Oleh Adian Napitupulu.
Mana yang lebih banyak, utang BUMN atau utang luar negeri Malaysia? Jangan kaget ya, total utang BUMN sekitar Rp5.600 triliun sementara total utang luar negeri Malaysia ada di kisaran Rp3.500 triliun. Prok…. prok …. ayo tepuk tangan karena BUMN ternyata juara, unggul Rp2.100 triliun mengalahkan Malaysia. Mungkin ada yang coba ngeles dengan membedakan asal utang, tapi utang mau dari tetangga, dari mertua atau dari bank, utang ya tetap saja utang.
Kenapa utang BUMN sedemikian besar? Ada yang bilang karena korupsi, ada yang katakan karena tidak efisien, tidak produktif dan lain lain.
Tanggal 5 Desember 2019, di media, Erick Thohir sempat “mengeluh” bahwa BUMN banyak diisi pensiunan. Konon di media, menurut Erick itu tidak sesuai dengan visi misi Presiden. Erick juga jelaskan bahwa 58% penduduk Indonesia diisi angkatan muda (menurut PP 45/2015 usia pensiun itu 56 tahun).Mungkin saja ini menjadi sebab tidak produktifnya BUMN.
Lalu apa yang kemudian di lakukan Erick terkait para pensiunan di BUMN? Apakah ia akan mengganti para pensiunan itu dengan generasi yang lebih muda?
Eng ing eeeeng… 19 hari berikutnya, tepatnya 24 Desember 2019 Erick Thohir mengangkat Zulkifli Zaini yang berusia 64 tahun menjadi Dirut PLN. Berikutnya 17 Febuari 2020 Erick Thohir mengangkat Abdul Ghani di usia 61 tahun menjadi Dirut PTPN 3. Selanjutnya 29 Mei 2020 Erick Thohir mengangkat Krisna Wijaya yang berusia 65 tahun menjadi Komut Danareksa. Jreeeng….. BUMN kembali diisi para pensiunan dan yang muda kembali tersingkirkan. Memang lidah tak bertulang.
Beberapa waktu lalu Pemerintah sudah setuju memberi dana talangan lagi ke BUMN sebesar Rp152 triliun. Lucunya beberapa BUMN yang dapat dana talangan itu adalah BUMN yang sudah go public, salah satunya Garuda Indonesia sebesar Rp8,5 triliun. Di Garuda Pemerintah punya saham sebesar 60% sisanya dimiliki pihak swasta salah satunya 25,6% dimiliki Chairul Tanjung.
Di sini ada yang aneh dan membingungkan. Logika perusahaan publik ketika butuh dana segar setidaknya ada dua pilihan, pertama, mencari pinjaman. Kedua, menambah atau menerbitkan saham baru. Nah lucunya status Rp8,5 triliun yang didapat Garuda ini tidak jelas diberikan sebagai apa. Apakah sebagai pinjaman atau penambahan modal (saham) negara.
Dalam PP 23 tahun 2020, tidak dikenal istilah pinjaman negara. Yang ada hanyalah PMN, penempatan dana (tidak bisa dil uar perbankan), Investasi atau penjaminan.
Ketika negara memberikan uang pada Garuda dari anggaran PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) maka tidak ada pilihan pemberian tersebut harus dalam bentuk PMN atau investasi, tidak bisa yang lain, kecuali pemerintah nekat menabrak PP yang di buatnya sendiri, dan itu adalah pelanggaran hukum yang tentunya sedang ditunggu para penggemar impeachment. Menteri itu untuk memecahkan masalah bukan membuat masalah.
Kalau pemberian uang itu masuk pada kategori PMN atau Investasi maka konsekuensi hukum yang timbul adalah persentase saham pemilik saham yang lain bisa tergerus atau dilusi. Sebagai contoh, jika Pemerintah memberi PMN Rp8,5 triliun maka bisa jadi 25,6% saham milik Chairul Tanjung berkurang tinggal 8%, 5% atau mungkin di bawah itu.
Boleh jadi karena manisnya rayuan atau wabah Corona pemerintah agak kurang fokus dan kurang jeli menegaskan status dana talangan itu. Yang penting bagi pemerintah adalah mencegah Garuda bangkrut agar tidak terjadi PHK besar-besaran.
Mencegah PHK besar-besaran di Garuda, maka Erick Thohir 3 April 2020 memanggil Dirut Garuda. Saat itu Erick Thohir minta agar Garuda tidak melakukan PHK. Pada bulan yang sama, Presiden Jokowi juga meminta pengusaha (termasuk BUMN) tidak lakukan PHK. Kira kira 27 hari kemudian yaitu 30 April, Dirut Garuda mengajukan syarat, PHK bisa dicegah asalkan ada relaksasi finansial.
Mungkin berniat menjawab keinginan Garuda maka 18 hari kemudian, tepatnya19 Mei 2020 Menteri Keuangan menjanjikan dana talangan untuk Garuda sebesar Rp8,5 triliun jauh lebih menguntungkan dibanding relaksasi finansial.
