Sabtu, Desember 7, 2024

Syekhah lulusan Vatikan

Must read

  • Di dunia internasional, sudah bertahun-tahun ada kerjasama antar-iman.
  • Raden Ajeng Gayatri Wedotami pergi ke Roma melalui jalur religius, sama seperti para biarawan dan biarawati yang bersekolah dan atau bermisi ke Italia.

Kalau ada syekhah lulusan Vatikan di Indonesia, saya bisa pastikan bahwa syekhah yang pertama adalah Raden Ajeng Gayatri Wedotami yang pada 23 April 2020 memperoleh nama Syekhah Hefzibah dari para mursyidnya. Ya, orang itu adalah saya sendiri. 

Saya berangkat pada akhir Agustus 2011 tidak lama setelah saya menyelesaikan semua kuliah saya dalam program pascasarjana Filsafat Islam ICAS (Islamic College for Advance Studies) – Universitas Paramadina Jakarta, dan saya sedang menyiapkan proposal tesis saya. Pada waktu itu, Anies Baswedan masih menjabat sebagai rektor. 

Saya tidak mengajukan beasiswa atau permohonan apapun untuk kuliah di Roma. Saya memperoleh tawaran beasiswa dari Yayasan Nostra Aetate atas rekomendasi Sr. Gerardette Phillips, suster Katholik asal India dari Kongregasi Bunda Hati Kudus dan alumni generasi pertama ICAS. 

Yayasan Nostra Aetate (YNA) berada di bawah Tahta Suci Vatikan (TSV), di bawah semacam Departemen Urusan Hubungan Antar Agama (PCID). Jadi, saya pergi ke Roma melalui jalur religius, sama seperti para biarawan dan biarawati yang bersekolah dan atau bermisi ke Italia. 

Sebelum berangkat, saya telah memutuskan untuk menjadi darwis Daudiyah, setelah saya menjadi muhib dan ashik dalam tarekat yang pada waktu itu diasuh oleh Syekhul Akbar Ali Haidar. 

Dalam program beasiswa YNA tersebut, saya boleh mengambil sejumlah studi di dua universitas kepausan (UK), yaitu universitas di bawah asuhan kementerian pendidikan TSV. Saya kemudian mengambil studi Alkitab dan Trinitas di fakultas teologi, di UK.St Thomas Aquinas (Angelicum), kampus yang dikelola kongregasi Dominikan – yang dikenal konservatif dan tradisional.

Selain itu, saya juga mengambil studi Kristologi dalam Globalisasi dan studi privat dengan dekan saat itu di fakultas misiologi di UK Gregoriana, kampus yang dikelola kongregasi Yesuit – yang dikenal liberal dan progresif.

Dua kampus itu hanya berbeda jarak beberapa kilometer saja. Saya pernah kuliah dalam sehari di dua kampus tersebut hanya berbeda waktu sekitar 20 menit saja, sehingga saya harus berjalan cepat seperti orang Eropa untuk tiba tepat waktu di kelas. Maklum saja, sebagai orang Jawa keturunan putri Solo, saya biasa berjalan “klemak-klemek seperti macan lapar” (begitu kata lagu Putri Solo).

Di samping itu, yang terpenting saya juga hidup di asrama The Lay Centre. Ini asrama untuk mahasiswa awam yang kuliah di UK. Ada tujuh UK di Roma. Mahasiswa awam berarti mahasiswa yang bukan dari seminari (pastor, calon pastor, bruder, dan seterusnya), suster Katholik, kongregasi, atau semacam itu.

Asrama TLC ini terletak di dalam kompleks biara kongregasi Passionisti, tepatnya di lantai pertama, dan ketiga. Kompleks ini ada tepat di atas bukit Claudia, di samping Kolosseum, jadi jendela kamar saya menghadap sebagian Kolosseum.

Setiap harus ke kampus, dan kembali, saya pasti harus melalui Kolosseum, kecuali jika naik bus: pulangnya saya akan lewati gereja purba dari abad ke-3 atau 4 M, Gereja St. Klemen favorit saya. Tepat di depan warung makanan halal dua pria Mesir sahabat saya asal Mesir, Saba Ali.

