Pemilu 2020 yang berlangsung di Amerika Serikat melahirkan keterkejutan baru bagi dunia, meskipun seharusnya keterkejutan itu tidak perlu ada.
Pasalnya, presiden petahana, Donald Trump berhasil dijungkalkan oleh politisi senior dari Partai Demokrat, Joe Biden yang berpasangan dengan mantan jaksa San Fransisco dan California, Kamala Harris.
Kamala Harris menjadi perempuan pertama yang menjadi wakil presiden di negara adi kuasa tersebut. Seorang warga kulit hitam keturunan yang melahirkan inspirasi bagi kaum milenial untuk mewujudkan mimpi tinggi. Namun drama Pemilu 3 November itu tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya.
Hasil Pemilu AS tidak langsung diketahui pada malam harinya, karena harus mengakomodasi pemilih yang melakukan melalui pos (mail in ballot) yang telah dibuka sejak September karena pandemi Covid-19.
Yang paling menegangkan ketika beberapa negara bagian yang menjadi basis Partai Republik seperti Pennsylvania dan Winsconsin dimenangkan oleh Joe Biden. Hasil Georgia yang terlambat masuk akhirnya dimenangkan oleh Biden–Harris. Itu adalah kemenangan pertama Demokrat sejak 1992 (CBS Evening News, 13 November 2020).
Prahara demokrasi muncul ketika Trump mengeluarkan pernyataan tidak mengakui hasil pemilu jika kalah. Bahkan pihak Trump sudah mengklaim kemenangan ketika hasil pemilu sedang dihitung.
Ketika hasil Pemilu sudah menunjukkan Biden meraih 290 electoral college vote dari batas minimal 270, pihak istana Presiden masih tidak mengakui hasil pemilu, termasuk didukung oleh Menlu AS, Mike Pompeo.
Keriuhan ini muncul di lini masa media sosial, ketika cuitan jurnalis AS, David Lipson, menyatakan Pemilu AS meniru model Indonesia.
Pernyataan satir itu direspons oleh dosen komunikasi dari Australian National University, Ross Tapsel, bahwa Pemilu AS itu tidak persis sama dengan Indonesia, kecuali Trump diangkat sebagai menteri pertahanan; sebuah satirisme berlipat-lipat.
Penyakit AS menyebar Sebenarnya apa yang terjadi dengan keriuhan pasca-pemilihan adalah baru pertama sekali terjadi di AS. Kejadian ini ikut mempermalukan sejarah demokrasi Paman Sam yang penuh sikap gentleman.
Di dalam tradisi Pemilu AS, kekalahan selalu diikuti sikap memberikan selamat kepada pemenang. Yang paling fenomenal pada Pemilu 2000, ketika Al Gore yang menjadi wakil presiden petahana maju sebagai calon presiden.
Ketika hasil Pemilu masih panas, ia memberikan ucapan selamat kepada penantangnya, George Walker Bush Junior, padahal selisih suara yang dipermasalahkan saat itu hanya 600 suara dari jutaan suara yang telah masuk dari negara bagian Florida.
Ucapan selamat Al Gore itu memutus ketegangan Pemilu yang tercatat paling ketat di dalam sejarah AS. Namun kini Trump menodainya. Sikapnya mewakili model politiknya yang memang kontroversial, termasuk pada Pemilu 2016, ketika ia menang dengan segala praksis politik machiavellian melalui politik demagogi, hate speech, disinformasi, dan politik identitas yang membelah warga Amerika.
Politik kanan dan populisme berhasil kalah di negara mapan demokrasi di Belanda, Perancis, Austria, dan Jerman. Namun politik populisme berhasil juga tembus dan merusak lembaga-lembaga demokrasi di Hungaria, Turki, dan Polandia.
Kemenangan Trump saat itu menghasilkan pelbagai tulisan tentang demokrasi. Salah satunya dari profesor ilmu politik Harvard University, Steven Levitsky, dengan bukunya How Democracies Die (2018), yang menyebut demokrasi sedang dibajak dan terancam mati.
