebas dan perdagangan bebas.

Bersama Margaret Thatcher dari Inggris, Reagan bahkan membawa neoliberalisme menjadi kebijakan global dan sekaligus senjata melawan komunisme (Blok Soviet) di era Perang Dingin.

Liberalisasi ekonomi dipromosikan senafas dan selaras dengan demokrasi (sebagai lawan dari otoritarianisme komunis). Padahal tidak. Reagan menempatkan liberalisasi ekonomi (bukan kebebasan politik) sebagai ukuran terpenting dari sukses sebuah kebijakan. 

Tak heran jika Amerika dan Inggris tanpa malu-malu memuluskan liberalisasi ekonomi meski dengan cara mendukung diktator-diktator anti-komunis seperti Augusto Pinochet di Chile, Soeharto di Indonesia dan Ferdinand Marcos di Filipina.

Neoliberalisme menjadi istilah populer pada 1980-an untuk menjelaskan liberalisasi ekonomi Chile di bawah Jenderal Pinochet. Kita tahu, didukung Amerika, Pinochet melakukan kudeta militer terhadap Presiden Salvador Allende, yang berhaluan sosialis, pada 1973. Tapi, Indonesia lah sebenarnya kelinci percobaan pertama “neoliberalisme”.

Kisah naiknya Jenderal Soeharto setelah menyingkirkan Soekarno, menjadi inspirasi bagi kudeta di Chile. Operasi Jakarta adalah nama sandi operasi kudeta terhadap Allende.

Setelah Soekarno tumbang, Orde Baru memulai liberalisasi ekonomi dengan antara lain membuka lebar investasi asing, khususnya dari Amerika dan Jepang. 

Pada 1974, demonstrasi besar sempat marak menentang investasi asing. Namun perlawanan seperti itu surut bersama konsolidasi kekuasaan Soeharto, yang menguat antara lain berkat dukungan Reagan dan Thatcher.

Thatcher, yang berkunjung ke Indonesia pada 1985, mengklaim bahwa ekonomi pasar (kapitalisme) adalah satu-satunya sistem yang bisa diandalkan; tak perlu perdebatan lagi. Thatcher punya slogan terkenal: TINA (there is no alternative); tak ada alternatif di luar kapitalisme.

Tiga tahun setelah kedatangan Thatcher, Perintahan Soeharto membuat langkah besar lain dalam bidang ekonomi, yakni menerbitkan Paket Oktober (1988), yang pada intinya melakukan liberalisasi sektor keuangan (kemudahan mendirikan bank). Jalan neoliberalisme makin lempang.

Pixabay

PANDANGAN HEGEMONIK YANG MEMBELENGGU

Tapi sukses penyebaran neoliberalisme baik di Indonesia maupun belahan lain dunia, tak lepas dari peran penting dua lembaga keuangan dunia: Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. 

Dengan kekuatan kapital sangat besar, World Bank dan IMF mendiktekan neoliberalisme ke seluruh dunia. 

Mereka menerapkan syarat ketat kepada negara-negara penerima bantuan. Syarat itu meliputi kebijakan privatisasi dan deregulasi; kepatuhan kepada skema perdagangan bebas dunia; serta mengurangi subsidi dan porsi anggaran negara untuk publik demi meningkatkan peran sektor swasta.

Resep liberalisasi itu sering disebut pula sebagai Washington Consensus, tak lain merupakan  kesepakatan antara World Bank, IMF dan Pemerintah Amerika Serikat yang semuanya bermarkas di Washington DC.

Berkat mereka, pandangan Reagan-Thatcher menjadi wacana dominan tak hanya di sekolah-sekolah ekonomi tapi juga dalam kebijakan publik seluruh dunia, hingga bertahun-tahun kemudian, setelah keduanya meninggal.

Di Indonesia, bahkan sentimen anti-IMF yang marak pada era Presiden Megawati Soekarnoputri tidak mampu menginspirasi arah baru kebijakan ekonomi. 

Jalan lempang neoliberal terus bertahan, bahkan cenderung menguat, pada era-SBY. Dan tetap lestari pada era-Jokowi.

Pada periode pertamanya, Pemerintahan Jokowi telah menerbitkan 16 paket degulasi yang secara umum mengarah pada liberalisasi ekonomi. 

Tapi, tak puas dengan itu, pada periode kedua, Presiden mendesakkan liberalisasi lebih jauh dengan menerbitkan Omnibus Law, menyederhanakan 70 lebih undang-undang menjadi satu undang-undang payung (deregulasi) demi memikat investasi dan penciptaan lapangan kerja.

Pembahasan Omnibus Law di tengah wabah corona sekarang ini menunjukkan betapa Pemerintahan ini benar-benar terobesesi pada liberalisasi ekonomi. Pemerintah mengabaikan fakta bahwa mantra neoliberalisme ala Washington Consensus telah banyak dikritik sejak 1990-an.

Photo by Alex Jones on Unsplash

MENELANJANGI BOROK

Wabah corona menelanjangi borok-borok neoliberalisme di atas, sekaligus menunjukkan kelemahan sosial mendasar kita menghadapi krisis: di satu sisi memperlemah kapasitas negara dalam melindungi warganya; di sisi lain lunturnya solidaritas sosial akibat individualisme, khususnya di kota-kota.

“Pandemi itu seperti portal atau gerbang, yang membatasi satu dunia lama dengan dunia baru,” kata Arundhati Roy. 

Di tengah wabah, yang membuat hidup kita tak normal, sebagian besar kita cenderung merindukan kenormalan segera pulih kembali. 

Tapi, normalisasi adalah istilah problematik. Merindukan suasana normal seperti masa lalu justru sangat mungkin menjadi reaksi terburuk kita dalam menghadapi corona. 

Kita perlu keluar dari kenormalan masa lalu itu dan mulai meretas jalan menuju dunia baru untuk mengoreksi yang lama.

Kita perlu mempertanyakan filosofi, prinsip-prinsip dan ukuran-ukuran lama? Apa sih yang disebut kemajuan? Apa tujuan hakiki dari pembangunan? 

Layakkah kita mengejar pertumbuhan ekonomi, apalagi jika hasilnya adalah konsumerisme, perluasan ketamakan yang pada gilirannya merusak alam tempat kita hidup? [BERSAMBUNG]

Merumuskan haluan baru Pasca-Corona (3)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article