Oleh Eddy Herwanto
Sepandai-pandai Djoko Tjandra berkelit, ia akhirnya tertangkap di Kuala Lumpur, Malaysia. Berkat kerjasama dengan Polis Diraja Malaysia, 30 Juli 2020 malam Polri bisa menerbangkan Djoko, buronan kasus cessie (hak tagih) Bank Bali selama 11 tahun lebih ke Jakarta.
Kebebasan Djoko rupanya hanya bertahan kurang dari dua pekan setelah dia mengobok-obok institusi Polri menggunakan jabatan sebagai konsultan untuk keluar masuk Indonesia-Malaysia melalui Pontianak antara Juni-pertengahan Juli.
Segera setelah ditangkap, Kejaksaan Agung langsung mengeksekusi Djoko ke penjara untuk menjalani putusan MA: dikurung 2 tahun, harus membayar denda Rp15 juta, kemudian uangnya yang berada di rekening penampungan di Bank Permata sebesar Rp546,468 miliar dirampas.
Semula uang hasil dari pengalihan hak tagih (cessie) atas piutang di sejumlah bank itu berada di rekening penampungan (escrow account) Bank Bali. Namun setelah Bank Bali sebagai bank take over dilebur dengan beberapa bank menjadi Bank Permata, uang itu beralih ke rekening penampungan di Bank Permata.
Kasus hukum cessie Bank Bali itu menjadi berlarut karena Djoko yang digelari “Joker” sehari sebelum MA mengeluarkan putusan Djoko bersalah pada 11 Juni 2009, ia kabur meninggalkan Indonesia.
Kasus cessie Bank Bali bermula saat Rudy Ramli yang mewarisi kepemilikan Bank Bali dari pendirinya, sang ayah, Djaja Ramli sulit menagih piutang Bank Bali di BDNI, Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara yang dilikuidasi sebesar Rp3 triliun.
Maklum ketiga bank itu sudah masuk ke ruang ICU BPPN (Badan Penyehatan Pernbankan Nasional) akibat tersapu krisis moneter 1997-98.
Merasa sulit menagih, Rudy kemudian meminta jasa baik PT Era Giat Prima (Direktur Utama Setyo Novanto; dengan direktur Djoko Soegiarto Tjandra) dengan membuat perjanjian 11 Januari 1999 untuk mengalihkan hak tagih (cessie) tadi ke EGP; dan sebagai upah EGP dijanjikan mendapatkan Rp546,468 miliar.
Dari tagihan Bank Bali sebesar Rp3 triliun yang bisa diverifikasi dengan dokumen pendukung lengkap oleh BPPN ternyata hanya Rp905 miliar.
Rudy Ramli marah karena sebagai pemilik dana, ia pada akhirnya hanya memperoleh Rp359 miliar. Bagian terbesar tagihan yakni Rp546,468 miliar akan masuk kantung EGP.
Merasa tak adil, Rudy lalu memperkarakan, sebaliknya EGP juga melakukan gugatan perdata ke BPPN karena Glen Jusuf, Kepala BPPN, membatalkan perjanjian cessie yang mengakibatkan EGP tidak bisa mengambil upahnya; sedang dalam perkara pidana cessie Pende Lubis, Wakil Kepala BPPN, harus masuk penjara.
Kemudian Gubernur BI Syahril Sabiri, dan Djoko Tjandra yang semula dijatuhi hukuman pidana diputus bebas MA.
Pada 29 Juni 2006, uang Rp546,468 miliar itu sudah dirampas dan dieksekusi ke rekening Kementrian Keuangan; dan kini tinggal Djoko Tjandra merenungi nasibnya di penjara. Kasus hukum berikut juga sudah menunggu: hasil kerjanya mengobok-obok lembaga Polri, antara lain, pembuatan surat jalan aspal.
Bayangkan Djoko bisa melenggang mengurus surat jalan sebagai konsultan, dan beralamat di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Mabes Polri. Ia bahkan terbang dari Jakarta ke Pontianak 19 Juni 2020 bersama Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri – disertai penasihat hukumnya, Anita Kolopaking.
