Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial, 1918 – 1919
Oleh Ravando Lie
Pada 2 Maret 2020, Presiden Jokowi mengumumkan dua warganya yang positif terinfeksi Covid-19. Pengumuman tersebut pun mengakhiri spekulasi mengenai Indonesia sebagai negara yang kebal korona. Masih belum lekang dari ingatan kita bagaimana selama berminggu-minggu publik dihebohkan dengan serangkaian kontroversi yang dilontarkan aparatur negara terkait Covid-19.
Mulai dari sangkalan seorang menteri bahwa Covid-19 sudah masuk ke Indonesia—dan justru kemudian menantang para peneliti dari Harvard University untuk membuktikan argumennya—, diizinkannya 500 tenaga kerja dari Tiongkok masuk ke Indonesia pada Juni 2020 guna bekerja di Sulawesi Tenggara, lontaran lelucon dari para pejabat negara yang meremehkan kemunculan awal pandemi tersebut, pejabat negara yang membuka secara terang-terangan identitas dan alamat penderita korona, dan lain sebagainya.
Kelalaian tersebut harus dibayar mahal. Hanya berselang dua minggu setelah diumumkannya kasus pertama, sebanyak 172 kasus Covid-19 pun dilaporkan bermunculan di kota-kota padat penduduk seperti Jakarta, Bogor, dan Depok. Kota-kota besar ini kemudian menjadi titik episentrum penyebaran korona, dan hanya butuh waktu beberapa minggu saja bagi virus tersebut untuk menjangkiti seluruh wilayah Indonesia.
Korban meninggal terus bermunculan setiap harinya, mulai dari penduduk biasa sampai dengan tenaga kesehatan. Hingga September 2020, bahkan ketika buku ini selesai ditulis, masih belum ada tanda-tanda pandemi ini akan melandai di Indonesia. Ironisnya, ketika Indonesia masih tengah berjibaku menghadapi serangan gelombang pertama, berbagai negara di belahan dunia justru sedang berjuang menghadapi serangan gelombang kedua dari Covid-19.
Covid-19 sejatinya bukanlah pandemi pertama yang dialami Indonesia. Pada 1997, 2003 dan 2009, Indonesia berturut-turut menghadapi serangan pandemi Flu Burung (Avian Influenza), SARS, hingga Flu Babi (Swine Flu). Serangkaian kasus tersebut menunjukkan bahwa pandemi sebenarnya bukanlah peristiwa baru di Indonesia.
Namun kegagapan dalam penanganan wabah atau pandemi ternyata masih kerap terjadi di Indonesia, yang menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki grand design yang jelas dalam proses mitigasi pandemi.
Sementara bila kita melacak lebih jauh ke belakang, yakni antara bulan Mei 1957 hingga Agustus 1958, Indonesia juga sempat dilanda pandemi Flu Asia (Asian Flu) yang diperkirakan menjangkiti enam juta dari total 78 juta populasi Indonesia kala itu.
Namun pandemi influenza yang paling fenomenal dan mematikan terjadi antara 1918-1919, ketika Flu Spanyol (Spanish Flu) diperkirakan menjangkiti 500 juta penduduk dunia dan membunuh 20 hingga 50 juta di antaranya.
Adapun wilayah Indonesia yang kala itu masih menjadi koloni Belanda, menjadi salah satu wilayah dengan kasus Flu Spanyol terparah di dunia, dengan rerata kematian (death rate) berkisar 30,4 per 1.000 orang, sehingga membuat Indonesia menjadi negara dengan rerata kematian Flu Spanyol tertinggi di kawasan Asia.
Diperkirakan sekitar 1,5 hingga 4,37 juta jiwa menjadi korban keganasan pandemi Flu Spanyol, dan jumlah korban tersebut hanya untuk wilayah Jawa dan Madura saja.
Ironisnya, berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa pandemi Flu Spanyol yang terjadi lebih dari seabad tersebut, ternyata banyak kemiripan dengan Covid-19 yang terjadi saat ini, mulai dari respons dan mitigasi pemerintah yang lambat, pengambilan kebijakan kesehatan yang tidak efektif, buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, hingga sekumpulan orang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan situasi demi kepentingan pribadi.