Meskipun buku itu membahas tentang sejarah pilu demokrasi dunia pasca-pemilu, tapi secara khusus buku itu terinspirasi oleh kemenangan Trump sebagai Presiden AS pada 2016.
Menurut Levitsky, demokrasi modern kini semakin berpenyakit di dalam mekanisme pemilu. “Demokrasi bisa mati bukan di tangan jenderal, melainkan di tangah pemimpin terpilih yang membajak prosesnya ketika membawa mereka ke kekuasaan.”
Hitler membubarkan demokrasi dengan cepat sesudah kebakaran Reichstag 1933 di Jerman. Di Venezuela, Hugo Chavez yang memenangi pemilu 1998 dengan kampanye melawan elite politik yang korup dan menjanjikan demokrasi yang lebih “otentik”, malah merancang kekuasaan otoritarianisme setelah itu dengan mengubah konstitusi sehingga ia bisa menjadi presiden seumur hidup.
Chavismo mengendalikan media massa dan mengarahkan aparat pemerintah sebagai alat kampanye dalam Pemilu.
Levitsky mengistilahkan para pemimpin itu dengan kaum autocrat, orang yang tidak dibesarkan dengan pengalaman demokrasi partai politik, tapi melesat tiba-tiba akibat krisis kepercayaan pada elite dan partai politik.
Mereka ini menggunakan kemampuan komunikasi populisme dan propaganda untuk menolak politik nasional, sambil mengharapkan “sang mesiah” hadir. Trump adalah bagian dari anomali demokrasi yang berhasil hadir dari rahim AS. Mimikri dari Indonesia?
Praktik kemenangan AS inilah yang kemudian ditiru di Indonesia pada Pemilu 2019. Setelah politik demagogi, hate speech, dan populisme yang gagal dimenangkan oleh Prabowo–Hatta pada Pemilu 2014, daya ungkit kerusakan demokrasi itu kembali terulang di Pemilu 2019 ketika tim pendukung Prabowo–Sandi mencoba melakukan politik mimicry Trump yang berhasil di AS untuk dikontekstualisasikan di Indonesia.
Panjang umur demokrasi Indonesia bahwa politik populisme itu tidak menang, bahkan kalah dengan margin semakin melebar pada Pemilu 2019.
Namun, lagi-lagi sikap legowo tidak ditunjukkan oleh pasangan Prabowo–Sandi saat itu, malah membawa rumor kecurangan perhitungan suara ini ke sidang Mahkamah Konstitusi dengan pesan marah-marah di ruang publik. Proses tentu tidak berhenti di situ, ketika aksi massa dengan merusak Jakarta sebagai daya tekan, telah memberikan “cacat demokrasi” pada pengalaman kepemiluan kita.
Happy ending politik memang terjadi ketika Jokowi merangkul Prabowo dan tim Gerindra dalam Kabinet Indonesia Maju.
Tapi pengalaman 2019 telah meninggalkan masalah yang kini belum berhasil disembuhkan, yaitu menyatukan masyarakat yang telah terbelah oleh politik identitas (termasuk politisasi agama) dalam ranah publik.
Kisah dari Indonesia inilah yang kemudian sebagian menjadi pembelajaran bagi dunia, bahwa politik populisme dan identitas seharusnya tidak lagi meracuni demokrasi, karena akan merugikan bangunan bangsa ke depan.
Akhirul kalam, pemilu adalah ruang berkontestasi untuk menimbang nilai-nilai baik bagi demokrasi, yaitu hasrat dari suara rakyat untuk tumbuh dan berubah.
Bukan menjadi arena demagogi untuk memperlebar sentimen antarwarga dan marah-marah. Indonesia sudah berhasil melewati satu taraf kritis demokrasi. Kini Amerika Serikat lagi diuji untuk menuntaskannya.
Sumber: Kompas.com