Sabtu, November 16, 2024

Investasi dan Omnibus Law

Must read

Oleh Farid Gaban

Pandemi dan protes tidak menyurutkan langkah Pemerintah. Presiden dan DPR sepertinya sepakat agar Omnibus Law atau UU Cipta Kerja lolos menjadi undang-undang. Motif yang sering dikemukakan: UU itu penting untuk menarik investasi bisnis (asing maupun domestik). UU itu diharapkan akan mendorong kemudahaan berusaha yang diharapkan akan memperluas lapangan kerja.

Saya termasuk yang berpendapat bahwa investasi bisnis besar asing maupun domestik tidak semestinya menjadi tumpuan untuk membuka lapangan kerja, apalagi untuk mewujudkan kesejahteraan secara luas.

Pembangunan sektor pertanian dan usaha kecil lebih menjanjikan untuk menyediakan lapangan kerja, dan tidak membutuhkan investasi besar-besaran. Sektor pertanian juga lebih potensial membebaskan petani dan nelayan dari kemiskinan, dibanding sektor manufaktur, tambang atau jasa.

Wabah corona juga menunjukkan betapa sektor manufaktur dan jasa di perkotaan begitu rapuh. Banyak pekerja perkotaan kini pulang ke desa dan berharap bisa bangkit dari pertanian.

Bukan berarti saya anti-investasi sama sekali. Tapi, kita perlu ingat, bahwa investasi itu membutuhkan prasyarat dan konsekuensi.

Tidak ada makan siang gratis, kata orang. Ada yang harus kita bayar untuk menarik investasi: memperkecil kapasitas negara dalam melindungi hak asasi manusia dan ketahanan sosial (buruh/petani) serta kelestarian alam.

Kita tidak sendirian dalam memikat investasi. Banyak negara terlibat dalam lomba menggelar karpet merah bagi investor. Di situ kita potensial untuk terus-menerus menurunkan standar perlindungan sosial dan alam.

Artinya, kita harus sangat selektif dalam menarik investasi serta memberi syarat yang ketat untuk menjamin investasi itu tidak membawa masalah sosial maupun bencana alam di kemudian hari.

Tidak demikian halnya dengan Omnibus Law. Dengan UU itu kita potensial benar-benar merendahkan martabat dan menggadaikan nasib di tangan investor besar, baik dalam maupun luar negeri.

Sejumlah pasal di situ jelas merugikan warga negara di hadapan kepentingan investor. Juga potensial memperbesar ketimpangan, keresahan sosial dan kerusakan alam.

Omnibus Law ini juga bukan jawaban tepat bahkan jika kita ingin memperbanyak investasi yang berkualitas.

Komunitas bisnis World Economic Forum tahun lalu mengungkap sebuah survai di kalangan pebisnis dunia dan bertanya apa saja hambatan investasi di Indonesia. Hasilnya?

Korupsi merupakan faktor nomor satu penghambat investasi. Di urutan kedua adalah inefisiensi birokrasi. Kebijakan yang tidak stabil (berganti-ganti) serta instabilitas pemerintahan merupakan faktor utama juga, jauh di atas keluhan soal peraturan perburuhan.

Ketimbang mendorong Omnibus Law, kewajiban pemerintah sekarang semestinya adalah benar-benar serius dan fundamental dalam memberantas korupsi dan melakukan reformasi birokrasi.

Tapi, tekad politik untuk itu sudah terbukti tidak nampak pada periode pertama Pemerintahan Jokowi. Dan lewat Omnibus Law kini pemerintah cenderung akan mengorbankan rakyat untuk menggantikan kewajiban yang tidak ditunaikan.

Sumber data: Katadata

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article