Semua itu tercatat turut mewarnai penyebaran Flu Spanyol di wilayah kolonial Indonesia kala itu. Akibatnya, masyarakat yang dilanda kebingungan pun memutuskan bergerak sendiri-sendiri guna mencari solusi terkait permasalahan tersebut. Solusi yang ditawarkan pun beragam, mulai dari tindakan klinis sampai ritual-ritual yang berbau mistis.
Ironisnya, fenomena serupa juga marak terjadi ketika Flu Spanyol melanda Indonesia. Banyak obat-obatan anti-influenza tidak berlisensi yang beredar kala itu. Para dokter yang belum pernah menangani penyakit seperti itu sebelumnya pun dilanda kebingungan, sehingga berujung pada maraknya kesalahan diagnosa.
Saran dari beberapa dokter di Batavia untuk menerapkan lockdown pun tidak diindahkan oleh Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (Dinas Kesehatan Hindia Belanda, BGD) dengan alasan akan memicu kekacauan dan mengganggu stabilitas ekonomi pemerintah kolonial.
Belum lagi lontaran pernyataan dari politikus dan praktisi kesehatan yang berulangkali menyebut Flu Spanyol sebagai penyakit atau influenza biasa, sehingga tidak perlu dicemaskan.
Kacaunya, pernyataan tersebut kemudian dikutip dan disebarkan oleh surat-surat kabar kala itu, sehingga membuat masyarakat terlena terhadap serangan virus tersebut. Situasi juga masih diperburuk dengan menjamurnya berbagai berita hoax dan munculnya klaim-klaim sepihak yang semakin membuat masyarakat kalut.
Flu Spanyol di wilayah kolonial Indonesia terjadi dalam dua gelombang. Serangan gelombang pertama diperkirakan terjadi antara bulan Juli hingga September 1918 dengan serangkaian kasus yang masih tergolong ringan (mild). Diduga kuat virus ini pertama kali menjangkiti kawasan perkebunan Pangkatan pada Juni 1918, yang dibawa oleh para kuli kontrak dari Singapura.
Hanya dalam tempo beberapa minggu, virus ini sudah menjangkiti lima persen dari populasi di Surabaya dan sudah menyerang berbagai wilayah di Hindia Belanda, seperti Tanjung Pandan (Belitung), Pulau Laut (Kalimantan), dan Weltervreden (Batavia).
Serangan yang jauh lebih masif terjadi selama gelombang kedua yang berlangsung antara Oktober hingga Desember 1918. Di beberapa wilayah di Indonesia Timur, pandemi ini bahkan dilaporkan masih terus berlangsung setidaknya hingga April 1919. Selama gelombang kedua virus Flu Spanyol dengan cepat bermutasi, menjangkiti dan membunuh jutaan penduduk di berbagai wilayah di kolonial Indonesia.
Saking parahnya serangan tersebut, laporan BGD tahun 1920 sampai menyebutkan bahwa tidak ada satu pun kawasan di Hindia Belanda yang luput dari serangan virus tersebut.
Buku ini akan mencoba merangkum seluruh fenomena tersebut. Pandemi Flu Spanyol akan coba dikupas tuntas dalam buku setebal 500 halaman ini. Perbandingan dengan kasus Flu Spanyol di negara lain, mulai dari angka kematian, penanganan awal dan mitigasi, hingga respons dari akar rumput, akan menjadi bahasan dalam buku ini. Bagaimana pemerintah kolonial Belanda merespons pandemi tersebut?
Sejauh mana imbas dari Flu Spanyol terhadap kondisi ekonomi dan sosial penduduk Indonesia kala itu? Dengan memanfaatkan sumber-sumber sezaman, terutama surat kabar, buku ini berupaya memberikan gambaran secara holistik mengenai pandemi mematikan tersebut, dan apa yang bisa kita pelajari bila wabah atau pandemi serupa kembali menyerang.
Buku ini tidak akan dapat terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Secara khusus saya ingin berterima kasih kepada Penerbit Buku Kompas yang telah berkenan menerbitkan manuskrip ini. Mas Patricius Cahanar selaku editor buku dan Mas Yohanes Krisnawan selaku partner diskusi awal telah memberikan banyak masukan berharga.
Juga kepada Ruhan Muhammad yang telah mendesain cover, melayout, hingga mengoreksi naskah dari buku ini. Cover tersebut diambil dari karikatur yang muncul di harian Het Nieuws van den Dag (29 April 1921) dengan judul ‘Influenza’.
