Oleh: Saefudin Simon
Pemilu Presiden AS telah usai. Tinggal penghitungan suara via pos yang menyoblos sebelum 3 November 2020. Mungkin butuh beberapa hari untuk meghitungnya. Ini karena jumlahnya sangat banyak, sekitar 95 juta. Lebih 50 persen dari jumlah pemilih AS yang diperkirakan 150 juta orang.
Yang menarik, Presiden Donald Trump sudah mengumumkan kemenangannya di Gedung Putih, Washington. Kalau ternyata nanti kalah, kata Trump, berarti pemilu curang. Dan kecurangannya dibantu media massa.
Trump sesumbar, jika kalah, ia akan melaporkan kecurangan itu kepada Mahkamah Agung. Dan Trump tidak mau melakukan penyerahan kekuasaan kepada pemenang pemilu Joe Biden-Kemala Harris. Trump juga minta penghitungan suara yang dikirim via pos dihentikan. Karena pasti penghitungannya penuh kecurangan.
Pemilu 2020 di AS menurut Washington Post adalah yang terheboh dalam satu abad terakhir. Para pendukung Donald Trump-Mike Pence bentrok dengan pendukung Joe Biden-Kemala Harris di mana-mana — satu hal yang sebelumnya nyaris tak pernah terjadi.
Pendukung Trump-Pence terlihat sangat bringas dan merusak fasilitas umum dalam berbagai bentrokan. Ini terjadi karena mayoritas pendukung Trump adalah ‘kalangan bawah’ kulit putih yang kurang berpendidikan. Trump dalam kampanyenya mengusung sentimen rasis untuk menarik dukungan konstituennya yang berandal tersebut.
Itulah sebabnya Trump dalam menyikapi hasil pemilu — jika kalah — sangat kampungan, tak menunjukan wisdom seorang pemimpin negara besar seperti Amerika. Gugatan Trump terhadap keabsahan pemilu 2020 menunjukkan betapa norak dan demagognya sang patahana. Ia tengah melakukan politik demagogi yang merusak tatanan demokrasi.
Kilas balik: pada pemilu 2016, ketika Trump menang, dunia benar-benar terkejut. Betapa tidak, Trump yang tidak percaya adanya global warming; tak mau meneruskan kesepakatan damai dengan Iran; mengecam kesepakan Paris untuk penurunan emisi karbon global; mengumumkan perang dagang melawan Cina; dan lain-lain terpilih menjadi presiden sebuah negara yang selama ini menjadi garda depan demokrasi, ekonomi, dan perbaikan lingkungan di dunia.
Menanggapi kemenangan Trump waktu itu, Francis Fukuyama — profesor ekonomi politik dari Stanford Iniversity — menulis buku spesial yang diberi judul Identity, The Demand for Dignity and The Politic of Resentment (2018).
Dalam kata pengantarnya, Fukuyama mengatakan, buku itu tidak akan ditulis bila Donald Trump tidak menang. Pasti ada yang salah dalam demokrasi sehingga tokoh demagog seperti Trump menang dalam pemilu Amerika. Sampai-sampai Fukuyama menuduh lembaga lembaga demokrasi di Amerika makin membusuk sehingga dikuasai kaum demagog.
Lebih jauh Fukuyama menyatakan lembaga-lembaga Amerika membusuk karena negara semakin dikuasai oleh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat dan terkunci dalam struktur kaku yang tidak dapat mereformasi dirinya sendiri. Trump sendiri adalah produk kerusakan dan kebusukan itu.
Fukuyama berpendapat bahwa Trump mewakili tren yang lebih luas dalam politik internasional, menuju apa yang disebut nasionalisme populis. Para pemimpin populis berusaha menggunakan legitimasi yang didapatnya lewat pemilu demokratis untuk mengkonsolidasikan kekuasaan.
Mereka — para demagog itu — mengklaim mempunyai hubungan karismatik langsung dengan “rakyat”. Apa yang dimaksud dengan rakyat, para demagog mendefinisikannya secara sempit berdasarkan sentimen rasisme.
Mereka tidak menyukai institusi dan berusaha merongrong checks and balances yang membatasi kekuatan pribadi seorang pemimpin dalam demokrasi liberal modern: pengadilan, badan legislatif, media independen, dan birokrasi nonpartisan.
