Senin, Desember 9, 2024

Requiem untuk Aceh

Must read

DO DO DA IDI

Oleh Idrus F. Shahab

Allah hai do do da idi/ Boh gadong biye boh kaye uteun/ Rayeuk si nyak hana peu ma bri/ Aib ngon keji ureung donya keun. (lirik Do do da idi)

Suara perempuan itu seperti semilir angin: bertiup perlahan, hilang perlahan. Di layar kaca, tubuh-tubuh bocah berjajar rapi, mata dan rahangnya terkatup. Tubuh-tubuh kecil tak lagi bergerak, beku, tapi suara Cut Aja Rizka Syarfiza, personel kelompok Nyawoung, mendendangkan sebuah lullaby, satu dendang pengantar tidur, “Do do da idi.”

Do do daidi bukanlah lagu sedih. Nada-nadanya bergerak lambat dalam skala mayor. Kalau liriknya berbicara tentang kematian, ada pesan khusus yang hendak ditanamkan: tak ada yang perlu ditakutkan, sepanjang itu merupakan pengorbanan untuk tanah air.

Do do da idi lahir jauh hari sebelum tsunami raksasa menggulung Aceh, akhir tahun 2004. Kata sebuah kisah, berabad lalu, lagu itu sering dilantunkan ibu susu Sultan Iskandar Muda untuk menidurkan bayi kecil yang kelak jadi sosok perkasa itu. Ya, Do do da idi adalah lagu yang lahir dari tradisi panjang. Mungkin karena takut mengusik melodi yang istimewa ini, kelompok Nyawoung sangat behati-hati memperlakukannya.

Mereka membiarkan suara Cut Aja memimpin di depan, bergerak dengan repetisi-repetisinya, sementara denting piano dan alat gesek mengiringi –sekali-sekali– dari belakang. “Sejak awal jiwa patriotik sudah ditanamkan pada anak-anak,” kata Nurdin Daud, penulis lagu komunitas Nyawoung dalam majalah TEMPO.

Beratus tahun setelah itu, pemerintah Orde Baru memberlakukan kebijakan tangan besinya: DOM (daerah operasi militer 1989-1998), dan kelompok musik Nyawoung merekam sebuah kejadian mencekam. Kali ini suara Cut Aja Rizka Syarfiza terdengar deras tapi jernih di antara bunyi serune kale (sejenis seruling) yang berisik dan gendang rapa’i yang bertalu-talu.

“Haro Hara” lagu bertempo cepat, irit nada dan jelas sekali melodinya memang tidak ditujukan buat mengelus-elus telinga pendengarnya.

Cut Aja menyanyi, tapi juga bersaksi tentang suatu peristiwa di Desa Beutong Ateuh, Aceh Barat, pada 1999.

Desa hikuk-pikuk oleh suara letusan. Haro Hara tak memerinci sumber bunyi. Cut Aja beserta kelompoknya hanya menyebut pendek: meuketum beude teungoh cot aroe, menggambarkan bunyi-bunyi letusan di siang itu.

Mereka melukiskan kejadian yang pada akhirnya berpuncak pada kematian seorang ulama beken di desa itu, Teungku Bantaqiah, di halaman rumahnya.

Seperti Do do daidi, Haro Hara juga punya pijakan sejarah panjang. Diperkirakan, kedatangan tentara asinglah yang ikut andil melahirkannya.

Mungkin saat Prang Aceh dimulai, kala 3.000 pasukan Belanda mendarat di Kutaraja, April 1873. Mungkin saat multinasional VOC dan British East India Company, disusul kompeni (pemerintah Nederlandsche-Indie) mencoba menguasai kekayaan alam Aceh, akhir abad ke-19, awal abad ke-20.

Haro Hara muncul kembali dengan aransemen baru, lirik lama yang dibubuhi bingkai masa kini (kematian Teungku Bantaqiah). Mungkin inilah pertanda kelahiran sebuah era baru dalam perjalanan musik Aceh sesudah lagu-lagu manis macam “Bungong Jeumpa” yang populer pada era 1980.

Bungong Jeumpa, lagu dengan lirik yang memperlihatkan pesona pegunungan Aceh Besar. Liriknya tentang bunga yang berwarna-warni, putih, kuning, dan merah. Melodinya sangat manis, ringan, cepat memukau orang dewasa, mudah disenandungkan buat menidurkan anak.

