Hidup Didi Kempot memang sungguh ambyar dengan kematiannya yang tak diduga orang. Komplet sudah perjalanannya sebagai ”The Lord of Ambyar”.
Oleh SINDHUNATA
Tak jauh sebelum Covid-19 datang, orang-orang sampai ke pelosok Nusantara ini sudah akrab dengan kata ambyar. Pewarta pengertian ambyar itu adalah Didi Kempot, ”The Lord of Ambyar”. Ternyata Covid-19 benar-benar datang dan membuat ambyar semua yang dibangun manusia. Kata-kata Didi Kempot seakan adalah ramalan tentang ambyar yang kemudian menjadi kenyataan.
Kalau Covid-19 bagaikan Lord Voldemort yang menghancurkan kehidupan, Didi Kempot adalah The Lord of Ambyar yang mewartakan bahwa ambyar adalah kebenaran, dan hidup ini sesungguhnya rapuh dan mudah berantakan. Warta itu benar, ketika manusia, sang raksasa kesombongan dan kebesaran ini, bisa dirobohkan oleh Covid-19, yang kecilnya melebihi seperseribu debu. Ambyar adalah kebenaran, dan hidup ini sesungguhnya rapuh dan mudah berantakan.
Akhirnya, Didi Kempot membuktikan kebenaran itu. Bukan hanya dengan mengumbar kata dan lagu, tetapi dengan hidupnya sendiri yang amat rapuh. Hidupnya roboh dan habis di tengah ia sedang menikmati ketenaran yang tak terbilang. Ia membuktikan, hidupnya memang sungguh ambyar dengan kematiannya yang tak diduga orang. Komplet sudah perjalanannya sebagai The Lord of Ambyar.
Di tengah mengganasnya Covid-19 yang membuat ambyar hidup manusia, kematian The Lord of Ambyar ini bagaikan sebuah warta Zarathustra, ”Kulihat sedang datang kesedihan luar biasa tentang manusia. Bahkan mereka yang terbaik pun lelah dengan segala jerih payahnya. Sebuah ajaran datang, diiringi kepercayaan: semuanya hampa belaka, semuanya sama saja.”
Memang robohnya The Lord of Ambyar di puncak ketenaran adalah lagunya terakhir tentang vanitas vanitatum, omnia vanitas, sic transit gloria mundi—kesia-siaan dari segala kesia-siaan, semuanya sia-sia, demikianlah kemuliaan dunia akan berakhir.
Bukan sekadar kata
Pada Didi Kempot, ambyar bukan sekadar kata. Ambyar adalah perjalanan hidupnya. Ia tidak banyak mengenyam pendidikan sekolah. Maklum, ia hanyalah anak Ranto Gudel, seniman miskin.
Untuk mulai mengamen, ia harus menjual sepedanya agar ia bisa membeli gitar. Ia mulai mengamen di Stasiun Balapan, Solo. Kemudian menjadi pengamen di Jakarta. Tak jarang, di malam hari, ia tidur di emperan toko setelah lelah mencari nafkah.
Ia mengamen dengan sembilan temannya, dan menamakan grupnya ”Kempot”, akronim dari Kelompok Penyanyi Trotoar. Jadi, nama Didi Kempot sungguh berasal dari pengalaman hidup yang berat itu.
Di kemudian hari Kempot ternyata membawa dia jadi terkenal. Kenangnya, nama Kempot mudah diingat orang, siapa tahu nanti membawa rezeki seraya mengingatkan diri bahwa orang akhirnya mati. Mau atau tidak, manusia akan menjadi tuwek, elek, kempot, terus matek. Tua, jelek, kempot, lalu mati.
Kempot mengingatkan, pada akhirnya sia-sialah segala kecantikan, ketampanan, kekayaan, dan kekuasaan. Ketika ngunduri tuwa, menginjak tua, semuanya itu tidak banyak berarti lagi. Pada saat itu, orang tiba-tiba dihadapkan hanya pada keinginan untuk urip tentrem nggo nggoleki dalane pati: hidup tenteram untuk melapangkan jalan menuju mati.
Eksistensi kempot demikian ini sudah dilihat Didi Kempot di masa mudanya yang susah. Dan, kempot itu akhirnya menjadi eksistensinya: ia kempot, habis, dan berpulang di saat namanya menjulang.
Sungguh sebuah ironi. Dan, Didi Kempot telah menjadi ironi bagi kesia-siaan ini.
Didi mengaku, dirinya banyak belajar hidup dan seni dari ayahnya, Ranto Gudel. Mungkin karena itu, lagu-lagu Didi Kempot banyak bersenandung tentang cinta yang kalah.
Dari Ranto Gudel, ia sudah tahu cinta manusia itu rapuh, hidup ini sering sia-sia. Memang Ranto Gudel pernah bersenandung, cinta manusia itu seperti Umbul Pengging, dulu bening sekarang keruh, dulu kerajaan sekarang desa.
Ranto Gudel juga pernah berseloroh, dadi wedhus luwih enak timbang manungsa, jadi kambing lebih enak daripada manusia. Jika mati, manusia dikubur di gundukan tanah, di sana bisa-bisa kepalanya dikencingi kambing. Memang nasib manusia sering hanya sengsara sampai akhirnya.
Sudah lama Didi Kempot merintis kariernya, tetapi baru-baru ini saja karya-karyanya meledak. Belum lama ia boleh menikmati hasil yang dicarinya dengan susah payah, mendadak ia sudah harus berpulang ke gundukan tanah. Itulah nasib kebanyakan seniman jelata yang berangkat dari bawah.