Prof. Hans Pols dan Prof. Nila Moeloek yang telah berkenan memberikan pengantar luar biasa bagi buku ini. Terima kasih Monica Nirmala yang telah menjembatani komunikasi dengan Prof. Nila dan membantu editing dari buku ini. Juga kepada pemberi endorsement, Prof. Bambang Purwanto, Dr. Claudia Surjadjaja, Prof. Sangkot Marzuki, Dr. Leo van Bergen, dan Prof. Sunil Amrith, saya menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya.
Terima kasih juga kepada Lesta Al Fatiana Budianto, Eko Yuli, dan Rizky Aditya yang sudah membantu menerjemahkan Lelara Influenza dari aksara Jawa. Juga kepada Prof. David Reeve yang sudah mengenalkan topik ini di tahun 2011 dan A/Prof. Kate McGregor yang sudah memberikan banyak input berharga.
Kepada rekan-rekan Nggosipin Tionghoa, Yuk yang sudah menjaga kewarasan saya dengan acaranya yang keren dan persaudaraan yang luar biasa. Colek Koh Didi Kwartanada, Mbak Evi Sutrisno, Yeri, Gus Aan Anshori, Pdt. Surya Samudera Giamsjah, Michael Andrew, Betty Chandra, Dinah Katjasungkana, Cak R.n. Buffon Aji, Pak Iryanto Susilo, Pak Johan Hasan, dan Koh Su Mur.
Untuk Thomas Barker, Mas Abdul Wahid, Syefri Luwis, Wildan Sena, Ody Dwicahyo, Bambang Widyonarko, Muhammad Aprianto, Bhima Yudhistira, Ibu Ratna Prabandari, Farah Dwiyanti, Longina Narastika, Denty Piawai Nastitie, Gupta Ganesha Pertama, dan William Julianto J, terima kasih atas kritik dan sarannya.
Terakhir tentu kepada istri saya Evangeline dan anak saya, Genta, serta keluarga di Jakarta dan sekitarnya yang sudah ikut mendukung penulisan manuskrip ini.
Sejarah telah menunjukkan bahwa epidemi yang disebabkan oleh virus dan bakteri bukanlah suatu hal yang baru. Waktu terus berjalan. Namun epidemi dan pandemi akan selalu mengancam umat manusia. Virus akan terus berevolusi dengan segala macam strategi untuk menghindari, membingungkan, hingga melemahkan sistem imun manusia. Para bakteriolog dan epidemiolog pun telah berulang kali memperingatkan kita mengenai kemungkinan merebaknya penyakit dan pandemi baru di masa depan.
Pandemi Covid-19 ini seharusnya mampu menjadi pembelajaran bagi kita semua tentang pentingnya rancangan pencegahan suatu wabah. Seluruh lapisan profesi dapat berkontribusi dalam perancangan tersebut berdasarkan bidang keilmuannya.
Sejarawan misalnya, dapat menelusuri pandemi dan epidemi yang terjadi di masa silam, yang informasinya dapat digunakan sebagai pembelajaran dan pencegahan di masa depan. Namun sejarah dan kesehatan selalu dilihat sebagai dua ilmu yang seolah-olah tidak berkaitan dan tidak dapat melengkapi satu sama lain.
Di banyak negara, termasuk di Indonesia, kajian mengenai sejarah kesehatan tidak masuk dalam kurikulum sekolah dan universitas. Padahal, ada begitu banyak aspek dan sudut pandang yang bisa dikaji dari pandemi ini, bukan hanya dari sisi epidemiologisnya saja, melainkan juga dari perspektif historis, kultural, ekonomi, transnasional, hingga aspek biologis.
Persilangan bidang ilmu tersebut seharusnya dapat menjadi pondasi kuat dalam menentukan arah kebijakan kesehatan suatu negara. Agar kesalahan dan kegagapan penanganan pandemi di masa lalu tidak kembali terulang di kemudian hari.
- Buku hasil kajian sejarawan muda UGM Ravando Lie tentang wabah flu di Hindia Belanda 1918, didedikasikan untuk para tenaga kesehatan yang berjuang tanpa lelah di garda terdepan dalam menanggulangi Covid-19. Kalian adalah pahlawan kemanusiaan.