Oleh Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi
Bapak Presiden Joko Widodo yang terhormat,
Sebagaimana yang bapak alami sendiri, melalui Pemilu rakyat dalam jumlah mayoritas telah memilih bapak sebagai Presiden lengkap dengan program yang ditawarkan dalam kampanye. Namun dalam prakteknya selaku Presiden ketika hendak menggunakan kekuasaan yang sah untuk menjalankan janji politik (kontrak sosial) tersebut, bukankah bapak justru terkendala oleh aturan main, di samping kendala realitas lainnya.
Di sanalah maka waktu, tenaga, pikiran dan biaya yang begitu habis kita gunakan untuk menyelesaikan “USREK” internal secara berkepanjangan tak terkecuali yang bersumber dari kebhinekaan bangsa itu sendiri, ditengah persaingan global yang semakin ketat.
Untuk itu perkenankan saya mempertelakan secara singkat kendala realitas yang selama ini membelenggu kita semua, sebagai pijakan bagi segenap lapisan masyarakat dalam merumuskan solusi agar NKRI kedepan secara obyektif rasional bisa memberi juaminan untuk menjadi wadah bersama yang mampu memberi manfaat bagi segenap anak bangsa.
Agar kondisi yang tergelar belakangan ini, di mana untuk dan atas nama demokrasi seolah kita bebas untuk saling menebar kebencian, menghujat, memfitnah dan membikin politik gaduh bisa diakhiri.
Dan praktek buruk masa lalu dimana negara malah sah memarjinalkan, mendholimi dan mengerahkan alat kekerasan dalam hal ini TNI untuk menghadapai rakyat tidak bersenjata sehingga jatuh korban serta biaya politik yang begitu besar, yang kesemuanya di atas namakan kepentingan nasional, masa depan bangsa dan juga agama, tidak terjadi lagi.
Kendala realitas tata negara yang belum berwujud sistem (a-sistem)
Berbeda dengan UUD 1945 yang asli, dari struktur kelembagaan kenegaraan pada UUD Hasil 4 kali amandemen sudah tersusun sebagaimana layaknya sebuah demokrasi. Keberadaan Partai dan Pemilu sebagai syarat utama demokrasi juga sudah diatur. Lebih dari itu didalamnya juga sudah mengatur keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang diterapkan oleh negara-negara maju.
Namun demikian, karena perancangnya tidak mempertimbangkan korelasi sesama lembaga demokrasi yang ada didalamnya, maka akhirnya arsitektur kenegaraan yang terwujud membikin peran dan kewenangan kelembagaan demokrasi yang ada justru saling menihilkan, menjegal dan bahkan saling bertabrakan satu dengan lainnya.
Hal ini dikarenakan sejumlah norma dasar demokrasi sebagai kebenaran yang telah teruji secara keilmuan maupun dalam praktek oleh banyak negara penganut demokrasi, begitu saja diabaikan.
Norma dasar “pemisahan atau pemilahan antara negara dan pemerintahan” umpamanya, dipastikan dalam tata negara kita belum tergambar dengan tegas.
Padahal dengan norma dasar tersebut akan lahir jaminan kelestarian eksistensi sebuah negara, karena kelemahan atau kegagalan Pemerintah tidak sama dengan kelemahan atau kegagalan negara. Di sanalah maka semua negara yang tidak menerapkan norma dasar tersebut, tak terkecuali sejumlah kerajaan di Nusantara sendiri hukumnya pasti akan punah.
Adapun pengaturan norma dasar tersebut untuk sistem presidensial berupa pemilahan kekuasaan presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara dan presiden sebagai kepala pemerintah. Sedang dalam sistem parlementer, berupa pemisahan lembaga kepala negara dengan sebutan raja, lord dan juga sebutan lainnya dengan kepala pemerintah dengan sebutan perdana menteri.
Dan lebih parah lagi ketika kedudukan presiden sebagai kepala negara bukanlah sebagai lembaga negara tertinggi dan juga tanpa dibarengi hak istimewa untuk mengatasi bahaya kemanusiaan dan kedaulatan negara.
Lantas bagaimana mungkin bangsa ini siapapun presidennya tidak tergagap-gagap dalam menghadapi wabah Covid-19, kalau selaku kepala negara tidak dilengkapi hak dan kewenangan istimewa untuk mengerahkan kekuatan nasional secara sah untuk kedua urusan tersebut.
Dan karena moral sebagian elite bangsa terlanjur rusak berat, saat bangsa menghadapai “pertaruhan antara hidup dan mati” yang terjadi terlalu banyak elite dan kaum terpelajar dan bahkan agamawan bersinergi dengan mereka yang bermasalah justru memanfaatkan untuk kepentingan politik dan ambisi masing-masing tak peduli dengan menjatuhkan presiden yang sah sekalipun.