Lagu-lagu Didi Kempot banyak berkisah tentang rindu. Ia seperti mencari yang tak pernah ketemu. Seperti didendangkannya: ”Seribu kota sudah kulewati, seribu hati sudah kutanyai, tapi sampai kini, semuanya tak mengerti, ke mana kau pergi, bertahun-tahun aku mencari, tak juga kau kutemukan sampai hari ini.”
Pada Didi Kempot hidup ini seakan hanyalah mencari, bukanlah menemukan, apalagi mendapatkan. Justru karena mencari, manusia tidak tahu dengan pasti, apa yang akan diperolehnya nanti. Dan, karena tidak tahu dengan pasti, manusia dikuatkan harapannya untuk terus mencari. Dengan harapan, manusia kemudian mengerti, yang dicarinya ternyata lebih daripada sekadar materi.
Sekarang manusia hanya berhenti pada materi. Ia telah merasa menemukan karena itu ia tidak mau mencari lagi. Covid-19 telah membuka penemuan manusia itu ternyata keliru. Bangunan-bangunan yang cenderung material, seperti kapitalisme, konsumerisme, juga kekuasaan yang mengandalkan uang, agama-agama yang melulu ritual dan formal, semua ambyar.
Manusia dikembalikan kepada kodratnya yang kecil dan tak berdaya. Karena itu, ia tidak bisa lagi mengandalkan kesombongannya. Ia harus membangun harapan secara baru. Di sana ia tahu, sebenarnya tak banyak yang ia butuhkan. Boleh hidup saja, rasanya sudah lebih dari cukup daripada ditelan kehancuran oleh wabah yang tak kelihatan.
Memang, jika cinta saja bisa gagal, apalagi nafsu akan materi. Didi Kempot sudah mengingatkan: tak tandur pari, jebul tukule suket teki, padi yang kutanam, ternyata yang tumbuh alang-alang. Sudah seharusnya kita berterima kasih, jika kita boleh sekadar menumpang istirahat di dunia yang bukan milik kita ini.
Kebalikan dari lagu keroncong ”Roda Dunia”, hidup Didi Kempot ”sekarang bermegah, dulu susah”. Ia sudah terbiasa untuk hidup tak berumah. Mungkin itulah yang mendorong ia menciptakan lagu ”Nunut Ngiyup” dengan jenaka.
Di dunia ini kita memang hanya nunut ngiyup, menumpang bernaung, tetapi ternyata kita menjadikan dunia ini jajahan kita. Kita tak berpikir ke depan, puas bernikmat-nikmat dengan keserakahan kita sekarang. Covid-19 menjadikan buah keserakahan kita ambyar.
Kita ditegur, dunia ini bukan hanya milik kita, tetapi juga milik anak cucu kita. Jangan kita memberikan apa yang sudah rusak kepada mereka. Covid-19 mengingatkan, di dunia ini kita nunut ngiyup belaka. Karena itu, dengan gembira Didi Kempot mengajak kita untuk nunut leren, kulo nunut leren: sudah seharusnya kita berterima kasih, jika kita boleh sekadar menumpang istirahat di dunia yang bukan milik kita ini.
Kesetiaan yang dikhianati
Didi Kempot banyak bersenandung tentang ingkar janji, kesetiaan dan cinta yang dikhianati, serta menantikan dia yang tak pernah kembali. Senandungnya memang untuk mereka yang patah hati. Namun, senandungnya ternyata juga menggugah, betapa rapuhnya kesetiaan manusia ini. Dengan yang terdekat saja susah bersetia, apalagi sesamanya, lebih lagi dengan Penciptanya.
Ketidaksetiaan itu tidak hanya mengakibatkan patah hati, tetapi juga ambyarnya ikatan sosial dan berantakannya pengelolaan hidup ini, dari bidang ekonomi, sosial, sampai politik. Dalam kaitan ini, seakan bukan kebetulan bahwa Didi Kempot tidak hanya menjadi The Lord of the Broken Heart, tetapi juga The Lord of Ambyar. Dan, The Lord of Ambyar ini seakan dinantikan zaman.
Kedatangannya diikuti goro-goro pagebluk Covid-19. Pagebluk ini mengingatkan, di zaman susah dan derita, tak ada yang lebih indah daripada kesetiaan. Kita diajak untuk setia kepada sesama, kepada bangsa dan negara, dengan berbagi kepada mereka yang berkekurangan dan menderita.
Covid-19 jadi batu uji, apakah kita bisa menjadi manusia yang tak ingkar janji dan bisa bersetia pada sesama, lebih-lebih mereka yang miskin. Untuk itu kita perlu diterangi, seperti dijeritkan Didi Kempot di ”Nickerie”: Rembulan sing ngilo ono segoro, padhangno ati kulo, bulan yang becermin di samudra, terangi hati kami.
Kepergian mendadak The Lord of Ambyar di tengah pandemi Covid 19 ini kiranya meninggalkan banyak pesan. Dan, untuk itu Didi Kempot sendiri sudah memberikan teladan. Ia mengadakan konser di rumah saja, dan berhasil menggalang dana Rp 7,6 miliar untuk disumbangkan kepada mereka yang dirundung malang. Ini membuktikan bahwa sebuah perjalanan yang ambyar tidak harus pula berakhir dengan ambyar.
Sebelum menghadapi ambyarnya yang final, Didi Kempot menunjukkan bahwa hidup ini ternyata indah dan mempunyai arti karena ia telah mempersilakan sesamanya yang menderita untuk ”ngalemo, ngalem ing dadaku, tambanano rasa kangen neng atiku, bermanja, bermanjalah di dadaku, sembuhkanlah rasa rindu di hatiku”.
Selamat jalan The Lord of Ambyar, kau telah menguatkan kami yang patah hati, dan kini kau pergi dengan bukti, hidup bukanlah sia-sia belaka.
Kompas, 6 Mei 2020