Senin, Desember 9, 2024

Biaya bengkak, Covid-19 tak juga reda

Must read

Oleh Eddy Herwanto

Setelah dirawat hampir dua pekan, haji Salim, 80 tahun, akhirnya menghembuskan nafas di Rumah Sakit Daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan. Serangan virus Covid-19 dengan penyakit penyerta jantung koroner telah menghentikan hidup mantan ketua RW Jagakarsa Jakarta Selatan itu.

Kematiannya ikut menambah korban akibat Covid 19 menjadi 336 hingga 26 Januari 2021 – kematian harian tertinggi sejak 2 Maret 2020.

Belum genap setahun, wabah Covid-19 masuk ke Indonesia, angka yang pernah terinfeksi virus corona pada 26 Januari 2021 akhirnya mencapai 1.012.350 orang – tertinggi di seluruh Asia melampaui Cina, negara sumber pertama asal virus (dari kota Wuhan).

Sebagian besar dari yang terpapar itu sudah sehat, dan yang masih berada di banyak rumah sakit pelbagai daerah Indonesia tercatat (per 25 Januari) masih 161.636 orang – tertinggi di Jakarta 24.131 disusul Jawa Tengah 23.970 (26 Januari).

Tingginya angka yang terinfeksi ini menunjukkan penularan Covid-19 terjadi secara tidak terkendali gara gara sebagian masyarakat masih mengabaikan protokol kesehatan (prokes): memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (antara 1,5 m – 2 m).

Kerumunan warga tak bermasker pada kegiatan sosial seperti pesta pernikahan, nongkrong di kafe, pasar tumpah dan yang tak menjaga jarak masih banyak ditemui. Di Jakarta, warga yang terinfeksi di klaster perkantoran, meskipun sudah dilakukan pembatasan, cenderung meningkat.

Dari 336 pasien meninggal pada 26 Januari 2021 itu sejumlah 140 orang berasal dari Jakarta.

Tingginya kematian di Jakarta, juga mereka yang terinfeksi Covid-19 dengan rata rata lebih dari 3.000 orang setiap hari sejak pertengahan Januari, menyebabkan terjadinya krisis tempat perawatan dan tempat pemakaman umum (TPU). Setelah TPU Pondok Rangon penuh, Tegal Alur, Srengseng Sawah kemudian Rorotan digunakan untuk memakamkan pasien Covid-19 yang wafat (sejak pertengahan Januari).

Ikhtiar pemerintah melakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk menekan penyebaran virus Covid-19 di Jawa, dan Bali, rupanya belum optimal sehingga diputuskan memperpanjang hingga 8 Februari. Ketidakkompakan antara pemerintah provinsi, kabupaten dan kota menerapkan PPKM disebut jadi salah satu sebab penyebaran Covid-19 meluas.

Jakarta melakukan PPKM misalnya, namun mobilitas warga dari wilayah penyangga: Depok, Bogor, Tangerang dan Tangerang Selatan berlangsung seperti zaman normal. Wajar Gubernur DKI Anies Baswedan meminta pusat mengambialih pengaturan PPKM itu

Para ahli kesehatan masyarakat dan epidemiologi mengkhawatirkan pada tingginya angka warga terinfeksi aktif yang cenderung naik setiap harinya. Jika angka mereka yang terpapar naik, maka angka kematian juga bertambah. Jadi yang dikhawatirkan bukan pada angka satu juta.

Apalagi puncak pandemi Covid-19 disebut belum mencapai puncaknya mengingat banyak warga pembawa virus tak bergejala yang lolos dari penapisan. Karenanya usaha melakukan penapisan, pelacakan, dan isolasi yang terinfeksi makin penting dilakukan. Yang juga penting edukasi dan penegakan regulasi prokes.

Bila prokes diabaikan meluasnya warga yang terinfeksi akan menyebabkan persediaan ruang perawatan, isolasi, dan ICU di rumah sakit akan habis meskipun pemerintah pusat dan daerah sudah menambahnya dengan rumah sakit swasta dan kedinasan (TNI, Polri, Perhubungan, dan BUMN). Bahkan untuk isolasi mandiri, dimanfaatkan juga kamar hotel.

Belum cukup, karena penambahan ruang perawatan atau ICU itu juga memerlukan pendukung: tenaga kesehatan (dokter dan perawat), peralatan terutama di ruang ICU, obat-obatan, serta makan dan minum

Pada akhirnya, beban yang harus dipikul tenaga kesehatan (dokter, perawat misalnya ) terasa berlebihan sehingga memunculkan keletihan – seperti diakui para dokter yang disurvai Fakultas Kedokteran UI. Satu demi satu tenaga kesehatan (nakes) wafat.

