Senin, Desember 9, 2024

Perlu moralitas dan tatanan politik baru untuk atasi pandemi?

Must read

#Leadership Growth: Creating Mutual Responsibility

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Mobilisasi kekuatan untuk menghadapi krisis kesehatan global sekarang ini tidak cukup hanya mengandalkan para ahli kesehatan dan ilmuwan, tapi kita juga perlu melakukan pembaharuan moral dan politik. Ini kata Michael J. Sandel, pengajar filsafat politik di Harvard University, dalam buku terbarunya The Tyranny of Merit, yang baru saja beredar.

Michael menggugat moralitas para politisi, pembuat kebijakan publik, yang tidak terbebas dari sisi gelap meritokrasi yang telah mengurai ikatan sosial, memperdalam ketimpangan, utamanya di AS. “What become of the Common Good?” Ini pertanyaan Michael.

Buku ini memicu diskusi yang menarik, antara lain American Academy of Arts & Sciences Agustus lalu untuk pertama kalinya menyelenggarakan tukar pikiran online, mengeksplor ketidakpuasan atas kekeruhan politik sekarang dan mempertimbangkan munculnya perpolitikan baru untuk kemuliaan bersama (the common good).

“Kita tidak siap secara moral untuk menghadapi pandemi,” kata Michael dalam sesi dialog dengan Elliot Gerson di Aspen Institute. Katanya, AS sebagai negara kaya juga ternyata tidak siap secara logistik dan politik. Kohesi sosial juga runtuh akibat meritokrasi sudah menjadi tirani, memecah-belah anggota masyarakat, antara yang sukses dan yang tertinggal. “Beyond its lack of logistical preparedness, the country was not morally prepared for the pandemic. The years leading up to the crisis were a time of deep divisions—economic, cultural, political,” kata Sandel.  

Apakah kita yakin kondisi yang digambarkan Michael Sandel tersebut hanya terjadi di AS? Bukankah situasi tidak siap secara politik, plus kekurangan logistik, mungkin juga ketidaksiapan moral para pejabat publiknya, juga terjadi di negeri-negeri lain?

Apakah kita bernyali memulai hidup hari ini, sebagai masyarakat di wilayah yang juga terkena pendemi seperti di AS, dengan pertanyaan-pertanyaan dasar menyangkut tingkat kesiapan dan kesanggupan menghadapi realitas? Apakah kita yakin moral politik kita lebih baik dan menjadikan layak memimpin mengatasi wabah? Buktinya apa, pembangkangan sosial?

Rasanya akan lebih pas kalau moral politik para penentu kebijakan publik dinilai oleh masyarakat langsung – bukan menurut pandangan para pakar.

Bagaimana pula dengan kemampuan logistik kita? Sudahkah kita melakukan evaluasi secara transparan tentang kapabilitas para pengambil keputusan, khususnya terkait pandemi, dari perspektif ekonomi, sosial, dan cara kerja mereka?

Itu di luar urusan teknis kesehatan. Karena di bidang kesehatan, prestasi yang terhidang di depan kita sementara ini adalah jumlah kasus covid yang bertambah – plus sekian puluh negara di dunia menutup pintu bagi orang Indonesia.

Dalam situasi yang masih dikepung ketidakpastian seperti sekarang, adab memimpin yang gegabah dengan menyodorkan kesimpulan-kesimpulan seolah-olah memberikan solusi terbaik, sama buruknya dengan ketidakmampuan memilah-milah prioritas tindakan. Ini juga berlaku bagi organisasi bisnis, nonprofit, dan lembaga-lembaga pelayanan publik.

Sudah waktunya kita mulai bersikap lebih rendah hati. Bersedia menguji ulang asumsi-asumsi yang sudah dibuat, mengingat realitas hari ini bisa sangat berbeda dengan yang diprediksi sebelumnya.

Dalam proses evaluasi berkala atas setiap eksekusi yang dibuat — bisa seminggu sekali, sebulan sekali, tergantung pada positive impact-nya terhadap kemajuan institusi –  melibatkan para team leaders akan membantu meningkatkan mutual responsibility.

