Jumat, Oktober 11, 2024

Apakah kita hidup di negeri yang kehilangan imajinasi dan dongeng

Must read

#SeninCoaching

#Leadership Growth: Beware of Affect Heuristic

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Khayalan Karl Marx tentang “withering away of the state”, fungsi negara dengan kekuatan penekan berbasis undang-undang akan menyusut saat masyarakat mampu mengelola dirinya (sebagai bentuk ideal sosialisme), tidak pernah dapat peluang terwujud. Karena pada dasarnya kita selalu memerlukan negara yang kuat, mampu menegakkan kedaulatannya dan sanggup mengurus rakyatnya agar lebih sejahtera.

Belakangan ini, ketika kompetensi nyaris semua penyelenggara negara di dunia dianggap kurang handal dalam mengatasi pandemi dan krisis ekonomi, sejumlah pihak di negara maju mengingat kembali salah satu ucapan Ronald Reagan pada pidato pengukuhannya sebagai Presiden AS, 1980-an: “Government is not the solution to our problem, government is the problem.

Bahkan Amerika, dengan kekuatan militer yang tak tertandingi mampu menduduki pelbagai wilayah konflik, ekonominya didukung oleh kekuatan inovasi teknologi berkesinambungan di Silicon Valley, telah kehilangan leadership dalam menangani wabah. Kalah dibandingkan dengan negara-negara kecil seperti, di antaranya, Taiwan.

Kedigdayaan Amerika nyaris jadi sekadar kenangan, terancam jadi withering state, bukan karena serangan militer dari luar, tapi akibat perilaku kepemimpinan para pengelola pemerintahan di dalam negeri.

Its ultimate demise will likely be the result of its own internal doings — or undoings,” kata Nathan Gardels, Pemimpin Redaksi Noema Magazine, dalam tulisannya Agustus 2020.

Perilaku kepemimpinan para penyelanggara negara yang diragukan kemampuannya dalam mengatasi tantangan pelik di dalam negeri — seperti wabah dan krisis ekonomi yang menyertainya, serta rentetan pembangkangan sosial – dinilai dapat melemahkan eksistensi negara.

Pelbagai pihak di dalam negeri, bahkan di internal Partai Republik plus media pendukungnya (antara lain Wall Street  Journal), memastikan kepemimpinan Donald Trump telah tidak dapat diandalkan.

Trump menghadapi banyak front di dalam negeri, yang sebagian diciptakannya sendiri dengan perilaku kepemimpinan yang lebih menyukai ilusi ketimbang fakta. Ketidakmampuannya menangani pandemi membuka tabir sejumlah kelemahannya yang lain, termasuk saat harus mengatasi mengendurnya kohesi sosial, kerusuhan yang dipicu masalah rasial, dan tekanan ekonomi.

Photo by Charles Deluvio on Unsplash

Bertambahnya front yang harus dihadapi pemerintah, seiring dengan tekanan ekonomi akibat krisis, plus terjadinya sejumlah pembangkangan sosial, apakah ada yang dapat menyangkal bahwa itu juga terjadi di Indonesia? Masyarakat terbelah, antara lain akibat perbedaan selera (pada tokoh) politik.  

Sosok-sosok yang tampil di pemberitaan dan pejabat publik makin sibuk dengan pendapatnya sendiri, maunya mendengar hal-hal yang sesuai dengan yang sudah ada di benak masing-masing. Informasi yang tidak utuh – utamanya yang beredar di sosial media – jadi makin seksi, untuk melampiaskan nafsu marah. Belum ada contoh terselenggaranya dialog yang produktif dari mereka.

Interaksi antar anggota masyarakat bergerak dalam dimensi yang terbatas. Kalau tidak dengan marah atau reaksi yang tidak proporsional terhadap informasi yang tidak komplit, akan diisi dengan pemujaan berlebihan terhadap sosok publik yang tingkah-polahnya sesuai selera masing-masing. Kalau ini berlangsung kelamaan, siapa dapat menjamin kalau tidak terjadi proses pemiskinan kecerdasan dan ruhani?

Sementara itu cobalah ingat, apakah dalam beberapa tahun terakhir ada komposisi musik, karya sastra, atau ekspresi seni lainnya yang hebat lahir di negeri ini? Dalam pemberitaan media, aktivitas yang dianggap sebagai kegiatan agama sering diekspresikan dengan marah, tangan mengepal, kata-kata kasar.

Bukankah para utusan Tuhan hadir di Bumi untuk memperbaiki akhlak, budi pekerti, dan komunikasi yang beradab?

Kita seperti hidup di negeri tanpa kehalusan budi, keindahan imajinasi dan dongeng-dongeng.

