Modus korupsi atau merampok uang negara itu tidak cuma dalam bentuk mencuri, menyunat atau mark-up proyek. Tapi, yang lebih dahsyat justru perampokan lewat kebijakan yang sistemik (dan tak akan dideteksi oleh KPK)Pada awal pandemi, Pemerintahan Jokowi merancang “pandemic bond”, menerbitkan surat utang utk mengatasi Covid dan dampak ekonominya.
“Pandemic bond” belakangan direvisi menjadi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan total anggaran sekitar Rp650 triliun.
Pendanaan didapat terutama dari utang, secara langsung maupun lewat mekanisme obligasi (surat utang).
Dari total anggaran tadi, porsi bantuan sosial (bansos) dan bantuan langsung, baik untuk individu maupun UMKM, relatif kecil: dianggarkan cuma sekitar Rp120 triliun (sekitar 20%).
Tapi, bahkan dari jumlah yang kecil itu, lebih kecil lagi yang benar-benar sampai ke masyarakat secara langsung. Sebagian parkir di bank BUMN dan lembaga keuangan lain dalam bentuk subsidi bunga (jika ada yg meminjam).
Pertanyaan besar: kemana sebenarnya 80% dana PEN mengalir? Siapa paling diuntungkan?
Korupsi/suap menteri yang cuma miliaran rupiah itu tetap kejahatan. Tapi, itu sebenarnya cuma noktah kecil dari gunung es kolosal.
Korupsi dan kolusi lewat kebijakan jauh lebih besar dan merusak ketimbang hanya mencuri uang negara miliaran rupiah. Korupsi lewat kebijakan berkaitan erat dengan paradigma ekonomi neoliberal yang pemerintah anut.
Kita sebenarnya bisa belajar dari masa lalu, jika mau.
Krisis ekonomi pada 1998 mendorong pemerintah mencetak utang lewat obligasi rekap (utang publik yang dipakai untuk mensubsidi perbankan dan para konglomerat). Sampai tahun ini, 20 tahun kemudian, kita masih membayar cicilan utang itu.
Hal yang sama, anggaran PEN Rp650 triliun akan memberi beban kepada anak-cucu kita puluhan tahun ke depan.
Siapa yang paling diuntungkan?
(Penulis: Farid Gaban)