Oleh Idrus F Shahab
Sebenarnya tulisan feature tidak teramat istimewa. Sama seperti saudara-saudaranya, tulisan opini, esai, bahkan straight news, apa yang dilakukan feature adalah suatu usaha keras dan panjang untuk menaklukkan hati pembaca.
Semacam ikhtiar supaya pembaca jangan mengalihkan perhatiannya setelah membaca judul, lead dan seterusnya.
Mungkin yang membuat feature berbeda adalah kengototannya untuk menyampaikan cerita manusia dan posisinya selaku penulisan kreatif (creative writing).
Soal cerita manusia, saya yakin tentu Anda sudah sangat tahu. Namun sebagai creative writing, penulis feature harus terus-menerus memperbaiki diri agar karyanya tetap segar, anyar, sanggup memukau hingga paragraf akhir, dan terus mengatasi kejunuban yang ditimbulkan oleh gaya penulisan yang klise.
Di sebuah majalah yang terpandang, pernah ada masanya ketika hampir semua news feature dibuka dengan lead deskripsi. Padahal hanya deskripsi yang eksklusif, yang istimewa, yang pada akhirnya mampu membuat tulisan tetap segar.
Buat tulisan feature, deskripsi hancurnya rumah atau bangunan akibat bom teroris di Sibolga tahun lalu tak akan memberikan banyak arti, apabila penulis tidak melukiskan barang-barang yang tertinggal, tersisa setelah ledakan.
Rumah itu dulu dihuni sebuah keluarga, dan di sana ada ruang tamu yang gosong, kamar tidur yang tersisa separuh, mainan anak dst dst. Cerita keluarga tetap patut ditampilkan, kendati itu keluarga teroris. Di sanalah ada cerita manusia..
Feature itu tulisan yang awet bertahan, lebih long lasting. Ketimbang melukiskan dampak destruktif bom yang menjadi konsumsi berita televisi, saya lebih suka menampilkan kelembutan manusia, ironi, tragedi –bahkan sedikit main-main pun boleh.
Inilah kekayaan feature yang tentunya tidak terdapat dalam berita model straight news. Dalam lead, saya akan mencoba menghindari penggambaran yang terlalu fisik atau verbal — kecuali kalau disampaikan oleh “aku eksklusif” atau mewakili suatu kondisi yang istimewa.
Deskripsi yang sensitif –juga selektif– memainkan peran besar ketika melukiskan keadaan ekonomi yang semakin mencekik rakyat jelata.
“Pemerintah ini sudah zalim,” teriak ibu yang rumahnya terpaksa dibongkar satpol PP. Menghadapi pernyataan ini, saya lebih suka tidak meletakkan kata-kata itu sebagai lead, melainkan sebagai kesimpulan dari suatu keadaan yang dideskripsikan. “Pemerintah ini sudah zalim,” kata ibu yang rumahnya baru dibongkar satpol PP itu lirih, nyaris tak terdengar.
Supaya tidak terperangkap dalam klise, lead yang bersifat menyimpulkan juga bisa menjadi alternatif. Sekali lagi, sebagai creative writing, feature memberi ruang yang lebih luas untuk kebebasan si penulis.
Feature tetap merupakan tulisan berlandas fakta, bukan tulisan fiktif. Namun seperti halnya esai dan resensi, sepanjang bisa dipertanggungjawabkan, penulis feature tak diharamkan samasekali membubuhkan analisisnya.
Jadi, subyektivitas tak hanya ditampilkan dalam “aku eksklusif” yang masuk dalam cerita, tapi juga dalam berpendapat (baca: menafsirkan).
Ya, katakanlah atau sampaikanlah dengan cerita. Kita tengah hidup di masa ketika perubahan-perubahan besar berlangsung, bahkan tanpa aba-aba seperti halnya pandemi yang tengah membelit setiap aspek kehidupan ini. Bagaimana seorang manusia menghadapi kematian adalah topik yang “dalam” dan tak habis diceritakan dalam sekejap.
Kalau sudah begini, tidak ada kompromi lagi, judul atau lead harus atraktif menarik perhatian pembaca. Sebagaimana sebuah cerita, kekuatan feature tersimpan pada judul, lead, angle yang bagus, dan tentu saja plot.
Tentang plot, untuk memelihara alur cerita yang mengalir mulus diperlukan penguasaan masalah yang kuat dan logika yang baik. Bukankah paragraf yang satu dihubungkan dengan paragraf yang lain dengan garis kausalitas, garis sebab-akibat yang tak kelihatan.
Alur feature terpelihara seperti cerita pendek: setting dan waktunya bisa melompat-lompat, tapi hubungan kausalitas antara paragraf yang berdekatan terjalin sangat erat.
Terus terang saja, apa yang saya sampaikan di atas bukan satu-satunya jalan yang benar untuk menulis feature. Karena bagi saya pribadi, wartawan adalah mahasiswa seumur hidup. Ia terus belajar, tak pernah lulus. Karena begitu ia merasa lulus, berhentilah ia menjadi wartawan dan mulai menjadi pejabat.