Gedubrakkk…. setelah diminta jangan ada PHK oleh Presiden Jokowi dan Erick Thohir, lalu dana talangan Rp8,5 triliun direncanakan oleh Sri Mulyani, kenapa yang terjadi justru PHK dan perumahan serta penderitaan massal di Garuda. Tanggal 17 Mei 2020 sekitar 400 pramugari dirumahkan, 1 juni 2020 sekitar 181 Pilot di PHK dan 2 Juni 800 karyawan Garuda dirumahkan.
Bahkan berdasarkan surat JKTDZ/SE/70010/2020 sejak April hingga hari ini Garuda bahkan menunda dan memotong besaran 10% hingga 50 % dari gaji sekitaran 25.000 karyawannya.
Lho…. lho….. Lalu rencana dana talangan Rp8,5 triliun itu sesungguhnya untuk menyelamatkan siapa? Menyelamatkan Garuda, menyelamatkan Karyawan atau jangan jangan menyelamatkan 40an % saham yang dimiliki swasta.
Yang lebih membingungkan, dari rangkaian derita karyawan Garuda ini, terjadi karena Menteri tidak menjalankan permintaan Presiden? Atau Dirut tidak menjalankan permintaan menterinya?
Sulit menjawab ini, tapi terlepas siapa yang membangkang pada siapa, yang pasti sudah banyak karyawan Garuda yang di-PHK, dirumahkan dan menderita karena gaji dipotong dan ditunda.
Apakah PHK hanya dilakukan Garuda? Tidak!! Selain 181 pilot Garuda, PHK terhadap 359 pekerja juga terjadi di PT Aerofood (anak Perusahaan Garuda), 490 pekerja di PT INKA dan aroma PHK massal juga tercium akan segera susul menyusul terjadi di berbagai BUMN lainnya.
Bank Mandiri misalnya sudah lempar wacana hanya mempertahankan 20% kantor cabang dan menutup sekitar 2.000 kantor cabang. Andai tiap kantor cabang ada 5 karyawan saja berarti yang terancam PHK bisa jadi sampai 10.000 orang.
Pengurangan BUMN dari 141 menjadi 107 lalu menjadi 80-an BUMN, penutupan anak dan cucu BUMN yang sebentar lagi dilakukan juga semuanya sangat potensial berbuah PHK. Presiden Jokowi menegaskan berkali kali untuk berusaha agar tidak terjadi PHK karena sebab apapun tapi BUMN justru berancang-ancang perampingan dengan konsekuensi PHK massal di masa pandemi.
Kembali pada rencana dana talangan Rp152 triliun. Dana itu digunakan untuk apa sesungguhnya? Kalau untuk tetap membuat BUMN bertahan hidup kenapa ketika sudah ada rencana dana lalu terjadi PHK sekian banyak?
Kalau ada dana talangan harusnya yang sekarat bisa dibuat kembali sehat, yang sudah sempoyongan bisa kembali berdiri tegak. Ini yg terjadi justru sebaliknya, dana talangan cair tapi sekian banyak anak cucu justru ditutup.
Membingungkan dan sulit mencari jawabannya, atau jangan jangan apa yang disampaikan oleh salah satu anggota DPR komisi XI, Kamrrusamad, mungkin saja benar yaitu untuk memuluskan pencapresan 2024.
Kalau dibilang untuk pencapresan nanti bisa debatable, tapi serangkaian video dari pembagian sembako sampai deklarasi di hotel tentunya agak sulit untuk dibantah. Apalagi konon rumornya, ada yang membuat deklarasi untuk mendukung seorang menteri jadi capres 2024 lalu tidak lama kemudian diangkat jadi komisaris salah satu BUMN. Hmmm teori baru nih, Cara cepat jadi komisaris.
Sebelum masuk pada sedikit cerita dan angka terkait UMKM maka ada baiknya juga situasi Covid-19 menjadi momentum yang bagus untuk Presiden melihat lebih jernih kinerja para menterinya dan bisa menggunakan hak konstitusionalnya untuk melakukan evaluasi kabinet.
Setelah cerita dan angka tentang BUMN, Sekarang mari kita bandingkan dengan UMKM.
Tahun 1998 ketika terjadi krisis ekonomi banyak perusahaan besar yang tutup, bank bangkrut, pabrik gulung tikar. PHK merebak di mana mana. Ketika situasi semakin buruk dan mencekam, para pengusaha besar itu berlomba cari aman dengan pergi keluar negeri. Siapa pelaku ekonomi yang tersisa dan bertahan di Indonesia saat itu?
Jawabannya adalah UMKM, mulai dari pedagang kaki lima, warteg, warung kelontong, penjual sayur keliling, pedagang bubur ayam dan sektor usaha mikro dan kecil lainnya.
