Oleh Hamid Basyaib
Dalam usia 20-an, Sapardi sudah dikenal sebagai penyair ternama, sehingga majalah humor Astaga (1975-76) menampilkan seorang karakter bernama Seperti Djika Dimana. Astaga yakin pemelesetan itu dipahami oleh pembacanya. Astaga benar.
Sebagai murid kelas dua SMP, saya pun paham dan terbahak dengan plesetan nama itu — dan teringat sampai sekarang, 45 tahun sesudah satu-satunya majalah humor Indonesia yang bermutu itu berhenti terbit.
Sapardi kemudian terus menekuni dua karier: sebagai penyair profesional dan dosen sastra di UI, hingga mencapai profesor. Tapi dalam kedua karir itu pun ia tampil sumeleh saja, seakan menghayati kearifan Jawa untuk “sak madyo” — segalanya diupayakan atau diraih secara sedang-sedang saja.
Ia terus produktif melahirkan banyak puisi, namun bukan dengan semangat menegas-negaskan kepenyairannya, seperti kita lihat pada banyak penyair lain, baik yang seangkatan maupun dari generasi di bawahnya.
Bagi Sapardi, berpuisi seolah adalah pemenuhan kebutuhan untuk bercakap-cakap dengan dirinya sendiri; untuk mengekspresikan penghayatan personal atas pengalaman-pengalaman yang sangat pribadi.
Ia tak pernah meniatkan puisinya sebagai program pengubah kehidupan sosial. Ia tak menunjuk kondisi patologi sosial yang merisaukan dan mendesakkan resep umum agar semua itu segera diperbaiki. Menghayati sesuatu, apalagi yang intim, tidak cocok disajikan dengan berteriak — seperti misalnya kita lihat pada Sutardji Calzoum Bachri, Rendra atau Taufiq Ismail.
Nada rendah yang menyerupai gumam dalam puisi-puisi Sapardi juga terlihat dari pilihan diksinya. Ia seperti tak berupaya keras untuk menemukan diksi tertentu yang khas atau “puitis”. Ia seolah menuangkan begitu saja kata-kata “biasa”.
Tapi di tangan Sapardi keajaiban terjadi: kesederhanaan diksinya itu justeru kekuatan terbesar dalam karyanya. Ia rupanya percaya bahwa kekuatan kata bukan terutama terletak pada makna kata tunggal itu sendiri, tapi pada hubungan dan kedudukannya di antara barisan kata lain.
Hampir tidak ada penyair lain yang menyimpan kepercayaan semacam ini dan berani menyajikannya — dengan risiko tidak dianggap sebagai penyair, setidaknya penyair hebat, terutama oleh para remaja perempuan.
Mungkin dengan wataknya yang semacam itu maka puisi-puisi Sapardi mendapat audiens yang luas dan lintas generasi. Kaum milenial, dari generasi cucunya, sampai sekarang masih gemar mengutip karyanya, terutama “Aku Ingin”– sejak meluncurkan puisi inilah namanya menasional.
Puisi yang sangat populer itu menyajikan ungkapan dan imaji-imaji yang kuat (dan tidak sederhana!), dengan metafor yang sarat kontemplasi yang beraneka.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Bait sederhana itu menantang kita dengan peluang pemaknaan yang amat kaya. Kata-kata apa yang mungkin diucapkan sang kayu? Mengapa ia tak sempat mengucapkannya?
Apakah sang api begitu ganas dan terlalu cepat membakar dirinya? Ataukah si kayu sekadar merasa kata-kata itu tak cukup penting untuk diucapkan, kalah penting dibanding kobaran yang membakarnya habis — dan ia nikmati, meski atau justeru karena ia terbakar?
Bait-bait berikutnya hanya semakin memperkaya kompleksitas pemaknaan untuk “mencintai dengan sederhana”.
