Mantan ketua AKLI lampung diberi tuntutan tinggi dengan UU ITE lawas, disoroti ICJR
Kasus UU ITE Syamsul Arifin di Bandar Lampung semakin sarat dengan konflik, apalagi setelah Kompol. Rahmad Mardian yang dipanggil sebagai saksi terkait status DPO mantan ketua AKLI Lampung tersebut malah mengancam akan mempidanakan salah satu penasihat hukum yang diketahui menerima kuasa substitusi dari terdakwa terkait sita aset Alay alias Sugiharto Wiharja.
Andrie S. Setiawan, salah satu dari empat JPU yang menangani kasus Syamsul, disinyalir terlibat dalam kekusutan penanganan aset hasil korupsi tersebut, sehingga dilaporkan ke KPK. “Sedari awal, kami khawatir JPU jadi tidak bisa objektif dalam menetapkan tuntutan, dan sekarang benar terjadi,” ungkap Ziggy Zeaoryzabrizkie, salah satu penasihat hukum Syamsul.
Syamsul didakwa dengan dakwaan alternatif, yaitu Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE atau Pasal 310 ayat (2) KUHP atau Pasal 335 ayat (1) KUHP. Pada sidang tanggal 30 November 2020, JPU Andrie membacakan Surat Tuntutan yang memohonkan tuntutan pidana 4 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100.000.000 atau subsidair tiga bulan pidana kurungan dengan didasarkan pada Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE 2008 tanpa mempertimbangkan unsur meringankan sama sekali.
JPU berdalih bahwa status DPO merupakan alasan pemberat sehingga patut diberi hukuman maksimal. Anehnya, status DPO ini tidak dicantumkan di dalam Surat Dakwaan dan tidak dapat dibuktikan keabsahannya saat pemeriksaan berkas. JPU juga masih menggunakan UU ITE tahun 2008, padahal pasal yang digunakan dalam tuntutan sudah direvisi dalam amandemennya di tahun 2016.
”Sampai selesai persidangan, JPU tidak bisa membuktikan kepemilikan ponsel pada saat kejadian, tidak bisa membuktikan unsur mana pun. Ditambah lagi, bukti saja tidak ada satu pun di berkas perkara,” imbuh Ziggy lagi.
Menjadi sorotan nasional setelah kasus ini viral di media sosial, Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) kemudian mengirimkan Amicus Curiae kepada Pengadilan Negeri Klas 1A Tanjung Karang. Ini bukan kali pertama, ICJR sudah dikenal vokal sejak lama, dan telah menerbitkan pula Amicus Curiae untuk kasus-kasus serupa, seperti Prita Mulyasari, Baiq Nuril, dan yang terakhir untuk perkara I Gede Aryastina alias Jerinx.
Selain tidak memiliki bukti yang valid, ICJR juga menyatakan dalam Amicus Curiae-nya yang telah diterima Pengadilan Negeri Tanjungkarang tanggal 30 November 2020 kemarin, “Bahwa penuntut umum juga telah melakukan kekeliruan dan tidak cermat, karena ketentuan pidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE seharusnya merujuk pada Pasal 45 ayat (3), bukan Pasal 45 ayat (1) UU ITE sebagaimana penuntut umum uraikan.”
Dalam kesimpulan Amicus-nya, ICJR yang saat ini dikomandoi Erasmus Napitupulu selaku Direktur Eksekutif ini merekomendasikan majelis Hakim dalam perkara ini untuk membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.
Dalam replik yang diajukan kemudian, Penuntut Umum beralasan penggunaan UU ITE yang lama telah sesuai dengan waktu kejadian perkara yang dituduhkan. Sedangkan menurut penasihat hukum, hal ini nyata melanggar pula Pasal 18 UU HAM, selain asas legalitas dalam KUHP yang mewajibkan hukum yang berlaku lah yang dipakai.
Dalam sidang tanggal 3 Desember 2020 kemarin, Syamsul dan penasihat hukumnya kompak menyampaikan bahwa selain gagal menggunakan undang-undang yang benar dan gagal menelaah unsur per unsur dalam pasalnya secara meyakinkan, juga sudah gagal menghadirkan barang bukti di dalam berkas perkara.
“Perilaku JPU yang mencoba menyalahkan Pengadilan Negeri Tanjung Karang akhirnya dimentahkan dengan didengarkannya keterangan dari Panitera Muda Pidana di depan sidang. Panitera Muda yang dimaksud menjelaskan bahwa berkas perkara diterima dari JPU Kejaksaan Tinggi Lampung tanpa dilengkapi Bukti-Bukti,” ujar Syamsul dalam pleidoinya.
Syamsul mengisahkan latar belakang kriminalisasi melalui kasus ini, yaitu konspirasi yang dilakukan oleh oknum-oknum yang mencari keuntungan secara monopolistis terhadap megaproyek di PLN yang dibongkar dan dijegal olehnya.
Syamsul juga menyebut bahwa kusutnya Perkara Nomor 15/PDT.G/2002/PNTK dan bagi-bagi aset perkara Tindak Pidana Korupsi Kabupaten Lampung Timur yang seharusnya dikembalikan pada Negara menjadi salah satu alasan kasusnya ini digali kembali dalam rangka kriminalisasi.
Penasihat Hukum juga mempertanyakan tuntutan JPU untuk melimpahkan barang bukti berupa 2 (dua) buah ponsel dan 2 (dua) buah SIM Card yang disita saat penangkapan kepada penyidik POLDA Lampung agar dapat diperiksa untuk perkara lain.
“Barang-barang itu tidak ada kaitannya dengan pokok perkara, dan sudah terbukti di hadapan persidangan, tidak ada relevansinya. Ponsel itu juga keluaran tahun 2017, sementara ini kasus 2013. Nomornya juga berbeda,” tutup Ziggy.