Seperti malam, seperti dosa, hitam adalah lawan dari kesucian dan terang cahaya.
Dalam buku perjalanannya yang terkenal, Marco Polo menggambarkan penduduk Zanzibar: “Mereka memiliki mulut sangat besar, bibir tebal, dan hidung seperti monyet. Mereka telanjang dan hitam legam sehingga siapapun dari bagian dunia lain yang melihat akan percaya mereka setan.”
Di Spanyol tiga abad kemudian, di panggung sandiwara dan di pasar malam, Lucifer, nama lain setan, dengan kulit dicat hitam, mengendarai kereta berapi.
Santa Theresa tak mampu mengusirnya. Suatu kali, Lucifer berdiri di sebelahnya, “Kulitnya hitam yang sangat menjijikkan.”
Di kali lain, ketika Lucifer duduk di atas buku doanya, Santa Theresa melihat rona api keluar dari tubuh hitamnya saat doa-doa dalam buku itu membakarnya.
Di Amerika, semua orang tahu setanlah yang di perkebunan-perkebunan memukul genderang, menyeru ribuan budak dari Afrika untuk membangkang, dan yang memasukkan musik dan geliat dan geletar di tubuh anak-anaknya yang terlahir untuk mendosa.
Bahkan Martin Fierro, gaucho miskin dan terhukum, merasa dirinya lebih baik dibanding orang kulit hitam: “Orang-orang itu diciptakan oleh Iblis,” ujarnya, “terkutuk sebagai pengisi neraka.”
Eduardo Galeano
“Mirror”