Ada cara lain lagi memandang perbedaan Haro Hara dan Bungong Jeumpa. Sepintas lalu bisa disimpulkan bahwa Haro Hara mencerminkan karakter musik pesisir yang ritmis, dan kaya perkusi, sedangkan Bungong Jeumpa adalah musik pedalaman yang cenderung melodius.

Dalam majalah Tempo, Jauhari Samalanga, seniman produser Komunitas Nyawoung, punya penjelasan lebih bagus. Musik dari daerah pesisir Aceh biasanya lebih kencang, beat-nya cepat, temanya patriotik, dan cengkok vokalnya lebih kuat. Sebelum seseorang menjadi vokalis yang baik, teriakannya harus mampu mengalahkan suara deru ombak di pantai. Sedangkan musik dari daerah pegunungan seperti didong lebih lembut, dan melankolis. Tema yang dibawakannya biasanya juga tak segarang musik pesisir.

Musik Aceh adalah musik dengan sebuah interupsi, hasil intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru. Represi yang dilegalkan: Daerah Operasi Militer, kebijakan politik tangan besi pemerintahan di Jakarta yang brutal, pelanggaran HAM besar-besaran muncul pada 1989. DOM yang begitu ketat mencekik rakyat Aceh pada akhirnya menghentikan industri musik. Tak ada kreativitas yang pantas dicatat.

DOM dicabut pada 1998, setahun berselang Komunitas Nyawoung berdiri. Ada dua titik bersinar dalam musik Aceh pasca-DOM: satu, Komunitas Nyawoung dengan segala kecenderungannya pada musik pesisir utara, Langsa dan Meulaboh; satu lagi, Rafly, bekas guru mengaji yang banting setir menjadi penyanyi. Ia membawakan syair-syair dari Aceh Selatan yang punya tradisi zikir kuat.

Jika Komunitas Nyawoung punya album Nyawoung, World Music from Aceh; Rafly punya Hassan-Hussein, Ainal Mardhiah dan satu albumnya yang istimewa, The Fighting Spirit. Keduanya sama-sama mengukuhkan sebuah tradisi baru: musik yang bisa berdiri sendiri, tanpa menjadi bagian dari tari. Selama ini musik Aceh seolah-olah figuran dalam seni; sekedar pelengkap tari seudati atau tari saman yang terkenal.

Rafly vokalnya kuat, melodinya sederhana, syairnya dominan. Beudoh tapeutheun maruwah bangsa, seureuta doa beurayeuk saba, asoe nanggroe meutuwah, bek le gadoh lam dawa, tajak beusare… langkah beusapeu peugah (mari pertahankan harga diri bangsa, serta doa perbesar sabar, anak negeri bertuah, jangan lagi sibuk bertengkar, mari satukan langkah dan bicara.)

Rafly menyanyikan kerinduan akan hidup tenang, hidup damai. Suaranya lincah, bermain-main, bergerak di antara nada-nada bersahaja. Musiknya berbicara tentang sesuatu yang dijumpai sehari-hari, persoalan kontemporer: dari dunia yang berubah pesat, pengorbanan dan kepahlawanan Hassan-Hussein, dua cucu Nabi Muhammad saw, hingga rasa jenuh yang tak tertahankan terhadap kekerasan yang begitu betah di tanah Serambi Mekah.

Rafly melantunkan lagu berjudul “Hom”, artinya tak tahu. Musiknya merekam sebuah masa tidak menyenangkan: ketika kata-kata yang keluar dari mulut tiap-tiap bangsa Aceh selalu mengandung risiko. Ia terus bersenandung. Hom, katanya, terhadap aneka macam pertanyaan: siapa yang memukul? Siapa yang korupsi?

Semua jawab berujung pada satu kata, hom. Seperti sejarawan yang rajin dan peka, musik melantunkan kejadian demi kejadian kelam yang telah bertahun bersembunyi dalam memori.

Tapi sekarang layar televisi merekam kejadian-kejadian tak terbayangkan: daratan yang tertutup air berlumpur, penuh kayu dan tubuh-tubuh manusia yang berserak. Desember memang bulan yang biasanya mendatangkan banjir di Aceh.

Tapi kali ini alam sekonyong-konyong memperlihatkan wajahnya yang selama ini disembunyikan. Hari Ahad, 26 Desember 2004: Tsunami menenggelamkan kota-kota. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article