Oleh Fard Gaban
Setelah hutan Sumatra dan Kalimantan susut, ekspansi sawit kini menyerbu Papua.
Papua keseluruhan (termasuk Papua Nugini) adalah pulau terbesar di dunia. Kini merupakan benteng ekosistem hutan tropis terakhir dan terluas dunia setelah Amazon.
Ada seluas 35 juta ha hutan tropis di bagian barat saja, yang kini masuk wilayah Indonesia. Seperti bagian timurnya, hutan Papua memiliki keragaman hayati yang sangat kaya: 200 spesies mamalia, 20.000 spesies tanaman, 1.500 spesies pohon besar, dan 750 jenis burung.
Kini sekitar 1 juta ha sudah dibuka sebagai lahan kebun sawit yang dimiliki oleh sekitar 70 perusahaan. Namun, berkat pembangunan jalan Trans-Papua oleh pemerintahan Jokowi, ekspansi sawit dan jenis komoditi monokultur lain diperkirakan akan secara agresif menghabisi hutan Papua.
Sebagian dari perusahaan sawit yang datang adalah anak perusahaan multinasional-corporation yang digadang-gadang sebagai sumber investasi dan diberi gelaran karpet merah ala Omnibus Law.
Salah satu multinasional yang terlibat di Papua adalah Korindo Group dari Korea Selatan. Perusahaan ini menguasai sekitar 150.000 ha konsesi sawit di Papua saja.
Investigasi BBC menunjukkan perusahaan itu sengaja membakar hutan Papua untuk membuka kebun sawit. Tapi, tak hanya berhenti di situ. Perusahaan yang dibacking aparat itu juga terlibat konflik dengan masyarakat lokal. Tentu saja selalu menang. Polisi setempat mengatakan perusahaan harus dilindungi karena merupakan “proyek strategis nasional”.
Masyarakat adat di Papua sangat beragam, ratusan suku dengan ratusan bahasa. Mereka terutama hidup dari hutan. Hidup mereka kini tak hanya terancam oleh hilangnya hutan tapi juga desakan “pembangunanisme” yang makin menindas.
Perasaan terpinggirkan, hilangnya ruang hidup, dan terdiskriminasi akan makin kuat di kalangan saudara-saudara kita di Papua oleh praktek-praktek investasi yang tidak mengindahkan aspek sosial, budaya, antropologi dan ekologi.
Apakah mungkin membangun tanpa merusak alam dan harmoni sosial? Tergantung apa dulu definisi pembangunan, khususnya dalam konteks demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Orang Papua harus ditanya dan diajak bicara serta berpartisipasi dalam pembangunan yang mereka inginkan; bukan pembangunan dari atas, ala Jakarta.
Suku-suku tradisional tahu bagaimana hidup selaras dengan alam, memanfaatkan alam secara berkelanjutan. Kita tak perlu mengajari mereka. Kita justru harus belajar dari mereka.