NU itu terlalu banyak pengajian umum. Tradisi ngaji (kitab) mulai hilang. Itu lampu merah. Orang kaya suka ulama. Suka kiai. Tapi maunya mengatur ulama, tidak mau diatur ulama.
Oleh Gus Baha (KH Bahaudin Nur Salim)
Saya ngga mau ngaji yang ribet itu. Harus pasang panggung, sound system, yang penting bupati datang. Ribet.
Mereka habis Rp50 juta, Rp100 juta tidak masalah. Tapi sesuai mau mereka, yang datang jamaahnya banyak. Coba, kalo mengikuti maunya kiai, ulama, ngajinya menganalisa kitab, uangnya buat mencetak naskah, pasti tidak mau.
Saya ingin kebesaran ulama itu kembali, yaitu bisa mengatur orang kaya. Bukan seperti sekarang, diatur orang kaya.
Banyak yang datang minta pengajian umum, bawa Alphard, saya jawab kalau mau ngaji datang ke sini saja. Kalau kiai diatur-atur, kan ribet.
Bukan saya anti. Dan itu perlu. Tapi sudah over. Tapi tradisi ngaji yang sebenarnya, yang jadi standar NU, sudah mulai ditinggalkan.
Ditambah, kiai yang kedonyan, cinta dunia. Klop. Yang kaya, tahunya memuliakan kiai dengan uang, kiainya juga senang. Musibah. Terutama di Jawa Timur.
Saya keluar dari kantor PWNU Jawa Timur, langsung dikasih voucher umroh. Saya jawab, tidak, saya kiai Jawa Tengah.
Makanya saat saya diundang di Tebu Ireng, Pondok Syaikhona Kholil, Termas, saya bersedia asalkan disediakan naskahnya Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Kholil, Syaikh Mahfudz Termas.
Ya, saya ngajinya kitab para pendiri pesantren itu. Bukan ngaji Gus Baha tapi ngaji Mbah Hasyim Asy’ari, dan lain-lain.
Ini kan musibah. Selama ini dzurriyah, para cucu tidak peduli dengan naskah pendiri. Padahal ada ahli filologi, pengumpul naskah. Naskah masyayikh kita ada di luar negeri, cucunya ngga punya.
Saya punya naskah Syaikh Mahfudz yang tidak ada di Termas. Saya dikasih Mbah Moen. Akhirnya, para cucu ngaji ke sini.
Coba, Sirojut Tholibin dicetak di mana-mana, termasuk Yaman. Namun, kita tahu nasibnya di Jampes.
Kiai-kiai NU itu sudah alim. Mengerti hukum secara tafsil, kok malah hobi bicara yang mujmal. Ini kan sudah mau pinter, disuruh goblok lagi.
Anda itu ngaji, sampai buka kamus, meneliti tiap kata, harusnya cara mengajarnya seperti itu. Agar tetap alim.
Ada kiai yang sehari manggung tiga kali. Padahal, pasti dia tidak paham problem dakwah di setiap tempat itu. Dia tidak tahu objeknya, tidak tahu obatnya. Pasti bicaranya standar, itu-itu saja, yang penting lucu dan menarik. Mana ada waktu untuk belajar lebih dalam?
Akhirnya ada orang ceramah ditambahi musik macam-macam. Karena dia tidak alim. Tidak terkontrol, yang penting menarik.
Akhirnya ya goblok beneran. Pondok NU juga ikut-ikutan tren. Bikin acara, ya pengajian umum. Yang datang banyak.
Masak, pondok NU mengundang ustad/kiai yang tidak jelas. Karena ikut tren tadi. Tidak tahu, keduanya itu kategorinya apa, detailnya mereka. Musibah lagi, warga NU membaca tulisan Gus Ulil, Nusron bahkan Abu Janda tapi tidak tahu naskahnya Mbah Hasyim Asy’ari.
Saya hanya ingin, tradisi ilmiah di NU itu kembali. Kiai tidak boleh diatur orang kaya. Jika tidak, NU bisa habis (orang alimnya). Saya di NU ditugasi ini, bukan yang lain. Maka, saat saya di Lirboyo, saya bilang ‘Gus Kafa, saya lebih senang disambut empat santri yang benar-benar niat ngaji, daripada banyak santri yang niatnya tidak jelas’. Kemudian, setiap kali saya ke Lirboyo, anak, mantu, cucu dikumpulkan dulu ngaji sama saya.
Jika, kita lima tahun saja memulai, NU akan hebat. Jika bukan anak kita yang jadi alim, cucu kita akan jadi ulama. Itulah NU. NU itu harusnya melahirkan kiai – allamah, bukan kiai-mubaligh seperti sekarang. Dan saya melihat sudah lampu merah. Padahal di zaman kakek saya, bahasa Arab itu seperti bahasa Jawa. Saya punya tulisan Mbah Hasyim Asy’ari yang surat-suratan dengan kakek saya dengan bahasa Arab.
Keilmuan, kealiman ini jangan habis. Dulu para pendiri, kakek kita, allamah, punya naskah. Jika kita terus begini, bisa habis.