Dan apalagi untuk menghadapi ancaman nyata angkatan perang negara lain dan atau kekuatan rakyat bersenjata yang hendak memisahkan diri dari NKRI, terus jaminan keselamatan dan eksistensi negara darimana kalau untuk pengerahan TNI untuk maksud tersebut diperlukan persetujuan DPR.
Lantas bagaimana nasib bangsa ini kalau persetujuan DPR termaksud gagal diperoleh Presiden, bukankah ini norma kenegaraan yang fatal. Dan hal yang sejenis juga dalam penyusunan konsep politik lembaga perwakilan.
DPR bukan wakil rakyat
Dengan diabaikannya norma dasar “chek and balance” dalam tata kenegaraan yang kita anut maka yang terjadi sesaat setelah dilantik keberadaan anggota DPR kita berubah menjadi wakil partai, sama sekali bukan wakil rakyat sebagaimana yang seharusnya dalam sitem presidensial.
Akhirnya mustahil anggota DPR kita mau dan atau berani memperjuangkan aspirasi pemilihnya yang tidak sejalan dan apalagi yang bertentangan dengan kepentingan partai. Apalagi tidak ada sanksi manakala mereka mengabaikan janji politik yang disampaikan saat kampanye.
Akhirnya terjadilah praktek demokrasi lucu-lucuan, di mana baru saja selesai pemilu tapi unjuk rasa digelar dibanyak tempat, lantas untuk apa ada anggota DPR yang dipilih melalui pemilu dengan biaya besar.
Bukankah anggota DPR dalam sistem presidensial di samping sebagai pembuat undang-undang mempunyai peran untuk mewakili rakyat dalam memperjuangan kepentingan didaerah pemilihannya masing-masing.
Dari sanalah maka dalam sistem presidensial dalam pemilu yang coblos rakyat adalah gambar orang, artinya yang dipercaya rakyat adalah orang. Dan dalam sistem parlementer anggota DPR adalah wakil partai, karena yang dicoblos rakyat saat pemilu adalah gambar partai, artinya dipercaya rakyat adalah partai.
Memang dalam negara demokrasi unjuk rasa adalah HAM, tapi hal tersebut terjadi setelah lembaga perwakilan yang ada telah gagal atau pasti gagal dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.
Threshold tanpa akal sehat
Model perwakilan kita menjadi lebih parah ketika dalam sistem presidensial tapi diberlakukan norma parlementary threshold yaitu batas minimal perolehan kursi di DPR agar Partai mempunyai wakil pada setiap alat kelengkapan DPR layaknya dalam sistem parlementer.
Akhirnya hak pilih rakyat yang diberikan kepada calon anggota DPR berapapun jumlahnya menjadi hilang, manakala perolehan suara partai pengusungnya tidak memenuhi jumlah yang ditentukan dalam parlemantary threshold. Lebih lucu lagi ketika perolehan suara tersebut, kemudian dialihkan kepada caleg lainnya.
Bukankah ini sebuah pelanggaran kedaulatan rakyat yang mendasar dan dijamin dalam UUD tapi sah karena diatur dalam UU.
Begitu pula tentang presidensial threshold yaitu persyaratan jumlah minimal perolehan suara bagi partai atau gabungan partai untuk mengajukan pasangan capres/wapres.
Dan menjadi lebih parah, ketika norma dasar termaksud malah menggunakan jumlah perolehan suara pada Pemilu 5 tahun sebelumnya, di mana kemanfaatan dan korelasi jumlah suaranya dalam mekanisme demokrasi telah berakhir.
Padahal sebagaimana yang dipraktekan dibanyak negara lain, untuk membatasi jumlah pasangan calon dapat diatur dengan memperketat persyaratan partai untuk ikut pilpres.
Penyusun Amandemen UUD sepertinya tidak paham bahwa norma dasar presidential threshold adalah konsekwensi logis pada demokrasi yang menggunakan sistem campuran di mana untuk memilih kepala negara dipilih dengan sistem presidensial, sedang untuk membentuk pemerintahan dengan sistem parlementer.
Norma mutlak diperlukan untuk mengantisipasi terjadi kekosongan kekuasaan (vacum of power) akibat perdana menteri “jatuh”, sehingga presiden mempunyai dukungan suara dari partai atau gabungan partai yang ada di parlemen.
Terus logika politik yang bagaimana, kalau dalam sistem presidensial yang kita pilih diterapkan persyaratan presidensial threshold