Senin, Desember 9, 2024

Bail out dengan tambahan utang

Must read

Oleh Eddy Herwanto

Ibukota lengang. Lintasan sepi dari kendaraan bermotor. Mal, toko kelontong, dan pasar tradisional kehilangan kumandange (keriuhan). Dari hari ke hari aktivitas warga lebih banyak dilakukan di rumah: belajar, bekerja, atau mencari hiburan secara daring. Karena aktivitas sosial warga dibatasi, rantai produksi dan permintaan barang dan jasa jadi macet.

Selama tiga bulan diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di banyak kota – sejak April hingga Juni 2020 — ekonomi Indonesia benar-benar terkulai. Triwulan II itu, terjadi kontraksi atau minus 5,32%.

Penurunan pertumbuhan ekonomi itu sudah diperkirakan. Karenanya mengantisipasi merosotnya daya beli masyarakat, dan menjaga agar suplai dan permintaan barang dan jasa tidak jatuh terlalu dalam, belanja dari APBN dinaikkan jauh melampaui penerimaan sehingga defisit diperkirakan mencapai 6,34% dari PDB. Target semula 5,07%. Perubahan pelebaran defisit itu tertuang dalam Peraturan Presiden No.54 tahun 2020 sebagai payung hukum, melaksanakan Perpu No.1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

Setelah kebijakan kontra siklus APBN itu mendapat persetujuan DPR, sejumlah program pemulihan ekonomi nasional diluncurkan. Anggaran sebesar Rp695,2 triliun disiapkan. Bantuan tunai langsung Rp.600 ribu/bulan diberikan untuk keluarga miskin. Pelanggan listrik 450 watt yang berjumlah 24 juta digratiskan (April-Juni), dan 7,2 juta pelanggan 900 watt mendapat diskon 50%. Juli kemudian program itu diperpanjang hingga September 2020.

Bantuan nontunai, dalam bentuk pembebasan Pajak Penghasilan, juga diberikan kepada jutaan UMKM. Dengan skim bantuan tunai dan nontunai itu, uang yang berada di tangan warga miskin dan hampir miskin diharapkan tetap bisa menjadi pelumas kegiatan ekonomi. Maklum, lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia mayoritas (hampir 60%) ditopang konsumsi rumah tangga. Kontraksi di triwulan II 2020 terjadi karena konsumsi rumah tangga minus 5,51%. Padahal triwulan II 2019 tumbuh 5,18%.

Usaha keras mencegah penyebaran pandemi Covid-19 (Corona Virus Desease) dengan membatasi pergerakan warga benar benar memukul hampir seluruh sektor ekonomi, tradisional maupun modern, merasakan penurunan permintaan dan suplai barang dan jasa. Pendapatan dari penjualan eceran dan grosir PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI), misalnya, terjun dari Rp9,315 triliun (Juni 2019) ke Rp6,420 triliun (Juni 2020). MAPI rugi Rp519 miliar, padahal sebelumnya untung Rp602,3 miliar, pada periode yang sama. Arus kasnya juga turun dari Rp9,836 triliun ke Rp6,879 triliun.

Photo by Anna Shvets from Pexels

Gerai di bawah MAPI seperti Starbucks, Zara, Marks&Spencer, Massimo Dutti, Mango, Cotton On, Debenhams, atau Seibu, yang berada di sejumlah mall harus tutup selama PSBB. Meskipun secara berangsur sejak awal Juli mall di sejumlah kota mulai dilonggarkan, bisnisnya tetap belum ramai. Harga saham MAPI otomatis tertekan pada 5 Agustus 2020 ditutup Rp665 – masih bagus dibandingkan 24 Maret yang anjlok sampai Rp444 di awal pandemi Covid-19.

Padahal akhir Oktober 2019 harga saham MAPI sempat Rp.1.135. Kenaikan ini terjadi beberapa saat laporan keuangan triwulan III (September 2019) diumumkan, perusahaan mengantungi laba berjalan Rp817 miliar naik dari sebelumnya yang Rp598 miliar. Namun sejak Presiden Djoko Widodo pada 2 Maret 2020 mengumumkan 2 warga asal Depok positif Covid-19, kinerjanya mulai meredup, dan terpukul setelah PSBB.

Perbankan juga sami mawon. Menurut Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), permintaan kredit kendaraan bermotor ke BCA turun dari Rp2,5 triliun sampai Rp3 triliun sebelum wabah, menjadi antara Rp200 miliar sampai Rp400 miliar saja setiap bulannya. Penurunan sangat tajam itu dikemukakannya dalam wawancara virtual dengan televisi Berita Satu 22 Juli 2020.

