Oleh Farid Gaban
Bulan Juni lalu Presiden Joko Widodo membuka kawasan industri terpadu di Batang, Jawa Tengah. Kawasan industri itu diharapkan dapat menarik investasi asing yang pada gilirannya diharapkan bisa memperluas lapangan kerja. Ada 100 lebih perusahaan Amerika yang kini berniat hengkang dari Tiongkok akibat perseteruan politik. Indonesia, kata Jokowi, harus memanfaatkan peluang itu. “Jangan sampai kecolongan lagi.”
Relokasi industri AS sudah terjadi dalam beberapa tahun. Tapi, dari sekitar 30 perusahaan yang keluar dari Tiongkok, tak satupun masuk Indonesia, melainkan ke negeri ASEAN lain seperti Vietnam, Kamboja dan Thailand.
Jangan sampai kecolongan lagi. “Investor harus dimudahkan,” kata Jokowi, “dan kalau perlu harga lahan untuk industri harus didiskon. Kalau perlu separo harga Vietnam.”
Sesuai permintaan presiden, pemerintah kini menyediakan 4.500 ha lahan di situ dengan harga murah dan investor “tidak perlu mengurus apa-apa.”
Luhut Panjaitan, yang oleh Jokowi ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, juga getol mendorong kemudahan berinvestasi bahkan di musim pandemi. Dia mengglorifikasi sukses ekonomi Tiongkok, salah satu investor terbesar sekarang.
Karpet merah digelar tak hanya buat investor Tiongkok. Presiden Jokowi belum lama lalu menempatkan Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohamed bin Zayed (Arab), mantan Perdana Menteri Tony Blair (Inggris) dan CEO Softbank Masayoshi Son (Jepang) menjadi dewan pengarah pembangunan ibukota baru Indonesia, demi menarik investasi internasional.
Ibukota negeri, salah satu simbol martabat bangsa, digadaikan.
Obsesi Pemerintah Jokowi terhadap investasi sudah nampak pada periode pertama. Dalam empat tahun pemerintahannya, Jokowi menerbitkan 16 paket deregulasi dan liberalisasi ekonomi. Salah satunya membolehkan investasi asing sampai 100% untuk usaha eceran (retail) dan usaha-usaha lain yang selama ini diprioritaskan untuk usaha rakyat (UMKM).
Intinya: pemerintah mempermudah investasi dengan menurunkan standar proteksi terhadap usaha kecil lokal, perlindungan alam, serta kesejahteraan buruh.
Tak cukup dengan itu. Pada periode kedua, Jokowi agresif mendorong penyederhanaan aturan dan prasyarat untuk investasi, lewat Omnibus Law, yang pada dasarnya mendorong liberalisasi ekonomi lebih jauh.
Pandemi dan protes luas bahkan tidak menyurutkan pemerintah dan DPR mempercepat pembahasannya.
Tapi, betulkah investasi demikian penting sehingga kita layak mengorbankan banyak hal, termasuk martabat?
Bertentangan dengan propaganda sejumlah ekonom, investasi asing ke sebuah negara bukan faktor terpenting dalam membangun ekonomi, apalagi dalam mencapai kesejahteraan menyeluruh bagi masyarakat.
“Mantra tentang pentingnya investasi asing disandarkan pada sejumlah mitos,” kata Dierk Herzer, ekonom dari Goethe University, Jerman. Herzer cs mengkaji data 28 negara berkembang yang menonjol menerima investasi asing, termasuk Indonesia.
Alih-alih memberi manfaat, menurut Herzer, investasi asing justru memicu kerusakan serius dalam ekonomi negeri penerima: eksploitasi sumberdaya alam murah; menjadikan warga negara sekadar pasar alias konsumen; serta membunuh perusahaan-perusahaan domestik. (In search of FDI-led growth in developing countries, 2006).
Kajian itu, di sisi lain, mengingatkan kita akan pentingnya membangun kemandirian ekonomi. Berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) ala Bung Karno.
Tidak ada makan siang gratis, kata orang. Investasi itu membutuhkan prasyarat dan konsekuensi. Kita tidak sendirian dalam memikat investasi. Dalam perlombaan yang kian ketat, kita potensial untuk terus-menerus meliberalisasi ekonomi. Makin liberal ekonomi sebuah negeri, makin kecil kedaulatan negara dan bangsa dalam merumuskan apa yang baik untuk dirinya.
Itulah yang sudah terjadi: tak cukup hanya dengan 16 paket liberalisasi, kini Omnibus Law digeber habis.
Saya yakin, Bung Karno akan menolak Omnibus Law jika beliau masih hidup. Beliau juga akan menolak kecenderungan menghamba kepada bantuan dan investasi asing. “Go to hell with your aids,” kata Bung Karno dengan lantang bertahun-tahun lalu.
Setelah Bung Karno turun, Indonesia banyak menerima bantuan (utang) asing, khususnya dari Amerika dan Jepang. Utang itu mensyaratkan antara lain agar Indonesia membuka pasar serta melakukan liberalisasi ekonomi, mempermudah investasi asing.
Indonesia adalah salah satu eksperimen neoliberalisme paling awal dan paling sukses di dunia, tempat utang/bantuan, investasi bisnis dan otoritarianisme (militerisme) berjalan seiring.
Sejak awal Orde Baru investasi perusahaan multi-nasional berdatangan (tambang Freeport, otomotif Toyota, telekomunikasi AT&T dan Alcatel, pertanian Monsanto). Liberalisasi ekonomi dan investasi berlanjut hingga kini, dan meluas ke banyak sektor termasuk batubara, nikel dan perkebunan sawit. Masih seperti zaman awal Orde Baru, investasi bisnis itu ditopang represi polisi dan tentara. Sampai sekarang.
Alih-alih mendatangkan kesejahteraan, kehadiran multi-nasional memperkecil peluang kita merumuskan kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial serta kelestarian alam: konflik dan sengketa lahan meluas, penindasan terhadap hak asasi manusia merajalela serta mabuk otomotif yang boros energi dan ekonomi biaya tinggi.
Janji bahwa investasi akan mendorong transfer pengetahuan dan ketrampilan cuma fatamorgana. Setelah bertahun-tahun kita tetap tidak mandiri dan berdikari seperti dipikirkan Bung Karno. Bahkan pangan pun kita impor.
Hal-hal seperti itulah yang harus kita renungkan ketika memikat investasi. Bukan berarti kita harus serta-merta anti-bantuan dan investasi asing, tapi kita harus menimbang: apakah investasi itu berkualitas? Apakah benar itu akan menciptakan kesejahteraan secara jangka panjang dan berkelanjutan?
Apakah itu tidak sebaliknya justru memicu ketimpangan, mengabaikan keadilan sosial, merusak alam dan bahkan merendahkan martabat kita sebagai bangsa?
Ironis sekali jika Jokowi dan Puan Maharani (PDI Perjuangan), yang katanya mewarisi pikiran dan semangat Bung Karno, justru getol mendorong dan merayakan Omnibus Law.