Begini sejarah feminisme muncul dalam Islam. Latar belakangnya perlu kita ketahui agar tidak salah menilai.
Oleh Anisa Kurniarahman
Pro kontra feminisme dalam tubuh Islam sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Perdebatan baik secara filosofis maupun praktis senantiasa bergulir hingga mencapai kesepakatan untuk tidak sepakat. Bahkan tak jarang pihak pro menyebut pihak kontra dengan label “konvensional”, sedangkan pihak kontra menyebut pihak pro dengan sebutan “kaum sesat”.
Stigma buruk feminisme dalam Islam
Ketidaksepakatan akan hadirnya feminisme dalam Islam tidak lepas dari stigma buruk paham tersebut. Menurut Musdah Mulia dalam Jurnal perempuan, “Feminisme dianggap tidak cocok dengan budaya Indonesia. Feminsime dianggap melawan kodrat, benci laki-laki, pemberontakan perempuan terhadap kewajiban rumah tangga dan penolakan terhadap hukum syariat.” Atau dengan kata lain, feminisme menyebabkan adanya desakralisasi agama.
Feminisme dinilai membawa semangat ‘liberasi’ (kebebasan) yang berbahaya, entah itu liberasi hak, liberasi value (nilai), hingga liberasi tatanan sosial. Terlihat tidak mungkin ketika Islam harus disandingkan dengan kebebasan. Karena Islam sendiri adalah agama yang di dalamnya berisi syariat atau aturan.
Ketegangan antara pihak pro dan kontra berada di titik kulminasi ketika membahas persoalan LGBT dan teman-temannya. LGBT yang sekarang sudah bertambah ejaan menjadi LGBTQI+ diyakini merupakan bentuk dari penyimpangan seksual yang dilarang dalam Al-Quran. Di lain sisi, feminisme yang salah satu ciri gerakannya adalah kesetaraan gender, mau tidak mau harus mengakomodasi LGBTQI+ atas nama kemanusiaan.
Namun sebelum lebih jauh membahas tentang poin ketidaksepakatan, hal pertama yang harus kita urai dalam benang kusut pro kontra feminisme adalah bagaimana sejarah atau awal kemunculan feminisme dalam Islam. Mungkin dengan mengetahui apa landasan berpikir feminis Islam generasi awal, dapat membantu kita untuk mengambil sikap atas dasar keilmuan dan bukan hanya berdasar pada asumsi orang.
Feminisme dalam Islam: Kritik terhadap agama dan budaya yang mengopresi perempuan
Sering terdengar, alasan tidak adanya ruang feminisme dalam Islam adalah karena islam merupakan agama sempurna yang sudah sangat memuliakan perempuan. Dengan demikian tidak ada lagi celah dalam Islam untuk diberi tambahan pemikiran atau kritikan. Ya, saya sepakat tentang itu.
Namun, mari kita kutip sedikit kalimat Farag Fouda (2003), ”Islam telah selesai (purna) saat nabi wafat, dan sekarang adalah masa umat Islam”. Maksud dari Farag Fouda adalah ketika kita ‘berbicara’ tentang islam, kita tidak berbicara tentang hakikat Islam itu sendiri, kita berbicara tentang pemeluknya. Maka ketika ada kritik terhadap Islam, sesungguhnya adalah kritik terhadap pengamalan ajarannya.
Hal ini sejalan dengan apa yang dipahami oleh Fatimah Mernissi, salah satu tokoh feminis Islam kelahiran asal Mesir yang mengaku kecewa terhadap umat Islam pasca kematian Rasul dan Khulafaur Rasyidin.
Fatimah Mernissi menghabiskan masa kecilnya di hareem, bagunan rumah biasa. Fungsinya sama dengan hareem zaman monarki Islam, yaitu membentengi orang yang tinggal di dalamnya agar tidak bersingungan dengan dunia luar. Naasnya, semua perempuan yang hidup se-zaman dengan Fatimah Mernissi juga ikut merasakan. Hal itu mengakibatkan jajaran penguasa dan ulama tidak ada yang berasal dari golongan perempuan.
