Minggu, Desember 8, 2024

Bahasa musik

Must read

Oleh Idrus F. Shahab

Lewat denting piano, Yuji Takahashi menggambarkan air yang menetes, setitik demi setitik. Ada serangkaian jeda panjang yang membuat penonton menahan napas, seraya menyimpan pertanyaan: nada apa yang akan muncul berikutnya?

Ajaib. Di tangan komponis kontemporer Jepang itu, musik kontemporer, yang dikenal suka berkelakuan aneh, tiba-tiba kedengaran lebih “membumi”. Ia lebih masuk akal bahkan ketimbang dangdut yang bergoyang riang menyanyikan putus cinta atau harapan hampa.

Dalam pertunjukan bertema “Piano in Asia” itu, di Gedung Erasmus Huis, Jakarta, hampir dua dasawarsa silam yang dituliskan di majalah TEMPO, Takahashi mampu menghipnotis penonton untuk menanti dan berharap. Waktu terus bergulir di ruang pertunjukan berakustik bagus itu. Tapi hanya sesekali nada meluncur dari tuts piano. Penonton digiring ke suatu sudut misterius untuk mendengarkan bagaimana seorang rekan Takahashi, Hidemi Ishihada, komponis merangkap filsuf, bercerita tentang butiran-butiran air dalam karyanya, “Water” (1998).

Kendati nada-nada itu sama sekali tak mendekati susunan melodi dalam musik pop, harus diakui hanya ada selapis batas tipis yang samar me-misahkan panggung dengan penontonnya. Melihat karya-karyanya, Takahashi adalah komponis yang pantas diibaratkan sebagai sumur kreativitas yang tak kunjung kering.

Setiap pemusik belum sepenuhnya lepas dari fenomena khusus yang bertahan melalui aneka periode: musik berbicara dengan bahasanya masing-masing. Bahasa musik belumlah se-penuhnya universal. Dan karena itu jamak saja jika kemudian sering terjadi salah paham, atau kekeliruan menerjemahkan sinyal-sinyal musikal, di antara penganut mazhab kontemporer dan mazhab klasik, atau antara pop dan jazz.

Bagaimanapun, Takahashi mungkin adalah satu bukti bahwa tak ada kalangan pemusik yang lebih siap dari pemusik kontemporer untuk memahami keterbatasan bahasa musikal yang mereka gunakan. Mereka tak gampang puas, dan tak akan menyerah sebelum melakukan percobaan-percobaan yang “aneh” dengan bunyi.

Dalam nomor berjudul “Eurasian Tango, 1, 2, 3” karya Komponis Ayuo, yang muncul di awal pertunjukan, Yuji Takahashi menyentuh pianonya seperti orang-orang Persia, Yunani, dan bangsa-bangsa Asia Tengah lainnya memainkan instrumen tradisional sianturi—menyerupai harpa, tapi tidak dimainkan dengan memetik, melainkan dengan menabuh. Lebih jauh lagi, dalam nomor berjudul “Klntang”, karya komponis Filipina Ramon Pagayon Santos, Yuji Takahashi memainkan pianonya seperti para musisi tradisional Minahasa menabuh instrumen bambu kulintang.

Tapi untunglah, di dataran musik ini berlaku juga pemeo “tak kenal maka tak sayang”. Tipis-tebalnya rasa ketertarikan orang pada jenis musik tertentu juga bergantung pada siap-tidaknya konsumen musik menerima surprise suatu disonansi—rentetan nada-nada aneh yang kedengaran sumbang lantaran rangkaian itu tidak pernah tercatat dalam perbendaharaan musik tiap-tiap pribadi. Dan untuk itu tampaknya kita tak melihat ada pilihan lebih baik daripada membangkitkan gairah petualangan para konsumen untuk menjelajahi setiap sudut belantara musik.

Dalam sebuah tulisannya yang jernih, “Perceptive Listening”, pengamat musik Gary M. Martin mengungkapkan keyakinannya bahwa pengetahuan dasar mengenai musik merupakan bahan bakar yang dapat mengobarkan semangat seseorang untuk mengeksplorasi keragaman musik.

Dengan modal yang satu ini, segenap perbedaan selera yang dibentuk oleh perbedaan lingkungan keluarga, tempat tinggal, jenis pekerjaan, strata kelas dalam masyarakat, serta etnosentrisme dapat diperangi. Martin juga mengemukakan hasil pengamatannya bahwa dari waktu ke waktu penolakan masyarakat terhadap gejala disonansi semakin berkurang.

Dulu, gara-gara saratnya unsur disonansi, “The Rite of Spring” karya komponis Rusia abad ke-20, Igor Stravinsky, pernah menjadi sasaran caci-maki masyarakat serta para kritikus musik. Tapi, kini, komposisi itu sangat disegani.

Kondisi memang mulai berubah. Telinga para penggemar musik pop tidak merasa gatal-gatal lagi ketika mendengar akor-akor miring dan deretan nada-nada berinterval setengah, khas musik jazz, muncul dalam lagu-lagu pop. Di mana-mana pengaruh jazz sudah diterima dengan tangan terbuka. Bahkan, setelah melalui serangkaian eksplorasi-eksperimentasi yang pantang mundur, para penganut fanatik tradisi kromatis-diatonis tak terganggu lagi dengan nada-nada slendro-pelog yang terdapat dalam gamelan Jawa.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article