Menurut Fukuyama, pemimpin-pemimpin yang masuk dalam kelompok ini antara lain Vladimir Putin (Rusia), Recep Tayyip Erdogan (Turki), Viktor Orban (Hongaria) dan Jarozlaw Kaczynski (pernah menjadi Presiden Polandia, Perdana Menteri, kini Deputi Perdana Menteri), dan Rodrigo Duterte (Presiden Filipina).
Sama dengan Fukuyama, Steven Levitsky & Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018), tidak kalah herannya dengan kemenangan Trump. Bagaimana mungkin AS, yang menurut mereka memiliki fondasi demokrasi lebih kuat dibanding Venezuela, Turki, dan Hongaria, tetapi “meloloskan” seorang demagog ekstremis?
Menurut Levtisky dan Ziblatt, ujian penting bagi demokrasi bukanlah apakah seorang demagog muncul, tetapi apakah para pemimpin politik, dan terutama partai politik, bekerja untuk mencegah demagog untuk mendapatkan kekuasaan sejak awal—dengan tidak mancalonkan mereka, menolak untuk mendukung atau bersekutu dengan mereka dan bila perlu, membuat tujuan bersama dengan saingan untuk mendukung kandidat demokratis. Mengisolasi ekstremis populer membutuhkan keberanian politik.
Tapi apa yang terjadi kemudian? Keserakahan, haus kuasa, dan oportunisme membuat partai-partai mapan membawa ekstremis dan demagog ke arus utama. Dampaknya demokrasi pun terancam (Kuncahyono, 2020).
Ternyata, AS gagal membendung masuknya seorang demagog ekstremis. Levtisky dan Ziblatt mengakui, Amerikan gagal dalam tes pertama pada November 2016, ketika memilih presiden yang diragukan kesetiannya terhadap norma-norma demokrasi.
Kemenangan mengejutkan Donald Trump dimungkinkan tidak hanya oleh ketidakpuasan publik—terhadap kondisi waktu itu, antara lain tingginya angka pengangguran—tetapi juga oleh kegagalan Partai Republik untuk tidak meloloskan demagog ekstremis mencalonkan diri sebagai presiden.
David Runciman, seorang ilmuwan politik dari Inggris, dalam How Democracy Ends (2019), terkaget-kaget dengan terpilihnya Trump. Ia tidak bisa memahami bagaimana orang AS bisa memilih tokoh seperti Trump. Menurut David Runciman, terpilihnya Trump — pinjam istilah psikologi reductio ad absurdum — membawa ke sesuatu yang absurd, atau argumentum ad absurdum.
Era Trump, tulis Runciman, adalah era absurditas dari politik demokrasi. Ia menyimpulkan, setiap proses yang menghasilkan kesimpulan edan atau konyol pasti ada kesalahan dalam perjalanan dari awal sampai akhir. Dan itu semua terjadi di era Trump.
Dari perspektif itulah kita melihat sesumbar Trump di atas. Ia tengah merongrong institusi-institusi dan checks and balances yang membatasi kekuasaannya. Trump secara terbuka mencemooh lembaga-lembaga demokratis: pers independen, peradilan, birokrasi, validitas pemilu, legitimasi kontestasi demokrasi, dan sentralitas fakta pada wacana politik.
Kondisi tersebut kini tengah berlangsung di Amerika. Sekali lagi pemilu Amerika 2020 tengah mengulangi pesta kaum demagog pimpinan Trump tahun 2016 yang dimotori Partai Republik untuk menghancurkan kredibilitas simbol-simbol modernitas negara demokrasi.
Jika negara semodern Amerika yang telah mengusung demokrasi selama tiga abad saja terbusukkan perilaku kaum demagog, bayangkan Indonesia yang baru mengusung demokrasi kurang dari delapan dekade.
Saat ini, Indonesia pun — kalau kita sadari — tengah menghadapi rongrongan para demagog petualang politik. Jika kita lengah dan tidak peduli pada perjalanan demokrasi yang kita rawat, bukan tidak mungkin Indonesia pun akan mengalami pembusukan elemen-elemen demokrasi yang telah dibangun para founding fathers bangsa dengan susah payah dan berdarah-darah itu.
Mengerikan!