Jumat, November 15, 2024

New normal adalah matinya hiperealita

Must read

Pertama-tama saya akan bilang new normal ini sebenarnya adalah back to normal. Justru kehidupan kemarin itu yang abnormal. Kedua, saya akan cerita apa itu hiperealita?

Sederhananya ketika Anda beli segelas kopi Starbucks seharga Rp40-an ribu. Mengapa segelas kopi bisa begitu mahal? Anggaplah harga dasar kopi itu Rp7 ribu, maka Rp33 ribu sisanya Anda membayar harga sewa sofa outlet dan membeli simbol Starbucks. Angka Rp33 ribu itulah hiperealita. Sebuah kondisi mental yang menganggap sesuatu itu nyata dan kita butuhkan melebihi kebutuhan dasar kita sendiri.

FYI, istilah hiperalita diperkenalkan oleh filsuf Prancis bernama Jean Baudrillard dalam bukunya tentang Simulacra.

Gambar oleh John Kim dari Pixabay

Kita sesungguhnya tidak akan menemui hiperealita sedahsyat kemarin andai saja tidak ditemukan yang namanya Facebook, Instagram, Twitter, dan teman-temannya.

Tiba-tiba datanglah Covid-19. Mendadak kita semua takut ke luar rumah, takut berkerumun, aktivitas di luar dibatasi. Apa-apa serba dari rumah. Lalu bagaimana nasib para hiperealista? (Sebutan saya untuk pelaku hiperealita)

Starbucks sepi, kafe sepi, mal sepi. Tidak ada orang yg meng-upload imej-imej mereka di gerai-gerai pendongkrak citra diri itu. Masihkah relevan kebutuhan akan luxury, prestise dan status hari ini? Masih mungkinkah kita membutuhkan itu? Atau, kita langsung ke puncak pertanyaannya, masihkah dibutuhkan hal-hal seperti itu hari ini?

Pandemi Covid-19 ini ibarat tombol reset

Sekali ditekan langsung semua berbondong-bondong menuju ke titik awal. Kita sudah merasakan PSBB, di mana pada masa itu kita diarahkan untuk melakukan segala hal yang kita butuhkan saja. Ini kabar buruk untuk usaha seperti pariwisata, hotel, mal, kafe-kafe dan semua usaha yg menjadikan citra, luxury atau prestise sebagai inti bisnisnya.

“Pembatasan sosial” itu adalah hantu bagi usaha-usaha tadi. Di mana letak kesalahannya kalau begini? Benarkah kehidupan sosial benar-benar dibatasi ?

Sebetulnya tidak salah. Karena yang terjadi sesungguhnya bukanlah pembatasan sosial tetapi mengembalikan kehidupan sosial kita ke titik yang wajar ketika kehidupan sosial kita sudah benar-benar overdosis (40k for a glass of coffee?)

Kesalahannya adalah Starbucks dan kawan-kawan, membasiskan bisnisnya kepada materi yang imajiner (citra, luxury, prestise, status). Kalau Anda mengira Starbucks dan kawan-kawan itu menjual minuman atau makanan sebetulnya bukan bisnis mereka, yang mereka jual adalah simbol.

Simbol akan berubah menjadi status manakala kehidupan sosial manusia didorong sampai puncak di luar kebutuhan wajar manusia, dan ketika ruang manusia untuk saling bertemu hancur lebur seperti hari ini saat itulah simbol-simbol itu runtuh nilai jualnya.

Apakah ini pertanda buruk? Yup, ini pertanda buruk, yang menunjukan betapa lugunya kita kemarin selama ini rutin bekerja 8 jam sehari, 5 hari seminggu hanya untuk mengongkosi kebutuhan imajiner (hiperealita) kita. Kemarin kita benar-benar dijauhkan dari apa yg benar-benar kita butuhkan. Kita malah membiayai ilusi.

New normal, adalah hancurnya sebuah abnormalitas dan kembalinya sebuah kehidupan normal. Sebelum revolusi industri, kehidupan itu relatif sangat normal. Manusia setara bekerja untuk kebutuhannya. Ketika ngopi mereka ya ngopi untuk menghilangkan penat. Kedai kopi pun sebagai ruang publik untuk saling guyub berinteraksi, bukan ruang halusinasi atau untuk menyendiri. Selesai ngopi kembali ke kehidupannya. Bukannya pindah kasta. Upah yang mereka dapat pun untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Bukan untuk ‘membeli merek’.

Ketika kondisi di atas dihantam kejadian luar biasa seperti pandemi, kemungkinan tidak akan sedramatis seperti yang terjadi hari ini. Hari ini ribuan pekerja menggantungkan hidupnya pada bisnis imajiner seperti mal, Starbucks dan kawan-kawannya. Bisa terbayang efek domino kehancurannya… rubuh satu sirna banyak. Ribuan pekerja terancam kehidupannya seiring hilangnya pekerjaan mereka. Mereka teralienasi dari pekerjaannya sehingga merasa bukan siapa-siapa dan tidak berdaya ketika hilang profesinya.

Sudah waktunya dunia-dunia usaha imajiner itu merombak rencana bisnisnya ke usaha-usaha yang nyata (riil) dan beradaptasi bila ingin survive hari ini. Alih-alih mempertahankan bisnis yang sama seolah-olah kita masih hidup di dunia kemarin. Gagal move on.

New normal adalah sebuah terapi psikis dan efek kejut bagi kita untuk memikirkan ulang, untuk introspeksi betapa rapuhnya kehidupan sosial kita kemarin bak jaring laba-laba besar. Tertata, tersistem dan terstruktur rapih dan massif tetapi tidak kita sadari begitu rapuh dan labil ketika sebuah batu menimpanya.

Gambar oleh Ryan McGuire dari Pixabay

New normal mendorong kita untuk fokus dan mengefisiensikan tenaga dan pikiran kita untuk hal-hal yang kita butuhkan saja. Dan petunjuk atas matinya kebutuhan-kebutuhan halusinasi kita. Seolah-olah hidup kita serba dicukupkan. Kita didorong memikirkan kembali apa yang benar-benar kita butuhkan. Kembali ke jati diri dan fungsi diri kita yg nyata.

It’s all done. We’ are shifting.

Change or we die. Get real.

Dunia kita yang kemarin sudah mati

Dunia hari ini ibarat sebuah rumah sakit yang besar. Dan kita tergeletak di dalamnya dan hanya berpikir untuk tetap sehat dan tetap hidup. Pernah lihat orang selfie saat tergeletak sekarat di rumah sakit? Itulah matinya hiperealita

Jika Baudrillard di tahun 1980-an lalu sudah memikirkan kondisi hiperealita, sesungguhnya saat itu dia sudah melihat bahaya dan sedang menyalakan simbol SOS (save our soul) itu kepada kita agar kita lekas sadar dan menyelamatkan diri bahwa kita berdiri di atas bom waktu.

New normal? Welcome normal life. Keep waras… Keep alive.

(Pemikiran Romo Mudji Sutrisno dalam suatu webinar, ditulis oleh Thomas Budhi Darmawan, beredar di grup-grup WA)

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article