Situasi suram itu diperkirakan akan berlangsung hingga akhir tahun, sehingga bisa diduga penurunan kredit akan menurunkan pendapatan bunga, dan mengganggu arus kas perbankan secara umum. Penerapan PSBB yang dimulai Jakarta 10 April 2020 – kemudian 22 April diikuti Bandung Raya, Jawa Tengah, Timur, dan Banten – terasa pahit buat sektor perbankan dan industri otomotif.

Turunnya permintaan kredit kendaraan bermotor itu, antara lain, yang ikut menyebabkan penyaluran kredit BCA turun (dari Rp586,9 triliun pada 31 Desember 2019 menjadi Rp580,99 pada 30 Juni 2020) sehingga laba bersih pada periode berjalan (turun sedikit dari Rp12,862 triliun menjadi Rp12,244 triliun). Sekalipun penyaluran kreditnya turun secara moderat, pendapatan bunga bersihnya pada periode itu naik dari Rp24,631 triliun ke angka Rp27,249 triliun.

Maklum BCA masih bisa memperoleh NIM (net interest marjin) lumayan (6,24% Juni 2019 ke 5,96% Juni 2020), jauh di atas angka NIM nasional yang 4,5% (Mei 2020, Laporan OJK). NIM merupakan selisih harga dana yang dijual (kredit kepada nasabah) dikurangi biaya dana (yang antara lain berasal dari deposito, tabungan, surat utang, dan rekening giro). Makin tinggi NIM, maka makin besar potensi laba bisa diperoleh.

Tanda-tanda pelemahan permintaan sebenarnya sudah terasa sejak triwulan I 2020 hingga produksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) turun 8%. Lalu turun lagi 50% di triwulan II secara tahunan. Beruntung, penurunan itu bisa dikompensasi dengan pasar ekspor. Tahun lalu TMMIN mengekspor 190.000 unit ke lebih 80 negara.

“Tahun ini kalau bisa 50% saja sudah bagus,” kata Bob Azam, Direktur Administrasi, Korporasi, dan Hubungan Eksternal TMMIN (koran Kompas 4 Juni 2020).

Industri otomotif memperkirakan sampai akhir tahun, penjualan motor roda dua akan berada pada angka 3,5 juta – 3,9 juta unit atau turun 40% sampai 45% dari realisasi penjualan tahun 2019 yang mencapai 6,4 juta unit. Akibatnya pendapatan bersih raksasa otomotif PT Astra Internasional turun dari Rp116,2 triliun (Juni 2019) ke Rp89,8 triliun (Juni 2020). Padahal otomotif merupakan penyumbang terbesar pendapatan.

Mujur Astra memetik keuntungan dari divestasi sahamnya di Bank Permata sebesar Rp5,9 triliun, sehingga pada Juni 2020 laba periode berjalannya bisa Rp13,1 triliun. Naik sedikit dibandingkan Juni 2019 yang Rp12,3 triliun. Namun jika hasil penjualan Bank Permata dikeluarkan, laba dari bisnisnya anjlok ke Rp7,2 triliun

Pandemi Covid-19 juga menohok industri jasa transportasi (darat, udara, dan laut), hotel berikut food and beverage, industri makanan dan minuman, restoran dan kafe, serta industri pariwisata. Blue Bird (ticker: BIRD) misalnya sampai Juni 2020, rugi hampir Rp94 miliar, padahal Juni 2019 masih laba Rp158,3 miliar. Pembatasan pergerakan warga keluar rumah menyebabkan pendapatannya pada periode itu turun jadi Rp1.151 triliun dari posisi sebelumnya yang Rp1.915 triliun.

Harga saham BIRD, setelah laporan keuangan Juni keluar, langsung tenggelam lagi hingga Rp990 (5 Agustus 2020). Nasib serupa juga dihadapi saham Garuda (GIAA) anjlok jadi Rp240 dibandingkan awal Maret yang sempat Rp400. Penurunan tajam saham Garuda itu terjadi setelah laporan keuangan triwulan II dikeluarkan. Penghasilannya turun dari US$ 2.193 juta (Juni 2019) ke US$ 917,2 juta (Juni 2020). Garuda rugi US$ 728 juta dari sebelumnya untung US$ 79 juta.

Photo by Ketut Subiyanto from Pexels

Arus kas Garuda juga tertekan hebat. Jika tidak disuntik modal kerja bisa jadi pesawatnya tidak akan terbang mengingat sebagian besar uang kasnya harus dikeluarkan untuk mencicil utang. Pemerintah kemudian memberikan dana talangan Rp8,5 triliun dalam skim Mandatory Convertible Bonds, MCB (obligasi yang bisa dikonversi jadi saham/ekuitas). Jika bail out tidak dilakukan dengan MCB, Garuda bisa menutup usahanya.