Hingga 26 Januari 2021 itu lebih dari 600 nakes (dengan 245 dokter umum, spesialis, atau dokter gigi dan perawat) berguguran. Usaha para nakes berjibaku dengan APD (Alat Pelindung Diri) selama berjam jam agar tidak terpapar ini tidak pernah dilihat para pembangkang prokes yang merasa hebat. Ada yang menyayangkan sikap lemah atas para pembangkang hingga menyebabkan Covid-19 makin meluas.

“… Bail out perbankan nasional akibat krisis moneter merontokkan puluhan lembaga keuangan hingga membebani anggaran negara, yang beban bunganya hingga kini masih harus dibayar dengan uang pajak.”

Dunia kedokteran Indonesia banyak kehilangan para spesialis andal di bidangnya. Padahal di masa normal saja, sejumlah daerah masih mengeluh kekurangan dokter spesialis untuk menangani penyakit tertentu warganya. Kehilangan mereka akibat pandemi Covid-19 yang berlarut pasti merupakan kehilangan dalam memberikan pelayanan.

Kata seorang dokter spesialis, dibutuhkan waktu sedikitnya lima tahun untuk melahirkan spesialis setelah seseorang memperoleh keahlian sebagai dokter umum.

Untuk menangani pasien Covid-19 itu, pembiayaan rumah sakit dan sarana rumah sakit kian bertambah besar dari hari ke hari, termasuk di dalamnya memberikan insentif untuk perawat dan dokter, tenaga ahli laboratorium juga harus disediakan, maka terbayang beban berat yang harus dipikul APBN (terutama) dan APBD.

Apalagi penerimaan pajak dan PNBP merosot akibat pemerintah memberikan insentif (tunai dan nontunai) agar banyak sektor usaha tetap bertahan menghadapi melemahnya permintaan barang dan jasa.

Pada tahun fiskal 2021, dana APBN yang disediakan untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Rp553,09 triliun atau hampir setara dengan realisasi PEN 2020 yang mencapai Rp579,78 triliun. Disediakan cukup tinggi mengingat penyebaran virus Covid-19 belum terkendali, dan kekebalan kelompok setelah program vaksinasi yang dimulai 13 Januari 2021 belum terbentuk.

Dari program PEN itu untuk Kesehatan Rp104,7 triliun (Rp73 triliun membeli 426,8 juta dosis vaksin untuk 182 juta rakyat RI), Perlindungan Sosial Rp150,96 triliun, Program Prioritas Kementrian/Lembaga pusat dan daerah Rp41,36 triliun, dan dukungan UMKM dan pembiyaan korporasi Rp156,06 triliun.

Bisa diduga pembiayaan PEN itu hampir seluruhnya ditutup dengan utang. Tahun 2020 lalu, pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) Rp1.206,8 triliun – tiga kali lipat dari SBN 2019 yang hanya Rp402 triliun – dengan bagian terbesar (Rp1.064,32 triliun) dalam satuan mata uang rupiah. Pembeli terbesar yakni Rp650 triliun adalah Bank Indonesia baik melalui pasar perdana (noncompetitive bidding) maupun berbagi beban bersama Kementrian Keuangan.

Dengan utang SBN itu pemerintah bisa menutup defisit APBN 2020 yang mencapai Rp956,3 triliun.

Besarnya penerbitan SBN itu otomatis menambah utang berjalan pemerintah. Langkah berat dengan melakukan bail out besar besaran atas kesehatan warga, retsrukturisasi utang UMKM, memperkuat permodalan korporasi BUMN, perlindungan sosial, tunjangan biaya hidup atas kehilangan pekerjaan warga, sampai subsidi tarip listrik.

Baru kali ini terjadi dalam sejarah bangsa seluruh sumber daya dan dana dikerahkan agar negara bangsa Indonesia tetap tegak. Situasi serupa juga dihadapi negara lain dalam melawan pandemi global Covid-19.

Bail out perbankan nasional akibat krisis moneter yang merontokkan puluhan lembaga keuangan hingga membebani APBN Rp675 triliun, beban bunganya hingga kini masih harus dibayar dengan uang pajak.

Kini datang pukulan virus korona. Sudah 28.468 jiwa melayang (26 Januri 2021), semoga angka kematian pasien korona cenderng menurun menyusul vaksinasi massal. Hanya dengan disiplin ketat mematuhi prokes korban seperti haji Salim bisa kita kurangi.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article