Ya, mereka yang tersisa, yang setia menjaga agar roda ekonomi negara tetap berputar. Ketika situasi kembali membaik, banyak pengusaha besar itu pulang lagi ke Indonesia dan berdiri di depan seolah pahlawan, kembali berkoar, atur sana atur sini.
Situasi ekonomi serupa sedang terjadi hari ini, pabrik, kantor, bank, mall, bioskop, tempat hiburan semua tutup. Ekonomi melemah, PHK menurut KADIN sudah tembus 6 juta orang, defisit mencapai Rp1.039 triliun. Serupa tapi tak sama dengan tahun 1998 karena krisis terjadi dari sebab yang berbeda.
Untuk kesekian kalinya UMKM kembali membuktikan keperkasaan, ketangguhan dan kepahlawanannya. Sudah hampir 4 bulan situasi darurat Corona diberlakukan, BUMN menjerit, pengusaha besar menjerit, tapi UMKM walau terseok terus berjalan tanpa lobi-lobi, UMKM membuat roda ekonomi terus berputar di bawah, transaksi jual beli tetap terjadi, perputaran uang terus tidak berhenti di tangan para pelaku UMKM.
Saat truk peti kemas hilang dari jalan, di gang-gang dengan sepeda atau motor pelaku UMKM tetap mengirim tahu, tempe, kue rumahan, jamu, sayur, telur, dan bahan kebutuhan pokok tetap beredar dari tangan ke tangan, dari warung di rumah kontrakan, dari kampung ke kampung. Tangguh luar biasa!
Percaya atau tidak, mau tertawa meremehkan atau tidak, terserah, tapi data menunjukan bahwa usaha mikro di Indonesia mempekerjakan tidak kurang dari 107 juta orang, usaha kecil 5,7 juta orang dan usaha menengah 3,7 juta orang. Mereka para pelaku UMKM berkeringat, bekerja tanpa ribut-ribut, tanpa tim sosmed untuk populerkan citra diri. Mereka bekerja dalam kesunyian dan keheningan tanpa puja puji tapi nyata menyelamatkan negara ini.
Bagaimana dengan para pengusaha besar itu? Para pengusaha besar bisa jadi termasuk BUMN yang kerap melobi kemudahan, fasilitas, pengurangan pajak, pinjaman berskala besar dengan bunga rendah, dana talangan dan kemudahan kemudahan lainnya itu ternyata dalam data hanya mempekerjakan 3,58 juta pekerja atau sekitar 3% dari total pekerja se Indonesia.
Sangat sedikit tidak berbanding seimbang dengan semua tuntutan dan permintaan ini itu mereka.
Huffff…. andaikata program padat karya yang dicanangkan Presiden Jokowi diimplementasikan dengan membagikan Rp152 trilun itu untuk modal kerja masing-masing usaha mikro melalui KUR mikro dan kecil sebesar Rp25 juta saja, maka setidaknya akan ada 6 juta usaha mikro dan kecil yang bergeliat dan lepas dari sesak nafasnya. Andai tiap usaha mikro dan kecil itu mempekerjakan 3 orang saja maka paling tidak ada 18 juta lapangan kerja untuk 18 juta orang.
Itu kalau Rp152 triliun, nah kebayang nggak kalau 50%, dari dana PEN yaitu Rp320 triliun jadi KUR Mikro yang disalurkan langsung, sekali lagi langsung ke UMKM tanpa mampir kanan kiri, maka paling tidak ada 12.800.000 UMKM akan bangkit lalu akan ada setidaknya 38.400.000 lapangan kerja kembali terbuka, 38.400.000 orang kembali mendapatkan pekerjaan.
Sebagai catatan tambahan, Menurut Direktur Utama Pusat Investasi Pemerintah, hingga saat ini kredit macet atau NPL (non performing loan) dari kredit ultra mikro ternyata hanya 0%. Mungkin ada yang bisa carikan data pembanding berapa besaran NPL dari pengusaha pengusaha besar?
Sebagai penutup, mungkin ada yang bertanya, “Apa maksud tulisan ini?” Apakah Adian sudah tidak dukung Jokowi?
Hmmmm saya ini cuma skrup kecil dari mesin kampanye besar. Saya sudah ikut hore hore mendukung Jokowi sejak Jokowi menuju Ibukota untuk menjadi gubernur, lalu Pilpres 2014 dan Pilpres 2019, dan sampai sekarang saya tetap mendukung Jokowi dan belum terpikir untuk meninggalkannya apalagi dalam situasi sulit saat ini.
Lalu kenapa saya menulis ini? Ya karena saya mau mengambil peran menjaga Jokowi dengan cara yang berbeda, bukan dengan memujinya setinggi langit tapi mengingatkannya terus menerus dengan beragam cara, walaupun mungkin cara saya membuat banyak orang di sekeliling Jokowi merasa gerah dan mungkin memusuhi saya dengan berbagai cara termasuk mungkin menggunakan buzzer.
Salam Hormat
Adian Napitupulu
Sekjen PENA 98