Pada triwulan III dan IV, melalui Program Pemulihan Ekonomi (PEN) dengan biaya Rp695,2 triliun itu, daya beli masyarakat, dan kinerja pelbagai usaha diharapkan bisa pulih kembali. Tapi mesin birokrasi terasa seret dalam menyalurkan anggaran PEN melalui pelbagai program. Untuk kedua kalinya Presiden Joko Widodo mengeluhkan sampai pekan pertama Agustus penyerapan anggaran baru Rp141 triliun (20%), naik sedikit dari 27 Juli 2020 yang penyerapannya Rp135 triliun (19%).

Sampai akhir Juli penyerapan terbesar terjadi di Program Perlindungan Sosial yang mencapai Rp78 triliun (per 22 Juli 2020) dari anggaran Rp203,91 triliun. Program ini mencakup, antara lain, Bansos Tunai, Kartu Sembako, BLT Dana Desa, Kartu PraKerja, dan Listrik Gratis/Berdiskon. Sampai tanggal itu, bantuan pembiayaan korporasi masih nol. Untuk perlindungan kesehatan terserap kurang dari Rp7 triliun dari anggaran Rp87,55 triliun. Lambannya penyerapan di saat roda ekonomi triwulan III tengah berjalan cukup mencemaskan

Melihat situasi itu, pemerintah menambah anggaran PEN yang Rp695,2 triliun dengan Rp203 triliun lagi. Di dalam program ini, pekerja swasta dengan take home pay di bawah Rp5 juta/bulan (sekitar 13 juta orang) mendapat dana tunai Rp600.000/bulan hingga Desember 2020. Anggarannya disediakan Rp31,2 triliun. Pelaku UMKM dan usaha mikro (12 juta orang) dapat tambahan bantuan Rp30 triliun, menambah anggaran yang sebelumnya Rp123,46 triliun.

Kemudian tambahan bantuan beras seberat 15 kg untuk 10 juta warga PKH (Program Keluarga Harapan) dengan anggaran Rp4,6 triliun. Bansos tunai ditambah Rp500.000/bulan, anggaran Rp5 triliun. Skim pinjaman tanpa bunga kepada setiap rumah tangga juga tengah disiapkan. Dengan beragam program yang dilakukan untuk memulihkan daya beli rakyat Indonesia itu, belanja rumah tangga diharapkan akan meningkat. Konsumsi masyarakat inilah yang dipercaya menjadi lokomotif pertumbuhan.

Tapi 52 juta kelas menengah, dengan pengeluaran Rp1,2 juta – Rp6 juta/bulan (Laporan Bank Dunia Januari 2020), belum “diinjeksi”, sehingga mereka mau lebih banyak berbelanja. Data menunjukkan, bagian terbesar dari mereka masih menahan diri dengan lebih banyak menabung, menunggu perkembangan membaiknya perekonomian.

Mereka sebenarnya bisa didorong berbelanja di pasar modern atau retail modern (coffee shop berjejaring lokal, es teler, atau J.Co), misalnya, untuk setiap pembelian 100, mereka hanya membayar 50. Retail modern kemudian menagih kekurangan yang 50 ke APBN

Dari sisi suplai atau produsen barang dan jasa, BUMN telah diinjeksi dengan dana Rp152,15 triliun melalui skim penambahan Penyertaan Modal Negara, dana talangan dengan skim MCB (Garuda), termasuk penempatan dana Rp30 triliun di bank BUMN, pembayaran utang pemerintah atas subsidi energi dan listrik, serta transportasi kereta api. Penerimaan APBD yang merosot karena PSBB juga mendapat pinjaman: DKI Rp12,5 triliun, Jawa Barat Rp.4 trilyun bunganya cuma 0,85%. Bank Pembangunan Daerah mendapat Rp11,5 trilliun dari rencana Rp20 triliun.

Bail out besar-besaran atas korporasi, pemerintah daerah, dan daya beli rakyat Indonesia itu diperlukan agar pada triwulan III, ekonomi Indonesia mulai bangkit, menghindari jeratan resesi. Perdagangan luar negeri, terutama ekspor minyak kelapa sawit ke Cina yang ekonominya mulai bangkit, efeknya diharapkan menetes kepada para petani kelapa sawit. Ekspor produk manufaktur jelas masih lunglai mengingat negara tujuan ekspor banyak yang terjerumus ke jurang resesi.

Di triwulan III, ibukota mulai riuh, truk kontainer sudah membuat macet jalan tol JORR, kantor dan sejumlah mal buka, kendati sebagian kantor menjadi cluster baru penyebaran Covid-19 – di masa transisi. Konsumsi masyarakat yang pemberani melawan wabah akan mendorong Indonesia lolos dari kesulitan ekonomi. Inilah bail out terbesar (krismon 1997 dengan bail out perbankan Rp675 triliun) perekonomian RI sepanjang sejarah, yang sangat kompleks, dan mendebarkan, dengan utang, menjelang ulang tahun RI ke 75.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article