Pada waktu itu, kawan-kawan seasrama saya antara lain adalah: calon imam dari Bosnia, bermazhab Hanafi, yang kuliah studi Kekristenan di Gregoriana; arkeolog Yahudi agnostik asal Israel; Muslimah asal Mesir sesama penerima beasiswa YNA, Saba Ali, dia tidak berjilbab serta fasih berbahasa Italia; doktor-doktor Katholik dari berbagai negara Eropa, AS dan Amerika Latin yang kuliah lagi untuk paroki mereka; mahasiswa Ortodoks dari berbagai gereja Ortodoks, di antaranya mahasiswa Ortodoks Serbia dan Georgia yang belajar Islamologi, dan seorang teman asal AS yang merupakan jemaat gereja Ortodoks Oriental (Gereja Malankara) yang kakek dan neneknya lahir di Hindia Belanda.

Di asrama ini kami punya kegiatan rutin yang harus diikuti semua penghuni asramanya yaitu makan malam bersama, dengan doa bersama bergantian dipimpin oleh salah satu dari kami, dan diskusi seminggu sekali setiap Rabu Malam setelah misa bersama (misa tidak wajib diikuti). Praktisnya, kami belajar hidup berdialog mengenai iman dan budaya kami masing-masing.

Diskusi Rabu malam itu biasanya menghadirkan pastor, pendeta, rabbi, dan pemimpin dari komunitas Islam setempat sebagai narsum. 

Selain itu, asrama kami saat ultah ke-25 menyelenggarakan berbagai kegiatan internasional mengundang tokoh-tokoh keagamaan dari Eropa dan AS, termasuk dari Israel dan Palestina, dari bekas Yugoslavia, dsb. Puncaknya, adalah suatu perayaan di dalam katedral St John of the Cross, dimana kami memberikan doa dalam bahasa masing-masing.

Saya membawakan doa untuk semua orang beriman dalam bahasa Indonesia, dan membuat para suster Katholik asal Indonesia yang hadir tidak menyangka dan menangis terharu.

Saya adalah mahasiswa ketiga dari Indonesia yang dikirim YNA. Mahasiswa pertama adalah Syekh Yusuf Daud, juga mahasiswa ICAS sebelum saya, yang kedua adalah Aan Rukmana (ketika berangkat kabarnya dia sedang memiliki hubungan dekat dengan penyanyi terkenal Sulis, tetapi kemudian mereka tidak berjodoh). Saya adalah mahasiswi Muslim pertama yang pergi, dan mahasiswa yang kedua tinggal di The Lay Centre setelah Aan Rukmana. 

Saya datang tepat pada Oktober 2011 dilaksanakan World Peace Prayer Day di Assisi, dengan ribuan perwakilan pemimpin agama-agama dari berbagai negara datang berkumpul untuk berdoa bersama demi perdamaian dunia (menjelang pecah perang Suriah!)

Saya dan Syekh Yusuf Daud juga sama-sama aktif di Focolare. Itu sebabnya saya juga ke kota Loppiano, kotanya Focalare. Dalam Buyruk Alfurqan vol.4, Syekh Ali Haidar memuji Chiara Lubich pendiri Focolare untuk syarahan mengenai Injil Yohanes 17:21. Yaitu, mengenai tauhid sebagai satu kemanusiaan. Saya sudah mengunjungi pula makam Chiara Lubich di pinggir Roma. 

Selain itu, kedekatan saya dengan kongregasi Xaverian, terutama Rm. Matteo Rebecchi membuat saya bisa ke beberapa kota di Italia termasuk memperkenalkan Islam Indonesia di paroki asalnya di Pizzigetthone. Saya juga dekat dengan kongregasi Scalabriani yang bergerak di bidang kelompok migran dan dunia maritim, karena banyak seminariannya berasal dari NTT, Indonesia.

Salah satu pejabat TSV dari Indonesia yang saya kenal baik adalah Rm Markus SVD. Di samping itu, saya beberapa kali berpapasan dengan Kardinal Jean-Louis Pierre Tauran yang memimpin departemen PCID saat itu. Kardinal Tauran orang yang sangat ramah. Saya berpapasan di lift atau di koridor setiap mau mengambil uang beasiswa (duh, itu penting banget ya!). Pada 2014 dia diangkat sebagai Camerlengo oleh Paus Fransiskus sampai wafatnya pada Juli 2018.

Jadi, selama di Roma saya juga mengunjungi semua kampus UK (kecuali Salesian), karena teman-teman seasrama saya bukan hanya dari Gregoriana dan Angelicum. Kafe di kampus Laterano menurut saya menyajikan kopi paling enak dan paling menarik, dengan barista paling ramah. Saya juga senang mengunjungi teman-teman WNI lain dan beranjangsana ke kongregasi-kongregasi dari teman-teman sekelas saya. 

