Oleh Hamid Basyaib
Meski mengetahui namanya sejak cukup lama, saya kurang memperhatikan kiprah Dionisius Prasetyo alias Didi Kempot — nama ini ia dapatkan ketika bersama sejumlah teman ia membentuk grup ngamen di Jakarta, kepanjangan dari “Kelompok Pengamen Trotoar”.
Bahkan setelah ia ternyata begitu populer, saya baru menyadari kebesaran namanya ketika seorang sahabat mengirimi saya video pertunjukannya saat membawakan “Banyu Langit” — suatu pemandangan yang membuat saya terpana; menyadarkan saya betapa ia telah menjadi semacam sihir bagi para penggemar fanatiknya.
Tanpa kecuali, semua penonton hapal belaka dengan lirik lagu itu. Dan suasananya kontras dengan semangat lirik lagu tersebut. Pilu batin dan nestapa patah hati dirayakan dengan nyanyi masal dalam suasana riang.
Tampaknya ribuan penggemar itu merasa luka hati mereka terwakili oleh “Banyu Langit”, sehingga luka itu — baik yang pernah dialami di masa lalu yang jauh ataupun baru saja menusuk mereka, bahkan mungkin saat itu sedang mereka rasakan — bukan hanya terasa lebih ringan tapi bahkan sebaiknya justeru dirayakan bersama; hingga yang tersisa adalah kegembiraan, juga mungkin sikap menertawai kemalangan diri, dengan menganggap luka itu sebagai bagian alamiah dalam suatu game of love.
Semangat serupa saya rasa terjadi juga pada “Pamer Bojo”. Didi Kempot seakan memantapkan diri sebagai maestro untuk presentasi keharuan dalam lirik sedih tapi menggeser semangatnya dalam beat dan irama yang tidak mewakili suasana lirik itu. Bandingkanlah konstruk ini dengan, misalnya, “Yen Ing Tawang Ana Lintang”.
Ia lalu mendapat julukan yang mencerminkan kekaguman yang ironis atau ironi yang mencerminkan kekaguman, “King of Broken Heart” atau juga “Godfather of Broken Heart”. Kelompok-kelompok penggemarnya juga berhimpun dengan nama-nama yang bernada merayakan kesedihan dengan riang, “Sobat Ambyar”, “Sad Girls”, “Sad Boys”.
Ambyar adalah kata yang menggambarkan situasi atau suasana berantakan. Dalam hal ini: hati yang berantakan karena putus cinta. Dengan semua itu para anggotanya seolah mengumumkan: “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang patah hati, tapi kami tidak cengeng dan larut dalam penyesalan dan sikap mengutuk diri.”
Di tengah semua itu, berdiri sebuah magnet yang merangkum dan menginspirasi mereka semua untuk bersikap demikian: DiKem, Didi Kempot.
Bagi saya yang juga mengejutkan adalah profil fisik penggemarnya. Banyak sekali di antara mereka yang di masa lalu tidak terlihat sebagai penonton pertunjukan campursari atau dangdut Jawa seperti yang diusung Didi Kempot.
Barisan depan selalu dipadati gadis-gadis cantik yang modis dan cowok-cowok milenial keren yang lebih pantas menggandrungi Ariana Grande, Taylor Swift, Justin Bieber atau Ed Sheeran dan bintang-bintang cemerlang seperti mereka. Dan mereka tidak mungkin tak berjoget.
Magnet DiKem berhasil memaksa mereka menoleh ke arahnya; dan ia seolah berkata kepada mereka, silakan kalian menggemari mereka itu, sebab barangkali mereka pantas mendapatkan perhatian kalian, tapi saya mencoba bilang pada kalian bahwa saya juga punya sesuatu yang mungkin perlu kalian nikmati. Dan anak-anak itu kemudian segera terserap oleh pesona Didi Kempot.
Melihat gelagat yang makin nyata, kita berani memastikan bahwa ia belum mencapai puncak. Ia sedang terus mendaki dengan cepat untuk memikat semakin banyak penggemar.
Dan ia baik hati. Konser online yang dilakukannya untuk menghimpun dana bantuan bagi urusan-urusan terkait pandemi berhasil mengumpulkan Rp 7,5 miliar dalam waktu sangat singkat — jumlah yang membuat Didi sendiri tercengang, bersyukur, sekaligus membuktikan paguyuban “Sobat Ambyar” itu sama sekali tidak berantakan; justeru sangat solid dan memiliki semangat berbagi yang mengagumkan.
Saya berduka menyaksikan Didi Kempot pergi terlalu cepat. Ia belum mencapai klimaks. Energi kreatifnya jelas terlihat masih begitu melimpah, menjanjikan bahwa limpahan itu akan dituangkannya dalam berbagai bentuk yang tak semuanya kita bisa duga. Sebab ia tampak dengan sadar menunjukkan diri bahwa ia masih terus berproses.
Meski pasti sadar bahwa ia telah menjadi sebuah fenomena kultural yang menghebohkan, emosi Didi Kempot terlihat tetap terkendali dengan baik. Ia tetap sederhana. Perilakunya tak ia “sesuaikan” dengan kebesaran namanya.
Ia tak merasa perlu menjalankan program pencitraan yang tertata rapi. Ia seperti ingin tetap menjadi Didi Kempot yang dikenal kawan-kawan dan para tetangga. Ia seolah tak ingin tercerabut dari sumber utama kreatifitasnya — lingkungan orang kebanyakan.
Didi Kempot tak pernah kehilangan jiwanya — sebuah jiwa indah yang pergi terlalu pagi.