Kolom Eddy Herwanto
Bulan Juni ini, mayoritas pabrik gula di Jawa memasuki masa musim giling. Jika harga gula di tingkat eceran masih di atas Harga Eceran Tertinggi (HET Rp12.500/kg), petani akan sedikit bisa menikmati keuntungan di tengah suasana pandemi Covid-19.
Namun, seperti diduga, naiknya suplai ditambah dengan masuknya gula kristal impor telah meremukkan harapan petani tebu: harga gula di tingkat petani tinggal Rp10.800/kg. Petani pasti nangis karena harga pokok gula mereka hampir Rp10.500/kg.
Padahal di bulan Ramadan Mei silam harganya di tingkat eceran masih Rp18.000. Tingginya harga gula, selain karena mayoritas pabrik gula belum giling secara penuh, distribusi juga terhambat regulasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di banyak jalur distribusi untuk mencegah penyebaran Covid-19. Pemerintah sebenarnya tahu, pada setiap kuartal pertama dan kedua tahun fiskal harga gula selalu bergejolak menjelang diawalinya musim giling pabrik gula di Jawa Mei/Juni. Problemnya juga sudah diketahui: terjadi defisit konsumsi antara 1,5 – 2 juta ton setiap tahunnya.
Yang aneh, sejak Presiden Yudhoyono, pemerintah dan perbankan malah mendorong pendirian pabrik gula rafinasi, dan melakukan revitalisasi pabrik gula peninggalan Belanda yang uzur. Padahal problem yang dihadapi pabrik gula di Jawa adalah pada semakin singkatnya hari giling sehingga efisiensi pabrik menjadi semakin rendah.
Output cenderung turun namun input cost (dalam bentuk harga beli tebu petani dan sewa lahan untuk tanaman tebu) cenderung naik. Pemerintah sebenarnya juga tahu, nyawa pabrik gula di Jawa hampir sepenuhnya tergantung dari pasokan tebu petani.
Sejumlah pabrik gula tua peninggalan Belanda (seperti PG Rendeng di Kudus dan Mojo Sragen di bawah PT Perkebunan IX) direvitailasasi dengan Penyertaan Modal Negara hampir Rp500 miliar sehingga kapasitas giling tebu setiap harinya meningkat. Dengan dana PMN yang seluruhnya berjumlah Rp1 triliun itu, PT Perkebunan IX juga berencana membangun sebuah pabrik gula baru di Comal, Jawa Tengah.
Tapi problem pokok yakni keberlanjutan pasok tebu dari petani tidak ditangani tuntas. PG Rendeng di Kudus, misalnya, pernah mengalami kekurangan pasokan tebu petani.
Tahun 2018 itu, Rendeng hanya bisa memperoleh 142.454 ton tebu dari target 195.587 ton. Akibatnya hari giling menjadi lebih pendek, dan pabrik rugi Rp 34 miliar (unaudit).
Tahun lalu, saat mulai menjajal mesin baru (hasil revitalisasi hingga kapasitas naik dari 2.500 ton cane per day, TCD jadi 4.000 TCD produksi BUMN Wijaya Karya-Barata), mesin ngadat. Apa boleh buat, tebu dari Rendeng Kudus dikirim ke Mojo di Sragen.
Jika revitalisasi Rendeng dan Mojo masing masing menghabiskan Rp225 miliar maka sisa PMN yang diperkirakan Rp550 miliar akan digunakan (sebagai equity) membangun pabrik baru di Comal dengan kapasitas pada tahap awal 6.000 TCD kemudian dinaikkan jadi 10.000 TCD, Keberadaan PG Comal itu dibanggakan bisa menggantikan lima pabrik gula peninggalan Belanda.
Biaya untuk membangun PG Comal itu disebut mencapai Rp2 triliun. Jika PG Comal selesai maka PG Jatibarang dan Sumberhardjo akan ditutup.
Yang tetap jadi pertanyaan dari mana pabrik gula Comal, Rendeng, dan Mojo memdapat pasokan tebu? Petani? Bukankah mayoritas tebu petani yang produksi hablurnya (indikasi untuk mendapatkan gula kristal) dari setiap hektar kebun tebunya tidak stabil?