Anggota masyarakat pun seperti saling membatasi diri dengan tembok ego pribadi, kebanggaan kelompok, interpretasi sesuai selera (nafsu) pribadi atas ayat-ayat Kitab Suci, menolak mempelajari tafsir-tafsir dari perspektif para ahli yang berbeda (pakar bahasa, filsafat, dan ilmu lainnya) untuk memperkaya pemahaman.

Tafsir tunggal, apalagi yang dikomunikasikan dengan menggelegar, tampaknya lebih disukai publik. Kegiatan olah pikir sepertinya dianggap memberatkan, mereka anggap tidak perlu.

Liputan media cetak, online, talk show di radio dan televisi juga cenderung menyajikan yang tengah digandrungi publik. Sebagian media seperti dibentuk oleh kehendak publik, eksis tanpa leadership.

Bahkan mereka cenderung menggelembungkan hal-hal emosional, yang tidak memberikan dampak signifikan bagi kemanusiaan – yang penting ramai diikuti masyarakat luas. Ini sesungguhnya makin mempersempit cakrawala publik dalam melihat dunia. Mereka sulit diajak berpikir mendalam dan bersedia menghargai perspektif yang berbeda.

Ternyata itu juga terjadi di pelbagai tempat di dunia. Karena manusia di mana-mana cenderung berperilaku reaktif, enggan stop sejenak, ambil nafas dalam, melakukan perenungan dalam menilai suatu kejadian.

Dalam kasus di Indonesia, kalau kita melihat hanya media yang meramaikan keriuhan pseudo politik antar para sosok publik, sepertinya negeri ini bakal rontok dari dalam. Sementara sejumlah media lain, katakanlah Majalah SWA, menyajikan cerita dan fakta yang berbeda. Kalangan pelaku usaha memang mengalami tantangan signifikan akibat pandemi, atau karena regulasi yang kurang pro-bisnis.

Tapi selalu ada strategi dan cara baru, serta solusi terbaik, untuk tetap tumbuh, berkontribusi positif bagi ekonomi nasional. Dari perspektif pelaku usaha yang telah berupaya lebih cerdas dari biasanya, selalu ada jalan keluar yang efektif.

Menafsirkan kejadian-kejadian di masyarakat perlu ekstra hati-hati, bahkan terhadap diri sendiri.

The world in our heads is not a precise replica of reality; our expectation about the frequency of events are distorted by the prevalence and emotional intensity of the message to which we are exposed,” kata Daniel Kahneman, pemenang Nobel 2002 bidang Ilmu Ekonomi, bersama Amos Tversky, untuk rintisannya di bidang pengambilan keputusan (Thinking, Fast and Slow, 2011).

Kondisi emosi, bias pribadi atau karena data yang belum lengkap, informasi yang terpenggal, dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang tidak tepat, bahkan berpotensi memperkeruh keadaan.

Untuk kehidupan pribadi, dalam memimpin organisasi (bisnis, nonprofit, institusi pemerintahan), apalagi saat jadi pejabat publik (dari Kepala Desa sampai Kepala Negara), sepantasnya waspada terhadap affect heuristic – penyederhanaan mekanisme pengambilan keputusan atau melahirkan penilaian (judgements) berdasarkan emosi dan pertimbangan cepat.

Dalam sejumlah kasus, perusahaan oleng, bahkan nyaris bangkrut, karena perilaku kepemimpinan semacam ini.

Kalau pejabat publik bertindak karena affect heuristic, maunya mengatur dunia agar jadi lebih sesuai kemauannya, bukan berpijak pada realitas, dapat memberikan isyarat buruk bagi publik. Tindakan-tindakan reaktif sebagian dari mereka atas situasi belakangan ini mengindikasikan affect heuristic.

Mempertahankan integritas nation state sepantasnya dilakukan dengan cara lebih bijak, tanpa memunculkan front-front baru yang dapat menyedot sumber daya (kecerdasan, waktu, dan biaya).

Kita memerlukan negara kuat, dengan kepemimpinan yang lebih berintegritas. Orang-orang pintar di sekitar presiden sepantasnya tahu, mana yang harus stop doing, bidang apa yang harus start doing, dan continue doing.

Dalam praktik sehari-hari, leadership dapat diwujudkan dengan sederhana, yaitu tatag (courage, berani) menghadapi kenyataan yang kadang tidak sesuai dengan keinginan kita. Lantas mau bertindak kongkrit, memilih mana yang harus dihentikan, apa saja yang masih layak diteruskan, dan langkah baru apa yang wajib dikerjakan.

Simple, tapi kenyataannya — apalagi bagi yang senang berilusi dan menggelembungkan ego — sulit untuk menerapkannya.

Mohamad Cholid

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article