Kalau sampar tidak membunuh mereka, dingin dan lapar yang melakukannya. Eksekusi oleh lapar bisa terjadi di usia dini anak-anak keluarga miskin, jika tidak cukup susu yang tersisa di buah dada ibunya setelah ia menyusui bayi orang-orang kaya. Tetapi bahkan bayi-bayi dalam buaian berkecukupan pun belum tentu mudah hidupnya. Di seluruh Eropa, orang-orang dewasa turut meningkatkan angka kematian bayi lewat pendidikan yang keras.
Proses pendidikan berawal dari membuat bayi menjadi mumi. Setiap hari pekerja rumah tangga membungkus mereka dari kepala sampai mata kaki dengan kain yang diikat erat dengan tali.
Dengan demikian pori-pori mereka dianggap terlindungi dari wabah dan asap setan yang mengambang di udara. Selain itu, bayi itu tidak akan merepotkan. Dipenjara seperti itu, mereka nyaris tak bisa bernapas, apalagi menangis, dan dengan tangan dan kaki diikat mereka tak bisa menendang atau rewel.
Jika luka baring atau gangren tidak membuat mereka mati, bungkusan manusia itu lanjut ke tahap berikut. Dengan sabuk yang membuat mereka tegak, mereka belajar berdiri dan berjalan sebagaimana ditakdirkan Tuhan, agar tidak meneruskan kebiasaan binatang yang merangkak dengan empat kaki.
Begitu lebih besar, mereka memulai kursus intensif bagaimana cambuk, rotan, tongkat, balok kayu atau besi, dan berbagai lainnya digunakan sebagai alat pedadogi.
Bahkan raja pun tak terkecuali. Louis XIII dari Prancis dimahkotai sebagai raja pada ulang tahunnya yang ke delapan, dan memulai harinya dengan mendapatkan kuota cambukan.
Sang raja selamat melewati masa kanak-kanaknya.
Anak-anak lain juga, entah bagaimana, berhasil bertahan hidup, dan menjadi orang dewasa yang terlatih baik cara mendidik anak-anak mereka.
Eduardo Galeano