Oleh Andi Mallarangeng
Demonstrasi menolak UU “Omnibus Law” Cipta Kerja marak di mana-mana. Kaum pekerja/buruh, mahasiswa dan pelajar ramai-ramai turun ke jalan menyuarakan aspirasi rakyat yang menentang. Bahkan sampai di kota2 kecil seperti Parepare dan Bone, Sulsel, kampung halaman saya.
Kombinasi antara kaum pekerja/buruh, mahasiswa dan pelajar di hampir semua urban centers, merupakan kekuatan yang dahsyat dalam sejarah pergerakan di negeri ini. Masalahnya, justru konsentrasi massa dalam jumlah yang besar inilah yang perlu kita hindari dalam masa pandemi ini.
Sejak awal Partai Demokrat telah mengingatkan pemerintah dan partai-partai pendukungnya di DPR agar menunda pembahasan RUU Ciptaker ini. Tidak ada urgensinya untuk terburu-buru membahas RUU yang sebelumnya disebut RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka). Kita mestinya fokus pada upaya menangani pandemi dengan segala masalahnya. Apalagi dalam bentuk Omnibus Law yang meniscayakan perlunya konsultasi yang luas dengan berbagai stakeholder yang penting.
Hanya ada dua kemungkinan skenario. Yang pertama, pemerintah dan partai-partai pendukungnya tidak mengantisipasi bahwa UU Ciptaker ini akan menuai gelombang demonstrasi yang besar di mana-mana. Yang kedua, memang pemerintah telah memperkirakan hal itu, tapi pemerintah tidak peduli dan terus mem-buldozer proses pembahasan dan penetapan RUU Ciptaker ini.
Jika yang pertama, artinya pemerintah dan partai-partai pendukungnya terlalu naif, terlalu percaya diri dan tidak mampu menyelami realitas masyarakat. Kekuasaan telah membuat mereka terlena (entah dalam buaian siapa) dan menjauh dari rakyat.
Jika yang kedua, artinya pemerintah dan partai-partai pendukungnya memang tidak peduli dengan rakyat. Mereka tahu bahwa UU Ciptaker ini akan menimbulkan reaksi massa rakyat di mana-mana, dan mereka juga tahu konsentrasi massa yang besar akan juga memicu maraknya klaster2 baru Covid-19 di mana-mana. Dan masalah pandemi kita akan terus merebak dan menanjak. Dan resesi ekonomi yang mengikutinya akan semakin dalam. Dan nasib rakyat semakin terpuruk. Tapi pemerintah dan partai-partai pendukungnya tidak peduli.
Bandingkan misalnya dengan antisipasi untuk mencegah merebaknya klaster-klaster baru dalam rangka penyelenggaraan pilkada serentak. Berbagai aturan disiapkan termasuk berbagai pembatasan kampanye untuk mencegah konsentrasi massa. Walaupun tetap banyak yang mengkritik dan ada berbagai pelanggaran, tetapi paling tidak ada antisipasi.
Saya tidak tahu apa dasar pemikiran pemerintah dan partai-partai pendukungnya untuk terus memaksakan pembahasan dan penetapan RUU Ciptaker ini. Terkesan mengejar target, entah dari siapa, dan tidak peduli dengan konsekuensinya. Padahal kita tahu, materi RUU yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti ini pastilah menimbulkan aksi dan reaksi. Dan justru inilah yang mestinya kita hindari dalam masa pandemi ini. Agar kita semua bisa fokus untuk survive melewati masa pandemi ini.
Sebenarnya masih ada satu jalan: Presiden Jokowi segera mengesahkan berlakunya UU Ciptaker ini, dan semenit kemudian menandatangani Perpu untuk membatalkannya. Toh, ini juga pernah dilakukan. Persoalannya, maukah dia?