Senin, November 11, 2024

Surat terbuka untuk Presiden Jokowi (3)

Must read

Oleh Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi

Bapak Presiden Joko Widodo yang terhormat,

Konsep politik “oplosan” yang tergambar pada UUD-1945 hasil 4 kali amandemen sesungguhnya adalah hasil kompromi politik antar kelompok “reformis pembonceng” yaitu kelompok “status quo” dan bahkan pelaku utama Orde Baru yang kemudian lompat ke “perahu” reformasi dengan kelompok reformis sejati. Hal tersebut terjadi karena dalam reformasi 1998 yang lalu, bangsa ini tidak menerapkan kebijakan “potong generasi” atau model skrening politik sebagaimana yang dilakukan Orde Baru. 

Kini para pemangku kekuasaan pemerintahan negara termasuk bapak sendiri pada umumnya bukan bagian dari masa lalu. Artinya untuk membenahinya bukanlah hal yang sulit-sulit amat, apalagi dampak buruknya kini telah dirasakan segenap anak bangsa. Kesempatan emas kini ada hadapan kita, semestinya sekaligus digunakan untuk “loncat” ke depan menyongsong lahirnya masyarakat generasi 5.0 (super smart society) dalam sebuah sistem kenegaraan benar-benar dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila yang tidak lagi mekanistik, tapi sistem kenegaraan yang organism dan juga harmoni. 

Dan dengan menggunakan mekanisme demokrasi, maka penataan kembali termaksud tidak perlu dengan menzalimi anak bangsa dan apalagi harus dengan jatuh korban. Untuk itu ijinkan saya menuntaskan bahasan tentang kendala realitas yang bersumber pada kelembagaan demokrasi.

Pexels

DPD dan Lembaga Pimpinan MPR krisis faedah

Karena pembentukan lembaga perwakilan dalam negara demokrasi hanya dikenal dengan satu cara yaitu pemilu, maka kesepekatan untuk mempertahankan keberadaan MPR ditempuh dengan mengganti UD/UG dengan DPD. Namun konsep lembaga DPD yang dirancang ternyata tanpa embanan dan kewenangan yang mengkait kepentingan daerah sebagaimana layaknya lembaga senat, di mana sebuah RUU yang mengkait kepentingan daerah tidak akan bisa dibahas oleh DPR tanpa persetujuan senator setempat, terlebih dahulu. 

Hal yang sama juga keberadaan pimpinan MPR yang statusnya sebagai lembaga tetap. Memang betul melalui UU pimpinan MPR dicarikan tugas tambahan yaitu seolah bisa begitu saja mewakili MPR untuk memasyarakan Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, layaknya lembaga eksekutif.

Lantas tolok ukur apa yang menjamin bahwa mereka mempunyai kapasitas untuk melakukan tugas tersebut. Bukankah pimpinan MPR tergolong jabatan politik, yang tidak diperlukan persyaratan keahlian dan kompetensi tertentu.

Dan yang pasti keberadaaan DPD dan pimpinan MPR dengan pembiayaan yang begitu besar yang berasal dari pajak rakyat menjadi mubazir, namun sah menurut hukum. 

MK berpotensi melegalkan distorsi kedaulatan rakyat  

Keberadaan MK dalam sistem  demokrasi seperti yang diterapkan pada sejumlah negara adalah kebutuhan nyata dalam menjaga makna kedaulatan rakyat, agar tidak terjadi hak primer warga negara yaitu hak yang diatur langsung dalam UUD dikalahkan atau dilanggar oleh hak sekunder yaitu hak yang lahir karena dan diatur oleh UU. 

Kembali lagi perumus amandemen UUD sama sekali tidak memahami logika politik maupun hukum dan apalagi latar belakang lahirnya MK sebagai penjaga UUD yang semula menjadi tugas Mahkamah Agung (MA) yang ternyata gagal karena basis keahlian para hakim agungnya hanya di bidang ilmu hukum.

Yang pasti persyaratan calon hakim konstitusi kita hanya dari kalangan sarjana hukum semata. Lantas  dari mana basis keahlian para hakim konstitusi kita, ketika mereka harus mengadili uji materi (judicial review) di luar ilmu hukum.

Bukankah di negara manapun yang mengenal lembaga MK para hakim konstitusinya terdiri dari para ahli dari semua disiplin ilmu yaitu ahli politik, ekonomi, budaya, teknologi, kesehatan, dan lain-lainnya.  

Akhirnya seperti yang terjadi di masa lalu, sejumlah gugatan “judicial review” non materi hukum seperti “parlementary dan presidensial threshold” sendiri menjadi sia-sia, karena memang para hakim konstitusinya tidak mempunyai basis keahlian di bidang tersebut. 