Saya memerlukan semua pengalaman itu karena: Pertama, sebagai darwis; Kedua, sebagai sastrawan. 

Ini salah satu sebabnya, tidak lama kemudian setelah saya kembali ke Indonesia, saya diangkat sebagai mursyid dalam tarekat saya pada 2015. Saya dianggap cukup memiliki pengalaman dan pelatihan untuk meningkatkan diri saya lebih jauh lagi.

Sebulan menjelang saya pulang ke Indonesia, kami di The Lay Centre memiliki teman seasrama yang cukup keren. Dia adalah mantan presiden Irlandia yang menjabat selama dua periode (hampir 14 tahun). Dia kuliah lagi untuk pekerjaan barunya di bidang hukum perkawinan, karena dia menjadi aktivis di bidang tersebut di dunia internasional. Dia adalah Mary McAlesee.

Kami biasa makan malam bareng, makan siang dan sarapan bareng juga. Saat tugas piket, dia juga ikut piket mencuci piring dan membereskan ruang makan. Begitu pun saat makan siang dan sarapan, dia akan mencuci piringnya sendiri. Ke kampus pun dia berjalan kaki dan bersama suaminya dia biasa makan di pinggir jalan juga. Ini foto saya dengannya. 

Nah, buat saudara saudari Muslim, hanya ada tujuh UK saat ini dan saya lampirkan di bawah ini daftar UK tersebut. Pendeta-pendeta Katholik Roma yang disebut pastor itu tidak menikah. Pastor Katholik Roma yang terakhir kali menikah sekitar seribu tahun lalu.

Jadi, kalau mendengar cerita Ignatius Yohanes lulusan IVS itu, mana mungkin ada Kardinal Katholik Roma yang menikah dan punya anak? Ini mungkin kardinal dari Katholik berbasis Amerika karena biasanya Evangelikal itu berpusat di AS atau mungkin Katholik Dunia Fantasi. 

Memang Pastor Orthodoks (Kristen Timur) boleh memilih menikah sebelum ditahbiskan sebagai pendeta, tetapi gelar tertinggi mereka bukan Kardinal. Sementara itu, biasanya pendeta Protestan diekspektasi atau dianjurkan untuk menikah dan sedikit sekali gereja Protestan yang pendeta tertingginya bergelar Kardinal.

Selain Katholik Roma, ada Anglikan, dan ada pula Katholik Non-Roma, yang juga mengklaim sebagai Katholik tetapi pusatnya antara lain di AS, Polandia dan Belanda. Selain itu ada pula gereja-gereja Ortodoks Oriental yang banyak orang Kristen sendiri tidak tahu sehingga ribut soal teks-teks Alquran yang menunjukkan keawaman mereka mengenai dunia Yudeo-Kristen Oriental di Nabatea. 

Untuk para “muallaf” yang mau kaya dengan mengibul: Pelajarilah Kekristenan dengan lebih 40.000 gerejanya terlebih dahulu sebelum Anda mengibul. Biar mengibulnya tampak keren. 

Untuk Muslim: Jangan mau dibohongi para partikelir muallaf seperti Ignatius Yohanes. Saya sudah melanglang buana masuk gereja Katholik Roma, tinggal di biaranya, dan bertemu kardinal-kadinalnya, tidak perlu mengaku-aku mantan pastor, mantan suster atau mantan Katholik.

Di dunia internasional, sudah bertahun-tahun ada kerjasama antar-iman, ini malah di sini senang yang cari ribut antar-iman.

Billahifisabililhaq fastabiqul khairat,
Syekhah Hefzibah.

7 Universitas Kepausan di Roma, Italia:

  • Pontifical Gregorian University ‘Gregoriana’ (Society of Jesus; ‘Jesuits’)
  • Pontifical Lateran University ‘Lateranum’ (Diocese of Rome)
  • Pontifical Salesian University ‘Salesianum’ (Society of St. Francis de Sales; ‘Salesians of Don Bosco’)
  • Pontifical University of the Holy Cross ‘Santa Croce’ (Personal Prelature of the Holy Cross; ‘Opus Dei’)
  • Pontifical University of St. Anthony ‘Antonianum’ (Order of Friars Minor; ‘Franciscans’)
  • Pontifical University of St. Thomas Aquinas ‘Angelicum’ (Order of Preachers; ‘Dominicans’)
  • Pontifical Urban University ‘Urbaniana’ (Congregation for the Evangelization of Peoples; ‘Propaganda Fide’)

Sumber: FB – Hijrah Indonesia

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article