Oleh Farid Gaban
Menurut Pemerintahan Jokowi, alasan terpenting penerbitan Omnibus Law adalah untuk mempermudah izin bisnis dan investasi, yang pada gilirannya diharapkan membawa kesejahteraan rakyat. Ada dua pertanyaan penting di sini.
PERTAMA: Benarkah berbisnis di Indonesia sulit sekali?
Dalam indeks “kemudahan berbisnis” (easy of doing business) yang dikeluarkan World Bank, Indonesia ada di peringkat ke-73. Artinya tidak sulit-sulit amat berbisnis di Indonesia dibanding di 120-an negara lain di dunia.
Dalam kategori negeri berpendapatan menengah-bawah (lower middle-income), Indonesia bahkan ada di papan atas (peringkat ke-7) dalam kemudahan berbisnis; di atas 40 negara lain dalam kategori itu.
KEDUA: Benarkah kemudahan berbisnis meningkatkan kualitas kesejahteraan warga negara?
Ukuran kesejahteraan warga antara lain diukur lewat indeks pembangunan manusia (HDI-human development index) yang dikeluarkan UNDP, badan dunia di bawah naungan PBB.
Meski kemudahan investasi di Indonesia ada di papan atas, human development index (HDI) kita ada di papan bawah (peringkat ke-116).
HDI kita di bawah Srilanka, yang memiliki kemudahan bisnis jauh lebih buruk dibanding kita. Bahkan HDI kita lebih rendah dari “negara gagal” Venezuela, yang kemudahan investasinya terburuk di dunia nomor 2 dari bawah.
Artinya tidak ada korelasi antara kemudahan berinvestasi dengan kesejahteraan warga.
Mudah sekali memahami hal ini: kemudahaan bisnis/investasi mengorbankan kualitas pembangunan manusia (privatisasi kesehatan dan pendidikan, kerusakan lingkungan, lemahnya penghormatan pada hak asasi manusia).
Ketika alam rusak akibat investasi, bencana lah yang lebih mengemuka: longsor, banjir, kekeringan. Bencana-bencana itu punya andil besar dalam proses pemiskinan dan penurunan kualitas manusia.
Investasi bukanlah prasyarat mutlak untuk pembangunan sebuah negara. Tapi, bahkan jika kita memerlukannya, investasi itu harus diseleksi ketat agar tidak merugikan warga dan merusak alam.
Omnibus Law, sebaliknya dari memperketat, justru melonggarkan investasi. Dan itu alasan paling pokok kenapa saya menolak Omnibus Law sejak awal.