Plesiran itu kini jadi sejarah. Brigjen Prasetijo Utomo pada 27 Juli ditetapkan sebagai tersangka. Tiga hari kemudian, setelah dimintai keterangan beberapa kali, Anita Kolopaking juga ditetapkan sebagai tersangka. Jaksa Pinangki Sirna Milasari yang diduga bersama Djoko dan Anita di Kuala Lumpur tahun lalu juga dicopot dari jabatannya.
Belakangan diketahui, Brigjen Prasetyo sebelumnya juga mengeluarkan surat jalan 3 Juni untuk rute dari Pontianak-Jakarta (6-9 Juni 2020). Surat Jalan 18 Juni untuk perjalanan Jakarta – Pontianak (19-22 Juni 2020) (Kompas 29 Juli 2020).
Pada perjalanan pertama itu (terbang dari Pontianak ke Jakarta), 8 Juni 2020, Djoko bisa membuat KTP-elektronik di Kelurahan Grogol Selatan, selesai kurang dari dua jam.
Berbekal KTP-el yang masih hangat itu, pada hari yang sama, Djoko meluncur ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mendaftarkan Peninjauan Kembali atas putusan perkara cessie. Sebelum terbang kembali ke Pontianak, pada 22 Juni, Djoko membuat paspor berbekal KTP-el baru.
Selesai membuat paspor, pada 22 Juni itu, Djoko dan Brigjen Prasetijo antara lain ditemani Anita Kolopaking, pengacara yang mengurus Peninjauan Kembali (PK) perkara Djoko di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terbang kembali ke Pontianak.
Foto Brigjen Presetijo, Anita (yang memegang kamera smartphone untuk berswafoto), dan Djoko berkaca mata gelap bertopi menjelang naik pesawat carter kecil, beredar luas di media sosial WhattsApp. Juga fotokopi manifest para penumpang pesawat carter disertakan oleh sebuah situs online Fajar Indonesia Network.
Publik kemudian juga geger karena kemudian beredar foto kopi hasil pemeriksaan kesehatan negatif Covid-19 dari RS Polri. Tidak ingin lebih dipermalukan lagi pada 15 Juli 2020 Brigjen Prasetijo Utomo dipecat dari jabatannya untuk menjalani pemeriksaan.
Dua hari kemudian, pada 17 Juli 2020, kepala Polri mencopot Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dari jabatan kepala Divisi Hubungan Internasional Polri; serta mencopot Brigadir Jenderal Nugroho Wibowo sebagai sekretaris NCB Interpol Indonesia. Keduanya dicopot karena melanggar kode etik Polri terkait pemberitahuan penghapusan red notice Joko Tjandra.
Pada 5 Mei 2020, Brigjen Nugroho diketahui mengirim surat ke Dirjen Imigrasi memberitahukan penghapusan red notice Djoko Tjandra. Padahal sebelumnya Kejaksaan Agung sudah meminta kepala Divisi Hubungan Internasional Polri agar mempertahankan red notice untuk Djoko Tjandra itu.
Hebat memang SI Joker. Selama menjalani hukuman, Djoko pasti akan diminta keterangannya sehubungan dengan plesiran dan penghapusan red notice Interpol Indonesia. Ia bisa menjadi saksi, bisa pula menjadi dader, pelaku utama yang mengotaki terjadinya kejatuhan sejumlah perwira tinggi Polri. Atau sekadar midle dader.
Jika saja Djoko bisa tenang tenang mengawal bisnis PT Mulia Industrindo (MLIA) yang didirikannya bersama keluarga mengembangkan industri kaca lembaran dan properti, hokinya pasti lebih mengkilat.
Kebetulan, memasuki 2020 kinerja MLIA kurang bagus. Semester pertama rugi hampir Rp 47 per saham, padahal sebelumnya untung Rp 59. Harga sahamnya juga terus merosot dari puncak Rp1.525 (2 Agustus 2019) menjadi Rp555 (30 Juli 2020). Saham merosot, artinya kekayaan potfolio pemegang sahamnya juga melorot. Hoki rupanya sedang menjauhi Djoko Tjandra. Sepandai pandai Djoko berkelit akhirnya masuk bui juga.
.