Oleh Idrus F Shahab
Mungkin saya salah mungkin juga tidak. Tapi untuk mendefinikasikan profesi yang satu ini saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan: wartawan adalah sosok yang biasa menempuh jalan tidak biasa. Ia menemui orang-orang yang tidak mau ditemui; berbicara dengan mereka yang tidak mau diajak bicara; dan mengunjungi tempat yang justru dihindari orang.
Ya, wartawan menemui orang bermasalah. Wartawan bersikeras menemui saksi kunci pembunuhan yang sesungguhnya sedang bersembunyi di tempat yang dirahasiakan. Wartawan tentu saja akan berusaha memaksa seorang koruptor untuk bersaksi dan mengakui dosa-dosa korupsinya.
Pada satu kejadian, ketika semua orang panik bergegas keluar dari sebuah gedung yang terbakar, si wartawan sekonyong-konyong mengambil langkah sebaliknya: ia menyelinap masuk untuk mendapatkan berita yang eksklusif.
Wartawan adalah pilihan hidup. Mungkin masih banyak wartawan yang suka mengeluh: saya wartawan, tapi saya kan punya anak-istri yang musti hidup layak dan sehat. Dari sikap seperti ini — saya wartawan tapi…(silakan Anda isi sendiri sisanya) — lahirlah satu lapisan wartawan yang terbiasa menerima amplop dari narasumber. Satu perilaku destruktif bagi dunia kewartawanan yang sayang sekali dapat terus bertahan dari satu generasi ke generasi yang lain.
Apabila wartawan merupakan pilihan hidup, maka kalimat yang kerap meluncur dari mulutnya akan berbunyi: “justru karena saya wartawan, saya menanggung segala konsekuensi ini..” Dari sikap ini muncullah kecenderungan menolak amplop, bebas dari pengaruh kepentingan narasumber, dan kompetisi yang sehat untuk mendapatkan berita yang paling eksklusif.
Tentu saja, wartawan tidak harus miskin. Sebuah perusahaan pers yang baik seharusnya menyediakan gaji yang layak agar wartawannya tidak sampai terjangkit kebiasaan yang merusak itu.
Apa sih yang membuat seorang memilih jadi wartawan, sehingga ia harus menanggung risiko seperti di atas?
Harus diakui wartawan bukan pahlawan yang memiliki standar moral dan kegigihan memperjuangkan kebenaran di atas manusia rata-rata. Ia manusia biasa. Bisa takut menghadapi ancaman, dan juga lemah terhadap daya pukau harta, kekuasaan serta hasrat terhadap lawan jenisnya.
Wartawan adalah sejarawan dalam skala yang lebih kecil. Ia mencatat sejarah yang paling kontemporer negeri ini, kemudian memuat laporan hasil observasi dan penyelidikannya secara berkala di media audiovisual tempatnya berkerja.
Jelaslah, ia misalnya bukan cuma memberitakan rilis dari Istana atau instansi pemerintah lainnya. Tapi juga menyuarakan betapa negara ini tidak siap ketika harus menjalankan fungsinya sebagai welfare state.
Seperti halnya sejarawan, wartawan harus mempertanggungjawabkan setiap paragraf yang telah ia tuliskan. Yang membedakan sejarawan dan wartawan dalam hal ini adalah: jika sejarawan dapat mengandalkan riset literature sebelum sampai pada kesimpulan atau tesis terakhirnya, dalam mengumpulkan data seorang wartawan akan meletakkan fakta di atas segalanya.
Fakta itu sakral dan segenap usaha dikerahkan untuk memperoleh dokumen tertulis itu sebelum ia menyampaikan temuannya kepada audiens. Dokumen tertulis adalah fakta tertinggi.
Di bawah dokumen tertulis terdapat keterangan para saksi yang pantas dipercaya. Sebagaiamana layaknya seorang perawi hadits dulu, sang wartawan harus bisa memastikan bahwa sumbernya atau saksinya seseorang yang tidak akan membuat kesaksian palsu.
Sebagai “perawi hadits,” ia harus terbiasa menempuh perjalanan panjang verifikasi sebelum menyebarkan berita yang ditulisnya. Termasuk memenuhi syarat matan dan sanadnya.
Dalam tradisi penulisan hadits, sanad adalah rangkaian periwayat yang menyampaikan hadits. Sedangkan matan adalah isi atau pesan yang terkandung dalam hadis yang dimaksud.
Wartawan memiliki jiwa seorang skeptis yang meragukan panca inderanya dan mencoba mendapatkan kebenaran yang bersembunyi di balik penampilan fisik — yang selalu bisa dipermak sesuai keinginan pihak yang berkepentingan. Ia tak mudah termakan oleh teori konspirasi, namun ia juga tak mudah tertipu pada apa yang tampak di hadapannya.
Dalam situasi yang tak menentu ini, saya yakin masih ada media yang mempertahankan sikap skeptis dalam memperlakukan sebuah berita. Media ini memiliki tendensi menentang siapa saja yang menunjukan kecenderungan memonopoli kebenaran menurut versi –dan kepentingan– sendiri.
Di masa Orde Baru, ia meragukan kebenaran yang dimonopoli oleh pemerintah Soeharto. Dan sekarang, mudah-mudahan ia masih sering meragukan kebenaran “subyektif” tersebut –baik di luar maupun di dalam pemerintahan.
Mungkin banyak yang mengartikan ini sebagai gejala sekularisme, namun sebagai orang yang tidak menihilkan keberadaan dunia di luar fisik ini, saya merasa yakin inilah skeptisisme. Dari sinilah jurnalisme bergerak menawarkan alternatif yang menyehatkan demokrasi kita. Amin.