Latar belakang ini membuat Fatimah Mernissi menemukan bahwa cara sultan yang patriarkal dalam membuat aturan ternyata ditiru oleh rakyatnya dalam berumah tangga. Kemudian hati Fatimah Mernissi semakin hancur ketika dia mendapati beberapa hadis yang terdengar tidak ramah perempuan.
Hal ini dibahas dalam bukunya yang berjudul Women and Islam. Sebagai contoh adalah hadist riwayat Abu Bakrah soal kepemimpinan perempuan dan hadis riwayat Imam Bukhari tentang penyandingan kata anjing dan keledai dengan perempuan. Maka tak heran jika Fatimah Mernissi berusaha membongkar tafsir bernafas ‘misoginis’ untuk kemudian dikembalikan kepada semangat universalitas islam.
Kritikan terhadap budaya dan pengamalan ajaran Islam juga lahir dari pemikiran Nawal El Saadawi. Di dalam bukunya Perempuan dalam Budaya Patriarki, Nawal membredeli budaya masyarakat Islam yang dinilai sangat merugikan perempuan. Di antaranya; 1) Sunat klitoris yang menelan banyak korban, 2) Killing by honour atau membunuh atas nama kehormatan yang mana korbannya kebanyakan adalah perempuan yang sudah tidak perawan sebelum menikah, 3) dalam kasus pelacuran, hanya perempuan yang mendapat hukuman, dan masih banyak lagi.
Urgensi Feminisme dalam Islam di masa sekarang
Dari sana kita melihat, feminisme dalam Islam itu tidak lahir begitu saja. Meskipun tetap terpengaruh oleh pemikiran barat, namun feminisme Islam lahir dan berkembang dengan semangat zamannya. Setelah semua itu, saya yakin pasti masih ada sanggahan, “Ah itu kan dulu, sekarang tidak ada lagi sunat klitoris, apalagi pembunuhan terhadap perempuan yang sudah tidak perawan, jadi feminisme dalam Islam tidak lagi dibutuhkan”.
Begini, saya ambil satu contoh sederhana saja. Ini nyata, baru saja beberapa saat lalu penulis menemukan adanya video dakwah tentang pacaran di instagram. Terlepas dari pro kontra pacaran, dalam video itu dijelaskan perempuan yang memilih untuk pacaran dikatakan lebih rendah daripada perempuan ‘murahan’ atau tidak memiliki harga. Bagaimana mungkin hanya karena dia pacaran, perempuan disebut sebagai sesuatu yang tak memiliki harga, atau sebagai barang ‘gratisan’. Bukannya apa, hanya saja lagi-lagi yang diopresi adalah perempuan. Mengapa tidak dibahas juga dari sisi laki-laki ?
Penulis tidak ragu menyebutkan, bagi laki-laki atau perempuan yang belum mengenal feminisme ataupun gerakan keperempuanan, mungkin akan manggut-manggut setuju dengan pernyataan barusan. Padahal kenyataannya itu contoh pelecehan verbal.
Sebuah sintesa
Oleh karena itu, upaya penegakkan agama Islam harus dibarengi dengan memperhatikan etika dan bahasa agar tidak merendahkan salah satu gender dan meninggikan yang lainnya. Jangan sampai islam sebagai agama yang menjunjung tinggi keadilan ternodai oleh pemeluknya yang masih melakukan penindasan. Ajaran Islam yang begitu indah tidak boleh dijadikan alat legitimasi logika patriarki.
Maka, merujuk pendapat David Jary dan Julia Jary (1991) mengenai pengertian feminisme, yaitu teori dan praktik sosiopolitik yang bertujuan untuk membebaskan perempuan dari supremasi dan eksploitasi, rasanya tidak berlebihan jika kita menyebut feminisme memiliki ruang dalam islam. Sebab Islam adalah agama yang menentang segala bentuk penindasan termasuk penindasan terhadap perempuan. (AN)
*Analisis ini hasil kerja sama Islami.co & Rumah Kitab
Anisa Kurniarahman
Founder IG @jilbabmerah.id, Ketua Korps IMMawati PC IMM Sukoharjo 2020, Sekretaris Umum Internasional Student Organization 2020, dan aktivis gender equity.
Sumber: islami.co