Penanganan pasca panen yang kurang baik, apalagi pemupukan dan kletekan daun tebu jarang dilakukan, juga mempengaruhi rendemen tebu. Pabrik memang memiliki kebun dari hasil menyewa sawah petani, namun tidak luas.
Jarang pabrik memiliki lahan sendiri dengan fasilitas HGU yang luas kecuali pabrik gula di bawah PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).
Namun kini pabrik gula di bawah RNI, terutama yang di Jawa Barat (di bawah Rajawali, RW II) juga menghadapi tantangan pasokan tebu karena berubahnya lingkungan usaha. PG Subang yang pernah memiliki kebun tebu HGU lebih dari 23.000 hektar sebelum era reformasi (1998), kini hanya memiliki kurang dari 3.000 hektar saja. Pasok tebu dari kebun seluas itu bisa digiling kurang dari sebulan, sehingga dianggap tidak efisien.
Tiga tahun lalu PG Subang akhirnya ditutup, tebu kemudian dikirim ke PG Jati Tujuh (juga di bawah RW II). Subang ambruk karena pemerintah pusat dan daerah tidak cukup memberikan perlindungan. Pembangunan tol TransJawa misalnya, telah membelah kebunnya menjadi dua bagian sehingga menyulitkan pengiriman ke pabrik.
Kerugian akibat pembangunan jalan tol itu hanya diganti Rp11 miliar. Banyak lahan HGU Subang juga disrobot warga dan oknum LSM untuk ditanami palawija.
Pukulan berikut datang saat pemerintah Kabupaten Cirebon mengubah Tata Ruang (2018-2038) pada 2018 dengan mencadangkan kawasan seluas 10.000 hektar untuk kawasan industri termasuk kawasan HGU milik PG Subang.
Padahal pada Tata Ruang 2011 sebelumnya (2011-2031) hanya dicadangkan 2.000 hektar saja. Dalam Tata Ruang baru itu tidak disebut secara eksplisit kawasan 3.000 sebagai perkebunan tebu, melainkan kawasan perkebunan saja.
PT Rajawali (RW) II yang di masa jaya pernah menaungi 8 (delapan) pabrik gula dengan 6 (enam) di antaranya merupakan warisan Belanda (termasuk sebuah pabrik spirtus dan alkohol di Palimanan) kini menghadapi mendung cukup pekat. Praktis kini tinggal Pabrik Gula (PG) Tersana Baru dan Jatitujuh yang beroperasi di Jawa Barat.
Sebenarnya posisi PG Subang dan Jatitujuh lebih bagus karena masing-masing memiliki lahan HGU cukup luas yang bisa ditanami sendiri sehingga produktivitas rendemennya bisa lebih terjaga. Jatitujuh dibangun 1980 dan Subang 1984, relatif baru dibandingkan Tersana Baru, Sindang Laut, atau Karang Suwung warisan Belanda.
Melihat situasi pelik BUMN pabrik gula di Jawa, akibat tidak jelasnya peta jalan pengembangan industrinya, rada sulit memperkirakan mendirikan pabrik gula baru atau revitalisasi pabriknya akan bertahan. Lahan petani makin menciut, pasok tebu tidak terjaga, rendemen rendah, maka hari giling juga akan makin pendek.
Apalagi Harga Eceran Tertinggi gula, dengan Permendag No.7 Tahun 2020 berlaku mulai 10 Februari 2020, tidak berubah (sejak 2018): tetap Rp12.500/kg. Padahal inflasi akumulatif sejak 2018 sudah di atas 5%.
Harga acuan itu jelas tidak memihak petani tebu dan pabrik gula, karena dengan harga pokok produksi gula di Jawa Rp10.500/ kg petani dan pabrik tidak memperoleh insentif harga yang baik.
Pabrik gula seperti Madukismo dan Gendis Multi Manis (milik Bulog) akhirnya lebih senang mengimpor gula mentah untuk diolah jadi gula konsumsi untuk memperpanjang hari giling, sekaligus memperpanjang nafas perusahaan. Musim giling 2020 ini tidak banyak perbaikan diperoleh industri gula dan petani tebu di Jawa.