Pemikiran konyol kembali ke UUD 1945 asli

Dalam kaitan ilmu tata negara, struktur kenegaraan yang diamanatkan oleh UUD 1945 yang asli diluar lembaga DPA dipastikan merujuk pada model sistem kenegaraan USSR (Uni Soviet) yang penganut paham komunis. Sedang keberadaan DPA sendiri dipastikan merujuk pada konstitusi Hindia Belanda. 

Berbeda dengan konsep politik dalam negara demokrasi dimana dalam memilih Pemimpin dan Program Kerja Pemerintah dilakukan dengan “kontak sosial” melalui pemilu, dalam negara komunis dilakukan oleh Partai yaitu “Forum Sidang 5 tahunan Partai Komunis” yang terdiri dari DPR dan UD/UG. Sedang keanggotaan DPR nya terdiri dari kader partai baik pusat dan maupun daerah, sementara UD/UG diangkat berdasarkan usulan oleh daerah/golongan setelah mendapat persetujuan politbiro cc partai komunis. 

Adapun tugas pokok forum partai termaksud hanya 2, yaitu memilih presidium dan membuat GBHN. Ketua presidium terpilih otomatis menjadi kepala negara dengan sebutan presiden kemudian membentuk pemerintahan. Sedang GBHN sendiri berisi rencana pembangunan jangka panjang (25-30 tahun), sedang (10-15 tahun) dan pendek (5 tahun). 

Sudah barang tentu sebagai konsep politik, GBHN hanya mungkin bisa diterapkan pada negara dengan partai tunggal (Partai Komunis), karena dalam negara tersebut tidak akan terjadi pergantian Rezim Penguasa yang beda “platform” dan apalagi beda ideologi. Dengan kata lain GBHN mustahil bisa diterapkan dalam negara demokrasi, karena dalam Pemilu bisa saja pemenang pemilunya beda “platform” dan atau beda ideologi.

Dengan kata lain, sesungguhnya konsep politik model negara komunis melalui UUD 1945 yang asli pernah kita terapkan dengan sejumlah modifikasi, dimana MPR yang semula di era Bung Karno bersifat ad hoc oleh Orde Baru diubah menjadi lembaga tetap dan bahkan berhak membuat aturan kenegaraan bukan UUD tapi juga bukan UU.

Adapun keanggotaan MPR juga persis model “Forum Sidang 5 Tahunan Partai Komunis” yaitu DPR yang terdiri dari para kader Orba yang dijaring melalui Pemilu dengan pilihan tunggal yaitu “Partai” Orde Baru dengan 3 nama yaitu PPP, Golkar dan PDI.

Sementara persetujuan usulan untuk menjadi Anggota UD/UG bukan oleh Polit Biro CC Parta Komunis, tapi oleh Dewan Sospol Pusat sebuah lembaga politik di Mabes ABRI yang dipimpinan oleh Panglima ABRI. 

Dalam negara komunis rakyat dibelah menjadi dua, bagi yang berpolitik diwadahi dalam wadah tunggal yaitu Partai Komunis dan yang tidak berpolitik diawasi oleh politbiro CC Partai Komunis. Sedang dalam konsep politik Orde Baru, Rakyat juga dibelah menjadi 2, bagi yang berpolitik disiapkan wadah tunggal “partai” Orde Baru dan bagi yang tidak berpolitik dilakukan kontrol sosial oleh ABRI dalam hal ini TNI, khususnya TNI-AD melalui jajaran Koter dan Intel nya. 

ABRI sendiri dengan konsep Dwi Fungsi ABRI kemudian duduk dalam DPR dan juga menjadi bagian rezim dengan embanan sebagai Jalur “A” dalam Golkar dalam artian rezim. Melalui konsep politik Dwi Fungsi ABRI, prajurit BRI secara sah bisa menduduki jabatan apapun, tanpa harus pensiun dini. 

Penggagas lupa atau tidak paham bahwa dengan dengan kembali ke UUDS 1945 yang asli otomatis semua UU yang tidak didasarkan pada UUD 1945 yang asli menjadi gugur demi hukum. Lantas landasan UU yang mana yang bisa digunakan sebagai “rule of the law” untuk segera melakukan pemilu, karena UUD 1945 yang asli sendiri tidak mengenal lembaga partai dan apalagi Pemilu.

Kecuali bangsa ini kembali hendak melakukan rekayasa politik dengan menyertakan TNI dalam hal ini AD sebagaimana yang dikerjakan Orde Baru di awal kekuasaannya.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article