Sapardi Djoko Damono adalah The Beatles puisi Indonesia. Resepsi publik lintas generasi merentang hingga setengah abad sesudah bubarnya The Fab Four sebagai grup musik. Popularitas puisi Sapardi pun hanya setingkat di bawah “Aku” Chairil Anwar. “Aku Ingin” bahkan, menurut penciptanya, kerap dikutip dalam kartu undangan pernikahan — tentu sang penyair tak mendapat royalti dari situ.
Esai-esai Sapardi, yang tak cukup sering muncul di media massa, tak sekuat puisi-puisinya. Komposisinya pun terasa disusun dengan cara yang tidak selancar arus puisinya.
Tapi ia seperti ingin mengembalikan ulasan atau kritik sastra pada rel aslinya: menelaah sastra sebagai karya sastra, dengan disiplin yang dikenal dalam bidang itu — ringkasnya: sastra sebagai paparan tentang human condition — bukan merujuknya ke berbagai arah yang jauh melampaui tujuan sastra (sebagai kritik sosial, sebagai “analisis” politik, dan semacamnya). Ia enggan, bahkan cenderung heran, mengapa sastra diperlakukan sebagai alat analisis sosial dalam bingkai “cultural studies.”
Bagi Sapardi, sastra sebagai cerita tentang kondisi manusia sudah merupakan ambisi yang memadai; tak perlu “ditingkatkan” dengan membidik isu-isu sosial yang pasti membuatnya gagal sebagai ilmu sosial dan niscaya lemah sebagai karya sastra.
Belakangan ia juga menjajal penulisan cerita pendek, bahkan novel. Di sini sebetulnya Sapardi seperti melakukan gerak melingkar: ia memulai karier sebagai penulis novel berbahasa Jawa, ketika ia masih menetap di Solo, kota kelahirannya.
Di titik ini pula ia tampaknya tergiur oleh potensi sukses komersial; dan ia sudah tahu pasti seberapa kecil potensi itu untuk puisi, setelah setengah abad menerbitkan sejumlah kumpulan puisi. Ketergiuran itu sampai pada titik kerelaannya melakukan self-plagiarism atas frasenya yang terkenal: Hujan Bulan Juni.
Belakangan ia juga menerbitkan sendiri buku-buku kumpulan puisinya, berdasarkan pesanan (print on demand). Ia rupanya letih menunggu munculnya royalti dari penerbit atas buku-bukunya yang cukup laris — tapi aliran imbalan tak selancar kelarisan itu.
Penulis A.S Laksana, yang berkawan dekat dengan Sapardi, mengritik banyaknya pemakaian ragam lisan dalam novelnya itu, dalam diskusi tentang novel itu dan novel Goenawan Mohamad di Komunitas Salihara, tahun lalu.
Terhadap kritik itu, Sapardi menangkis: asal muasal bahasa adalah bahasa lisan; jadi ia ingin mengembalikan kelisanan itu dalam novelnya. Lalu ia membuat ruangan pecah oleh tawa ketika ia menambahkan bahwa novelnya itu laku keras — jauh lebih laris dibanding buku-buku puisinya (atau jauh lebih lancar kehadiran royaltinya?).
Tentu saja argumen Sapardi itu bisa dipersoalkan, kalaupun kita pasti setuju bahwa bahasa bermula sebagai modus komunikasi lisan. Dengan kontra-intuisi pun orang bisa segera menyanggahnya: jika demikian, apa perlunya ia memindahkan kelisanan itu dalam bentuk tertulis? Bukankah cara terbaik untuk mengembalikan kelisanan itu adalah dengan menyajikannya secara lisan?
Sejak pukul 9.17 pagi tadi, kita tak akan lagi bergurau dengan Sapardi Djoko Damono. Setelah melewati beberapa kali stroke ringan dan cuci darah untuk aneka penyakit di tubuhnya yang konstan kurus, ia terhenti di sebuah rumah sakit di Serpong, dalam usia 80 tahun lebih 3 bulan.
Kita tak akan lagi melihat ia melangkah lambat dengan topi golf dan syal kotak-kotaknya, dengan kacamata minus yang selalu pas di wajah tirusnya. Tapi: Sajakmu Abadi, Mas Sapardi.
Jakarta, 19 Juli 2020