Kalau mau belajar dari organisasi-organisasi hebat yang berhasil bangkit kembali setelah mengalami krisis berat – misalnya Ford Motor Company dibawah kepemimpinan Alan Mulally (dari rugi belasan miliar dolar, ia pimpin menjadi profitable) atau Coca-Cola saat dipimpin Neville Isdell (ia masuk ketika kondisi perusahaan terpuruk, saat pensiun Coca-Cola memimpin pasar) – membangun mutual responsibility terbukti sangat membantu.

Dimulai dengan perubahan perilaku para team leaders, dalam hal-hal yang tampak sederhana, di antaranya: transparansi fakta saat meeting evaluasi; setiap departemen dan divisi saling membantu, bukan saling menghakimi atau mencari kelemahan pihak lain; saat meeting fokus, tidak ada yang buka telepon seluler; diharamkan backstabbing, dan seterusnya.

Alan Mulally mencanangkan One Ford untuk menyatukan energi positif para eksekutif dan meningkatkan moral para team leader dan tim masing-masing. Semangat mereka adalah, sebagaimana ajaran Peter Drucker, “The important thing is not that you have rank, but that you have responsibility.”

Neville Isdell menciptakan kondisi yang membuat para eksekutif berani melihat ke depan, bukan merunduk lagi, dengan melahirkan “Coca-Cola’s Manifesto for Growth.” Kata Isdell, “The magic of the manifesto is that it was written in detail by the top 150 managers and had input from the top 400. Therefore, it was their program for implementation.”

Kuncinya adalah transparansi, para team leaders saling mendukung, membangun mutual responsibility (tanggung jawab bersama tanpa sekat akibat perbedaan jabatan), dan lebih penting lagi implementasi.

Bagaimana dengan organisasi Anda? Bagaimana pula dengan institusi-institusi pemerintahan, serta para pemegang monopoli usaha (seperti pasokan listrik dan air)? Apakah masih mempertahankan pola kerja business as usual, seperti pelayanan kepada publik dan pelanggan yang sembrono, sehingga menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat saat kita semua tengah menghadapi krisis sekarang?

Kalau tanpa perbaikan, bagaimana tanggung jawab moral para pimpinannya dalam membangun kehidupan berbangsa secara lebih baik – bukankah mereka hidup ditopang oleh uang masyarakat?

Photo by Ann H from Pexels

Kebangkitan organisasi-organisasi dan juga bangsa-bangsa di dunia ini dalam mengatasi setiap krisis utamanya karena ada semangat bersatu dan adanya ikatan emosional yang kuat antara yang tengah jadi pimpinan dengan para stakeholder.

Jerman pada pasca Perang Dunia II mengalami krisis energi, kalangan kelas menengah sempat harus menyerok kotoran kuda yang sudah kering di jalanan untuk menghidupkan pemanas di rumah masing-masing. Tapi kemudian mereka bangkit, bahkan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia, karena mereka fokus pada kemajuan; bukan mengulik-ulik urusan yang tidak relevan.

Di Indonesia masa perang kemerdekaan, banyak orang dari pelbagai suku dan golongan rela mengorbankan harta dan bahkan nyawa mereka untuk menegakkan eksistensi hidup berbangsa, karena kepercayaan yang tinggi pada kepemimpinan para founding fathers kita – mereka memiliki legitimasi moral dan politik untuk menyatukan bangsa.

Apakah kita sudah terkena wabah dari Amerika, sehingga untuk mengatasi krisis – sebagaimana kata Michael J. Sandel – di samping membangun tatanan ekonomi dan teknis kesehatan yang dapat diandalkan, perlu juga melakukan pembaharuan moral dan tatanan politik?

Apakah Anda sependapat, pembaharuan moral untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik sangat dipengaruhi oleh teladan perubahan perilaku dan adab memimpin orang-orang yang kebetulan tengah dalam posisi pimpinan, di pemerintahan, kantor-kantor pelayanan publik, sektor usaha (BUMN dan swasta), dan lembaga non-profit (dan LSM).

Mohamad Cholid adalah Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman (mohamad-cholid-694b1528, coach/mcholid1)
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article